Ki Patih pun Punya Ambisi

Sabtu, 03 Desember 2016 - 08:12 WIB
Ki Patih pun Punya Ambisi
Ki Patih pun Punya Ambisi
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
Email: [email protected]

Dalam teater Jawa tradisional, yang bersumber pada sejarah Kerajaan Majapahit, disebutkan bahwa situasi politik mencemaskan. Kekuasaan raja putri, Dyah Ayu Kencanawungu, terancam. Jika Sri Baginda jatuh, Majapahit akan mengalami kekacauan. Dan, musuh akan bertahta menempati tahta raja putri itu. Tapi, Sri Baginda memperoleh jawaban meyakinkan.

Pada waktu bermeditasi terdengarlah sabda langit yang menyatakan bahwa bila Sri Baginda bisa menemukan seorang pemuda dari Desa Paluombo bernama Damarwulan, kerajaan akan tetap aman sentosa. Pemuda itulah yang bakal maju ke medan laga untuk mengusir musuh yang meniupkan ancaman menakutkan tadi.

Sri Baginda pun merasa lega. Diadakannya sidang darurat, terbatas, dan cepat. Hanya beberapa tokoh penting diundang. Intinya, Sri Baginda menjatuhkan perintah kepada Ki Patih Logender untuk segera menemukan pemuda desa tersebut.

”Carilah dan bawa menghadap kepadaku,” perintah Sri Ratu.

”Duh sesembahanku. Di mana hamba mencarinya? Di seluruh wilayah Kerajaan Majapahit tidak ada anak muda seperti itu,” jawab Ki Patih.

”Anak muda itu bahkan sudah ada di Istana Kepatihan,” sabda Sri Ratu lagi dengan sikap tegas.

”Sri Ratu sesembahanku yang aku muliakan. Di Kepatihan tidak ada anak itu. Yang ada kedua anakku sendiri, Seta dan Kumitir, dua anak muda perkasa yang bakal mampu menghadapi musuh kerajaan. Apakah dua anakku itu yang dikehendaki Sri Ratu?”

Ki Patih bertanya begitu karena Sri Ratu bersabda bahwa anak muda dari desa itu bakal menang menghadapi musuh dan dia bakal memperoleh hadiah sangat besar: duduk di tahta Majapahit dan memperistri Sri Ratu.

Inilah yang membuat Ki Patih gelap mata. Ambisinya meluap-luap tak terbendung lagi. Pemuda desa yang sebenarnya sudah ada di Kepatihan dan sudah menjadi suami putrinya, Anjasmara Arimami, dianggap tidak ada. Dia tak rela membiarkan kesempatan besar ini jatuh pada menantunya.

Ki Patih sudah merancang angan-angan agar dua anaknya itu yang berhak menerima hadiah luar biasa istimewa tadi. ”Aku tak menghendaki anak-anakmu. Pemuda desa yang namanya Damarwulan atau Damar Sasangka itu yang kucari. Dialah yang mampu mengatasi kemelut di dalam Kerajaan Majapahit.”

”Tetapi, anak itu tidak...”

”Ki Patih...” Sri Ratu memotong ucapan Patihnya dengan wajah merah padam. ”Aku perintahkan padamu. Cari pemuda itu. Atau, kau kupecat dari jabatanmu?”

Tanpa bisa berkutik lagi, Ki Patih akhirnya bersedia membawa Damar Wulan menghadap Sri Baginda. Ringkas cerita, Damar Wulan dipercaya memimpin suatu pasukan kecil, tapi terpilih untuk memasuki kerajaan musuh, Minakjingga di Belambangan, dengan diam-diam.

Digambarkan, Damar Wulan menantang Minakjingga berperang tanding. Dan, pemuda itu menang.

Masih ada akal licik Ki Patih untuk merebut kemenangan Damar Wulan itu agar dianggap sebagai kemenangan kedua putranya. Inilah Ki Patih untuk menguasai kerajaan.

Tapi, mungkin lebih baik kisah keculasan Ki Patih ini diakhiri di sini dengan satu catatan: meskipun seseorang sudah menduduki jabatan tinggi, selama ada jabatan lain yang lebih tinggi lagi, orang itu tak akan pernah bisa merasa puas. Jabatan lebih tinggi tetap lebih menarik.

Pangkat, jabatan, dan singgasana selalu memiliki pesonanya sendiri. Pesona itu memancarkan cahaya menyilaukan yang menggoda dan merangsang ambisi yang mungkin tak terbatas. Untuk memenuhi ambisi seperti itu, orang rela menipu. Ini pengkhianatan terhadap kebenaran. Tapi, apa salahnya berkhianat demi suatu jabatan, atau kedudukan, atau singgasana yang memancarkan cahaya kewibawaan dan keagungan?

Untuk menjadi orang ternama, dengan kedudukan tinggi, bahkan yang tertinggi, menipu, dan berkhianat itu perkara kecil. Demi posisi seperti itu, orang bahkan rela menikam teman seiring. Untuk memenuhi ambisinya, orang rela membunuh, sambil tersenyum, siapa pun yang harus dibunuh.

Pengkhianatan dalam politik dulu pun sudah terasa canggih. Apa yang ditempuh Ki Patih terasa seperti kekejaman yang tak bisa ditemukan bandingannya. Kita ngeri menyaksikan drama dalam politik kerajaan yang ditampilkan di dalam teater Jawa tradisional.

Drama modern, di dalam sistem politik modern, yang mengadopsi tata pemerintahan demokratis, akal-akalan, tipu menipu yang terlalu transparan untuk dilihat orang banyak, mengapa masih terjadi? Manusia modern, dalam peradaban modern, yang menjunjung tinggi sikap demokratis, ternyata bisa bertindak lebih mengerikan.

Justru dalih demokratis itu yang dimainkan. Orang mudah berdalil: kita hidup demokratis. Siapa saja berhak melakukan tindakan politik selama tindakannya demokratis. Ini dijamin konstitusi. Patih modern, dalam jabatan modern, juga bisa bertindak seperti Ki Patih Logender. Sikapnya lembut, licin, tak terdeteksi.

Pada zaman modern, zaman penuh pergerakan massa, penuh demo yang membiarkan kekuatan massa bergerak ke mana-mana, orang mudah bersembunyi. Apalagi, kekuatan massa itu terdiri atas berbagai golongan. Dan, di antara banyak golongan itu ada golongan kita sendiri. Mereka kita fasilitasi dengan baik. Mereka kita tata dengan tertitip. Mereka juga kita pesan agar tak menyebut nama kita, identitas kita, dan segenap ambisi yang kita miliki.

Dengan sedikit suntikan semangat ideologis, anak-anak itu akan taat pada kita. Mereka bahkan kagum pada kita. Sedikit uang, sedikit ideologi, sedikit kebohongan, siapa bisa mengetahuinya?

Menipu tidak dianggap nista. Berbohong dianggap lumrah. Menyimpangkan keluhuran nilai-nilai seperti ini tak mungkin ada yang tahu. Orang tak sempat memikirkannya secara kritis apa yang sebenarnya terjadi. Mereka mudah diajak keliru.

Dalam situasi seperti itu, Ki Patih duduk nyaman, minum teh, susu atau kopi, atau cokelat, di ruang sejuk dan megah, dengan perasaan lega. Dia memperhatikan dengan rasa puas layar televisi, yang merasa sedang menyiarkan realitas.

Tampaknya siaran itu tak menyadari bahwa realitas tak pernah tunggal. Tafsir realitas tak pernah menyajikan hanya satu makna. Kebenaran di lapangan telah dimanipulasi. Orang media tak terlalu menyadarinya? Mereka tak memahami ada manipulasi?

Tahu atau tidak, menyadari atau tidak, Ki Patih sudah puas. Dengan gigi emas yang gemerlap seperti gigi pedagang beras di pasar induk, dia tersenyum. Dia berbisik dalam hati: dunia ini penuh manipulasi. Gerakan massa bisa dimanipulasi. Jiwa manusia bisa dimanipulasi.

Dia pernah melakukan manipulasi. Kini dia mengulanginya. Dan, kelak akan mengulangi dan mengulangi terus-menerus karena Ki Patih pun punya ambisi yang harus dipenuhi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0752 seconds (0.1#10.140)