Memahami Pentingnya Peran Guru

Jum'at, 25 November 2016 - 07:55 WIB
Memahami Pentingnya Peran Guru
Memahami Pentingnya Peran Guru
A A A
Jazilul Fawaid
Anggota Komisi III DPR RI, Ketua Kornas Nusantara Mengaji

PEPATAH Arab bilang, at-thariqoh ahammu minal maddah walustadz ahammu min kullihima. Metode lebih penting dibandingkan materi pelajaran, namun guru jauh lebih penting dibandingkan keduanya.

Dari pepatah tersebut kita semua menjadi sangat paham bahwa peran guru adalah segalanya dalam dunia pendidikan. Tanpa kehadiran seorang guru kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya sebuah sistem pendidikan.

Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa menyaksikan kejadian-kejadian belakangan yang marak seperti terorisme, radikalisme. Menurut saya, besar kemungkinan pelakunya adalah mereka yang belajar agama, dalam hal ini Islam, tanpa guru.

Dalam kitab Ta’limul al-Muata’allim, Syeikh Al-Zarnuji mengatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang dalam menuntut ilmu ada enam: kecerdasan, kesungguhan, kesabaran, biaya, adanya petunjuk guru, dan ditempuh dengan waktu relatif lama.

Keenam syarat tersebut adalah peranti yang harus dipenuhi oleh seseorang jika ia ingin merengkuh kesuksesan dalam belajar dan dalam pendidikan. Patut untuk dicatat dan digarisbawahi bahwa unsur guru masuk sebagai salah satu prasayarat kesuksesan dalam menempuh pendidikan.

Dewasa ini kita sering mendengar istilah ”santri Google”. Istilah ini sesungguhnya merupakan istilah sindiran yang bernada mengejek kepada siapa saja yang cenderung mencari ilmu dan belajar dengan jalan instan tanpa mencari seorang guru.

Belajar di dunia virtual dan dunia maya melalui kanal informasi yang tidak terhitung jumlahnya itu memang kemudahan di zaman digital ini. Namun, patut disayangkan bahwa keadaan yang demikian itu malah tidak semakin mendewasakan cara belajar kita, justru sebaliknya semakin membuat perilaku kita menjadi kekanak-kanakan.

Banyak orang pintar baru yang tiba-tiba secara psikologis selalu menempatkan dirinya sebagai orang pintar atau ingin dirinya selalu dianggap pintar. Orang lain, selain dirinya adalah orang bodoh. Pandangan seperti itu dewasa ini jamak kita temukan.

Tidak sulit untuk mencari manusia-manusia berkarakter seperti ini. Maka tak heran, bila kita dengan mudah menemukan orang dengan sangat terbuka mencaci dan memaki orang lain hanya karena berbeda pandangan. Artinya, ada yang hilang dan berlobang dalam sisi kemanusiaannya.

Orang boleh saja pintar setinggi langit, namun jika ia belajar tanpa guru maka sangat mungkin kepintarannya tersebut tidak akan pernah dipupuk serta dibarengi kesantunan akhlak. Maka yang terjadi pada orang-orang yang pintar seperti ini, selalu ingin mendebat siapa pun yang berpandangan berbeda dengan dirinya. Rata-rata orang seperti ini, yang belajar tanpa guru, selalu menjadikan orang di luar dirinya dan di luar pemahamannya sebagai ”musuh” yang harus dilawan dan diperangi agar bisa sejalan dengan yang dia pikirkan dan dia pahami.

Sinergi Kecerdasan
Dunia modern mengenal tiga pembagian utama kecerdasan secara garis besar: intelektual, emosional, spiritual. Dalam menjalani hidup sehari-hari, ketiga kecerdasan tersebut harus berjalan beriringan. Ketiganya juga membutuhkan bimbingan seorang guru. Tanpa guru, bisa dipastikan kita akan tersesat di rimba raya kehidupan.

Namun, persoalannya adalah masih jarang dan semakin langka kita temui orang-orang yang benar-benar menyinergiskan tiga aspek kecerdasan tersebut. Yang kerap kita temukan justru profil-profil manusia yang secara parsial menerapkan kecerdasan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Jarang kita menemukan orang yang pintar sekaligus berakhlak dan memiliki laku spiritualitas yang baik. Justru yang ada mereka yang cerdas secara intelektual namun alpa di sisi emosional atau spiritual.

Mereka yang cerdas intelektual dan tumpul emosional akan dengan mudah terbakar amarahnya jika mendapati perbedaan. Tidak dewasa dan cenderung cepat marah. Profil seperti inilah yang belakangan menghiasi media sosial kita.

Bahkan kita patut menyayangkan atau bahkan bersedih melihat seorang anak muda mencaci maki seorang kiai sepuh, teladan, dan guru bangsa. Kejadian seperti itu, tidak hanya terjadi satu dua kali saja, namun ratusan bahkan ribuan kali terjadi di kehidupan maya maupun nyata.

Sanad
Ada hal penting yang fundamental dalam tradisi pesantren yang berkaitan dengan guru. Tradisi tersebut adalah tradisi menjaga transmisi keilmuan. Kalangan pesantren menyebutnya sebagai sanad. Sanad atau transmisi keilmuan adalah hal yang penting dan tidak boleh dikesampingkan dalam menuntut ilmu.

Sistem sanad adalah kesinambungan dan ketersambungan ilmu yang sedang dipelajari oleh seorang murid. Biasanya seorang murid selalu mencari guru yang memiliki sanad atau transmisi keilmuan yang sambung sampai dengan Nabi Muhammad SAW. Hal itu penting sebagai upaya untuk menjaga ”otentisitas” ilmu yang sedang dipelajari.

Maka, dalam pandangan saya, dalam momentum peringatan Hari Guru 2016 ini, yang patut kita jadikan renungan nasional adalah kembali memaknai pentingnya kehadiran guru dalam pendidikan. Memperbaiki pendidikan berarti memperbaiki guru, terutama memperbaiki kualitasnya.

Pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih kepada guru. Laksamana Meiji sudah memberikan contoh konkret ketika Jepang melalukan restorasi yang pertama diperbaiki adalah mutu guru. Selamat Hari Guru.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8780 seconds (0.1#10.140)