Masalah Haji dan Solusinya
A
A
A
H Abdul Khaliq Ahmad
Ketua Bidang Keagamaan DPP Partai Perindo dan Ketua I PP-IPHI
AKHIR-akhir ini tengah dibahas di Pansus DPR mengenai RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) sebagai pengganti atas Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam pembahasan RUU inisiatif DPR tersebut patut mempertimbangkan berbagai hal yang dapat memberi bobot pada produk UU yang akan ditetapkan kelak.
UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji saat ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Masalah daftar antrean yang semakin panjang, ketidakpastian pengisian kuota, penetapan BPIH yang berlarut-larut dan rentan penyelewengan, kepanitiaan yang bersifat ad hoc, pembinaan dan bimbingan yang seadanya, hingga keberadaan UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji belum efektif. Inilah alasan kuat mengapa reformasi tata kelola haji perlu dilakukan.
Penyelenggaraan ibadah haji tidak saja terkait rangkaian ritual haji mengantarkan jamaah menggapai haji mabrur, tetapi juga terkait aspek-aspek tata kelola pelayanan publik. Aspek ini sejatinya justru sangat menentukan keberhasilan jamaah haji dalam melaksanakan ritual-ritual haji.
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan rangkaian kegiatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jamaah haji yang harus dilaksanakan secara transparan, adil, akuntabel, dan nirlaba sehingga jamaah haji dapat melaksanakan seluruh rangkaian ritual dalam ibadah dan menggapai haji mabrur.
Dalam praktiknya tidak semua jamaah haji mendapatkan layanan pembinaan, pelayanan dan perlindungan secara memadai, karena beragam kelemahan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah dinilai belum dapat sepenuhnya memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah haji karena kelemahan kebijakan tata kelola dan regulasi penyelenggaraan ibadah haji yang tampak pada pelayanan transportasi, pemondokan, dan katering yang setiap tahun terus berulang.
Badan Khusus Penyelenggara Haji sebagai Solusi
Kelemahan pada aspek regulasi, kelembagaan, dan operasional memerlukan respons yang cepat dan tepat agar penyelenggaraan haji Indonesia tuntas terkonsolidasi.
DPR telah mengajukan RUU usul inisiatif terhadap perubahan UU No 13 Tahun 2008. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) yang pada pokoknya berbeda karena ada pemisahan tugas dan wewenang antara regulator dan operator. Kemenag menjadi pembuat kebijakan atau regulator, sedangkan penyelenggaraan haji oleh Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BPHI), untuk pengelola keuangannya oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan pengawasan haji oleh Mahkamah Amanah Haji (MAH).
Sejatinya, pemisahan fungsi regulator dan operator sudah lama diperjuangkan oleh DPR, bahkan sejak saat melakukan revisi terhadap UU No 17 Tahun 1999 kehendak itu sudah dinyatakan. Tetapi, UU No 13 Tahun 2008 masih menempatkan Kementerian Agama sebagai regulator, operator, dan pengawas. Fungsi terakhir ditanggalkan dengan pembentukan KPHI.
Dari perspektif keinginan untuk melakukan reformasi birokrasi tata kelola haji, sesungguhnya ada di pihak DPR. Semua UU tentang penyelenggaraan haji yakni UU No 17 Tahun 1999, UU No 13 Tahun 2008, serta RUU Perubahan terhadap UU No 13 Tahun 2008 seluruhnya adalah bermula dari RUU Inisiatif DPR.
Hal ini menunjukkan bahwa DPR lebih progresif untuk melakukan reformasi yang menyeluruh, integral, dan komprehensif dalam tata kelola haji, merupakan solusi bagi penyelesaian masalah penyelenggaraan haji yang muncul dan terus berulang setiap tahun.
Salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang mendedikasikan diri pada pembinaan dan pengembangan potensi haji di Indonesia, yaitu Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) yang telah memberikan sikap dan pandangannya terhadap RUU yang kini tengah dibahas Pansus DPR RI. Dalam pandangan IPHI, pemisahan fungsi regulator dan operator merupakan solusi cerdas untuk mengatasi berbagai masalah yang selama ini mengiringi proses pelaksanaan penyelenggaraan haji, baik persiapan di Tanah Air maupun pelaksanaan di Tanah Suci.
Dari hasil kajian IPHI terhadap pelaksanaan UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, penyelenggaraan haji belum memenuhi harapan masyarakat karena masih menyatunya fungsi regulasi dan operasi dalam satu institusi, ada satuan kerja yang bersifat ad hoc, pelayanan terhadap jamaah haji yang belum optimal, serta pengelolaan dana jamaah haji yang tidak transparan dan tidak produktif.
Bertolak dari kecenderungan dan realitas di atas, bentuk nyata dari reformasi birokrasi tata kelola haji adalah memisahkan fungsi regulasi dan fungsi operasi penyelenggaraan haji. Secara spesifik, penyempurnaan pelaksanaan penyelenggaraan haji diusulkan sebagai berikut:
Pertama, pengelolaan ibadah haji mulai pendaftaran hingga pemulangan dan pembinaan pascahaji dikoordinasikan oleh BPHI. Jadi, pendaftaran haji ke BPHI di tingkat kabupaten/kota setempat dan bukan lagi ke Kemenag.
Kedua, pembayaran dan penyetoran BPIH disetorkan ke rekening BPHI sebagai operator, bukan Kemenag yang merupakan regulator. Tugas BPHI antara lain menetapkan BPIH, menerima pendaftaran jamaah haji, melakukan pengelolaan keuangan dan aset haji.
Ketiga, pembinaan ibadah haji dalam bentuk pengaturan mengenai mekanisme dan prosedur pembinaan ibadah haji, serta pedoman pembinaan, tuntunan manasik, dan panduan perjalanan ibadah haji dilakukan oleh Kemenag yang berfungsi sebagai regulator dalam penge-lolaan ibadah haji.
Keempat, penempatan pemondokan bagi jamaah haji dapat berdasarkan sistem undian/qurqurah seperti yang selama ini diberlakukan, atau berdasarkan kategori jauh dan dekatnya pemondokan dengan Masjidilharam di Mekkah/ Masjid Nabawi di Madinah dengan konsekuensi ada perbedaan biaya pemondokan.
Hal ini terkait asas keadilan yang menjadi dasar pengelolaan ibadah haji. Perlu dipikirkan kembali kriteria dan sistem penetapan BPIH agar jamaah haji merasakan asas keadilan yang nyata dalam pelaksanaan ibadah haji.
Kelima, besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul BPHI. Hal ini untuk menegaskan bahwa BPHI adalah badan setingkat menteri yang berfungsi sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Adapun keterlibatan DPR hanya dalam bentuk pertimbangan, bukan persetujuan karena pembiayaan haji sepenuhnya berasal dari biaya pendaftaran dan dana optimalisasi jamaah haji, dan tidak menggunakan dana APBN.
Sementara itu, kriteria dan sistem penetapan besaran BPIH seyogianya mempertimbangkan jauh-dekatnya pemondokan dengan Masjidilharam/Masjid Nabawi dengan menerapkan batas bawah dan batas atas BPIH. Batas bawah untuk pemondokan yang relatif jauh dan batas atas untuk pemondokan yang relatif dekat dengan Masjidilharam/Masjid Nabawi.
Keenam, laporan keuangan penyelenggaraan ibadah haji yang harus disampaikan oleh BPHI kepada Presiden dan DPR paling lambat tiga bulan setelah penyelenggaraan ibadah haji selesai. Apabila ada sisa saldo dari laporan keuangan tersebut, diserahkan kepada BPHI karena sisa saldo itu merupakan bagian dari pendapatan BPHI untuk membiayai tugas-tugasnya.
Ketujuh, pengajuan perencanaan program. Dalam pengelolaan keuangan haji, BPHI mengajukan perencanaan program kepada Presiden dan selanjutnya diserahkan kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan DPR. Hal ini paralel dengan proses penetapan BPIH, yakni diusulkan oleh BPHI kepada Presiden kemudian mendapatkan pertimbangan DPR.
Kedelapan, ketentuan mengenai BPHI dalam RUU sudah cukup memadai. Hal yang perlu disempurnakan adalah penegasan kewenangan membentuk BPHI tingkat daerah. BPHI dapat membentuk perwakilan BPHI di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota seluruh Indonesia, serta perwakilan di Arab Saudi.
Apabila disahkan sebagai UU, peraturan pelaksanaan dari RUU ini diharapkan bisa dipercepat menjadi hanya enam bulan dari waktu satu tahun. Demikian juga, pembentukan kelembagaan dipercepat dari waktu yang ditentukan dalam RUU.
Keberadaan BPHI ini diharapkan dapat menjawab tuntutan, harapan, dan keinginan masyarakat calon jamaah haji karena dilakukan oleh lembaga pemerintah yang khusus dan fokus dalam menangani masalah haji dan umrah, serta profesional, transparan, dan akuntabel dalam pengelolaannya.
Solusi Cerdas
Pembentukan badan khusus tersebut merupakan solusi cerdas dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dan pengelolaan dalam penyelenggaraan ibadah haji, serta dalam upaya mengelola secara produktif dana dan aset haji yang sangat besar untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Langkah-langkah reformasi internal Kemenag untuk meningkatkan pelayanan yang semakin berkualitas dalam penyelenggaraan ibadah haji perlu diapresiasi. Kendati demikian, masih menyatunya fungsi regulasi dan operasi dalam satu institusi tidak akan menghasilkan perbaikan yang utuh dan menyeluruh.
Untuk itu, sudah saatnya Kementerian Agama meneguhkan sebagai regulator dalam pelaksanaan penyelenggaraan haji yang dilaksanakan oleh badan tersebut, sebagaimana saat ini Kemenag berfungsi sebagai regulator untuk lembaga zakat Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan lembaga wakaf Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Ketua Bidang Keagamaan DPP Partai Perindo dan Ketua I PP-IPHI
AKHIR-akhir ini tengah dibahas di Pansus DPR mengenai RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) sebagai pengganti atas Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam pembahasan RUU inisiatif DPR tersebut patut mempertimbangkan berbagai hal yang dapat memberi bobot pada produk UU yang akan ditetapkan kelak.
UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji saat ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Masalah daftar antrean yang semakin panjang, ketidakpastian pengisian kuota, penetapan BPIH yang berlarut-larut dan rentan penyelewengan, kepanitiaan yang bersifat ad hoc, pembinaan dan bimbingan yang seadanya, hingga keberadaan UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji belum efektif. Inilah alasan kuat mengapa reformasi tata kelola haji perlu dilakukan.
Penyelenggaraan ibadah haji tidak saja terkait rangkaian ritual haji mengantarkan jamaah menggapai haji mabrur, tetapi juga terkait aspek-aspek tata kelola pelayanan publik. Aspek ini sejatinya justru sangat menentukan keberhasilan jamaah haji dalam melaksanakan ritual-ritual haji.
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan rangkaian kegiatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan terhadap jamaah haji yang harus dilaksanakan secara transparan, adil, akuntabel, dan nirlaba sehingga jamaah haji dapat melaksanakan seluruh rangkaian ritual dalam ibadah dan menggapai haji mabrur.
Dalam praktiknya tidak semua jamaah haji mendapatkan layanan pembinaan, pelayanan dan perlindungan secara memadai, karena beragam kelemahan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah dinilai belum dapat sepenuhnya memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah haji karena kelemahan kebijakan tata kelola dan regulasi penyelenggaraan ibadah haji yang tampak pada pelayanan transportasi, pemondokan, dan katering yang setiap tahun terus berulang.
Badan Khusus Penyelenggara Haji sebagai Solusi
Kelemahan pada aspek regulasi, kelembagaan, dan operasional memerlukan respons yang cepat dan tepat agar penyelenggaraan haji Indonesia tuntas terkonsolidasi.
DPR telah mengajukan RUU usul inisiatif terhadap perubahan UU No 13 Tahun 2008. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) yang pada pokoknya berbeda karena ada pemisahan tugas dan wewenang antara regulator dan operator. Kemenag menjadi pembuat kebijakan atau regulator, sedangkan penyelenggaraan haji oleh Badan Penyelenggara Haji Indonesia (BPHI), untuk pengelola keuangannya oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan pengawasan haji oleh Mahkamah Amanah Haji (MAH).
Sejatinya, pemisahan fungsi regulator dan operator sudah lama diperjuangkan oleh DPR, bahkan sejak saat melakukan revisi terhadap UU No 17 Tahun 1999 kehendak itu sudah dinyatakan. Tetapi, UU No 13 Tahun 2008 masih menempatkan Kementerian Agama sebagai regulator, operator, dan pengawas. Fungsi terakhir ditanggalkan dengan pembentukan KPHI.
Dari perspektif keinginan untuk melakukan reformasi birokrasi tata kelola haji, sesungguhnya ada di pihak DPR. Semua UU tentang penyelenggaraan haji yakni UU No 17 Tahun 1999, UU No 13 Tahun 2008, serta RUU Perubahan terhadap UU No 13 Tahun 2008 seluruhnya adalah bermula dari RUU Inisiatif DPR.
Hal ini menunjukkan bahwa DPR lebih progresif untuk melakukan reformasi yang menyeluruh, integral, dan komprehensif dalam tata kelola haji, merupakan solusi bagi penyelesaian masalah penyelenggaraan haji yang muncul dan terus berulang setiap tahun.
Salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang mendedikasikan diri pada pembinaan dan pengembangan potensi haji di Indonesia, yaitu Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) yang telah memberikan sikap dan pandangannya terhadap RUU yang kini tengah dibahas Pansus DPR RI. Dalam pandangan IPHI, pemisahan fungsi regulator dan operator merupakan solusi cerdas untuk mengatasi berbagai masalah yang selama ini mengiringi proses pelaksanaan penyelenggaraan haji, baik persiapan di Tanah Air maupun pelaksanaan di Tanah Suci.
Dari hasil kajian IPHI terhadap pelaksanaan UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, penyelenggaraan haji belum memenuhi harapan masyarakat karena masih menyatunya fungsi regulasi dan operasi dalam satu institusi, ada satuan kerja yang bersifat ad hoc, pelayanan terhadap jamaah haji yang belum optimal, serta pengelolaan dana jamaah haji yang tidak transparan dan tidak produktif.
Bertolak dari kecenderungan dan realitas di atas, bentuk nyata dari reformasi birokrasi tata kelola haji adalah memisahkan fungsi regulasi dan fungsi operasi penyelenggaraan haji. Secara spesifik, penyempurnaan pelaksanaan penyelenggaraan haji diusulkan sebagai berikut:
Pertama, pengelolaan ibadah haji mulai pendaftaran hingga pemulangan dan pembinaan pascahaji dikoordinasikan oleh BPHI. Jadi, pendaftaran haji ke BPHI di tingkat kabupaten/kota setempat dan bukan lagi ke Kemenag.
Kedua, pembayaran dan penyetoran BPIH disetorkan ke rekening BPHI sebagai operator, bukan Kemenag yang merupakan regulator. Tugas BPHI antara lain menetapkan BPIH, menerima pendaftaran jamaah haji, melakukan pengelolaan keuangan dan aset haji.
Ketiga, pembinaan ibadah haji dalam bentuk pengaturan mengenai mekanisme dan prosedur pembinaan ibadah haji, serta pedoman pembinaan, tuntunan manasik, dan panduan perjalanan ibadah haji dilakukan oleh Kemenag yang berfungsi sebagai regulator dalam penge-lolaan ibadah haji.
Keempat, penempatan pemondokan bagi jamaah haji dapat berdasarkan sistem undian/qurqurah seperti yang selama ini diberlakukan, atau berdasarkan kategori jauh dan dekatnya pemondokan dengan Masjidilharam di Mekkah/ Masjid Nabawi di Madinah dengan konsekuensi ada perbedaan biaya pemondokan.
Hal ini terkait asas keadilan yang menjadi dasar pengelolaan ibadah haji. Perlu dipikirkan kembali kriteria dan sistem penetapan BPIH agar jamaah haji merasakan asas keadilan yang nyata dalam pelaksanaan ibadah haji.
Kelima, besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul BPHI. Hal ini untuk menegaskan bahwa BPHI adalah badan setingkat menteri yang berfungsi sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Adapun keterlibatan DPR hanya dalam bentuk pertimbangan, bukan persetujuan karena pembiayaan haji sepenuhnya berasal dari biaya pendaftaran dan dana optimalisasi jamaah haji, dan tidak menggunakan dana APBN.
Sementara itu, kriteria dan sistem penetapan besaran BPIH seyogianya mempertimbangkan jauh-dekatnya pemondokan dengan Masjidilharam/Masjid Nabawi dengan menerapkan batas bawah dan batas atas BPIH. Batas bawah untuk pemondokan yang relatif jauh dan batas atas untuk pemondokan yang relatif dekat dengan Masjidilharam/Masjid Nabawi.
Keenam, laporan keuangan penyelenggaraan ibadah haji yang harus disampaikan oleh BPHI kepada Presiden dan DPR paling lambat tiga bulan setelah penyelenggaraan ibadah haji selesai. Apabila ada sisa saldo dari laporan keuangan tersebut, diserahkan kepada BPHI karena sisa saldo itu merupakan bagian dari pendapatan BPHI untuk membiayai tugas-tugasnya.
Ketujuh, pengajuan perencanaan program. Dalam pengelolaan keuangan haji, BPHI mengajukan perencanaan program kepada Presiden dan selanjutnya diserahkan kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan DPR. Hal ini paralel dengan proses penetapan BPIH, yakni diusulkan oleh BPHI kepada Presiden kemudian mendapatkan pertimbangan DPR.
Kedelapan, ketentuan mengenai BPHI dalam RUU sudah cukup memadai. Hal yang perlu disempurnakan adalah penegasan kewenangan membentuk BPHI tingkat daerah. BPHI dapat membentuk perwakilan BPHI di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota seluruh Indonesia, serta perwakilan di Arab Saudi.
Apabila disahkan sebagai UU, peraturan pelaksanaan dari RUU ini diharapkan bisa dipercepat menjadi hanya enam bulan dari waktu satu tahun. Demikian juga, pembentukan kelembagaan dipercepat dari waktu yang ditentukan dalam RUU.
Keberadaan BPHI ini diharapkan dapat menjawab tuntutan, harapan, dan keinginan masyarakat calon jamaah haji karena dilakukan oleh lembaga pemerintah yang khusus dan fokus dalam menangani masalah haji dan umrah, serta profesional, transparan, dan akuntabel dalam pengelolaannya.
Solusi Cerdas
Pembentukan badan khusus tersebut merupakan solusi cerdas dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dan pengelolaan dalam penyelenggaraan ibadah haji, serta dalam upaya mengelola secara produktif dana dan aset haji yang sangat besar untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Langkah-langkah reformasi internal Kemenag untuk meningkatkan pelayanan yang semakin berkualitas dalam penyelenggaraan ibadah haji perlu diapresiasi. Kendati demikian, masih menyatunya fungsi regulasi dan operasi dalam satu institusi tidak akan menghasilkan perbaikan yang utuh dan menyeluruh.
Untuk itu, sudah saatnya Kementerian Agama meneguhkan sebagai regulator dalam pelaksanaan penyelenggaraan haji yang dilaksanakan oleh badan tersebut, sebagaimana saat ini Kemenag berfungsi sebagai regulator untuk lembaga zakat Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan lembaga wakaf Badan Wakaf Indonesia (BWI).
(poe)