Catatan Hukum Kasus Jessica

Selasa, 01 November 2016 - 08:13 WIB
Catatan Hukum Kasus Jessica
Catatan Hukum Kasus Jessica
A A A
Prof Dr Sudjito SH MSi
Guru Besar Ilmu Hukum dan Tim Ahli Pusat Studi Pancasila UGM

MELALUI proses persidangan berliku, berbelit-belit, makan waktu lama, akhirnya majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memvonis Jessica Kumala Wongso bersalah dan kepadanya dihukum 20 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, Kamis 27 Oktober 2016.

Majelis hakim memiliki otoritas penuh dan mandiri untuk memeriksa, mengadili, dan memutus kasus tersebut. Putusan sah dan memiliki kekuatan hukum. Bagi pihak yang tidak puas, terbuka kesempatan untuk naik banding ke pengadilan tinggi.

Proses persidangan sebagaimana disiarkan beberapa stasiun televisi sungguh menarik. Bak sinetron, persidangan mampu "membius" pemirsa untuk terkesima terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku pihak-pihak yang terlibat. Sebagai tontonan, seluruh fenomena yang terjadi di dalam persidangan, tergolong unik, dan mungkin mengasyikkan. Tetapi, untuk dijadikan sebagai tuntunan, ada beberapa catatan hukum yang patut dikaji seksama.

Pertama, pembunuhan merupakan kejahatan. Setiap manusia tidak menginginkan kejahatan ini terjadi. Upaya pencegahan dan penindakan perlu dilakukan.

Saya khawatir ada sementara pemirsa terinspirasi kasus pembunuhan ini, kemudian mencontoh berbuat kejahatan serupa. Secara sosiologis, psikologis, maupun empiris telah banyak bukti bahwa tayangan televisi acapkali menjadi sumber inspirasi terjadi kejahatan serupa. Tak ada benteng hukum sebagai pencegah masyarakat untuk mengapresiasinya.

Kedua, pemikiran, sikap, dan perilaku merupakan "cermin" ilmu. Luas atau sempit, dalam atau dangkal, pemilikan dan pengamalan ilmu hukum berkorelasi dengan pemikiran, sikap, dan perilakunya. Dalam persidangan terlihat ada pemikiran, sikap, dan perilaku aneh, bahkan tak terpuji. Misalnya, penegak hukum berkata kasar dan menyerang pribadi pihak lawan. Penonton bersorak-sorai.

Persidangan kasus Jessica merupakan ekspresi dari sepenggal keutuhan ilmu hukum sebagai genuine science. Apa yang terpapar dalam persidangan baru sebatas ilmu hukum sebagai practical science. Itulah ilmu hukum para praktisi. Orientasinya untuk meraih hal pragmatis. Karena itu, patut diingatkan kepada publik, pemirsa, dan khususnya penstudi ilmu hukum untuk hati-hati dan cerdas dalam memahami persidangan tersebut.

Ketiga, pola berpikir legal-positivistik terlihat sangat dominan digunakan oleh pihak-pihak terlibat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijadikan rujukan dan acuan persidangan.

Kita tahu dua kitab hukum tersebut warisan kolonial Belanda, berkarakter individual-liberalistik. Kita menggunakannya dalam keterpaksaan karena bangsa ini belum mampu membuat hukum pidana nasional sendiri. Implikasinya, karakter bangsa yang aslinya komunalistik-religius dipaksa berubah mengikuti karakter hukum kolonial tersebut. Sejujurnya, kita belum merdeka dan belum berdaulat dalam pemberlakuan hukum pidana.

Keempat, KUHP dan KUHAP tergolong hukum modern. Ciri menonjol hukum modern adalah kuatnya ketertundukan pada aspek prosedural sehingga aspek substantif sering terabaikan. Dalam konteks demikian, keadilan sebagai substansi yang ingin diraih melalui proses persidangan menjadi "barang" mahal harganya.

Pada pihak-pihak yang paham dan mahir "memainkan" hukum, merekalah yang memiliki peluang besar untuk "menang". Kemenangan itu tidak identik dengan keadilan, melainkan buah dari "peperangan". Pengadilan bukan lagi sebagai house of justice, melainkan berubah menjadi medan perang antara jaksa pada satu pihak melawan kuasa hukum terdakwa pada lain pihak.

Kelima, hukum bukanlah teks semata. Penggunaan KUHP dan KUHAP dalam persidangan sangat dipengaruhi oleh manusia-manusia yang mengoperasikannya. Masyarakat awam, pemirsa televisi, menyaksikan betapa sibuk hakim, jaksa, pengacara, para saksi, dan ahli, memutar otak, bersilat-lidah, berargumentasi, sekalian mencocokkannya dengan ketentuan hukum yang relevan.

Mereka seolah operator-operator hukum yang sedang memasukan data ke dalam "komputer hukum" agar keluar hasil akurat seperti diinginkan. Kerja mereka sangat teknologis.

Terkait dengan catatan hukum di atas, patut dipahami bahwa pengadilan sebagai institusi moral mestinya menampung harapan dan cita-cita moral masyarakat yakni terwujud keadilan substantif. Kemampuan segenap penegak hukum dalam memenuhi harapan masyarakat tersebut berpengaruh terhadap tingkat kepercayaannya kepada pengadilan.

Konkretnya, vonis atas kasus Jessica dapat dipastikan memunculkan pro dan kontra. Kepercayaan masyarakat terbelah. Artinya, pengadilan tidak dapat dipercayai sepenuhnya sebagai "rumah keadilan", apalagi institusi pemersatu bangsa. Bila masyarakat dan pengadilan masing-masing mengklaim pada kebenaran pendapatnya, sangat dikhawatirkan wibawa pengadilan semakin merosot.

Gangguan terhadap netralitas pengadilan sebagai institusi moral terindikasikan sedemikian besar dan kompleks. Banyak keanehan terjadi. Sering pula ada logika dipaksakan, jauh dari akal sehat masyarakat awam. Proses peradilan menjadi esoterik. Betapapun sulit membuktikan, jiwa sosial berbisik bahwa proses peradilan telah “teracuni” kepentingan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya.

Dalam perspektif sosiologis dan moralitas hukum, masyarakat sulit meyakini bahwa para operator hukum jujur menegakkan hukum demi keadilan substantif. Masyarakat tak tahu persis apa yang ingin diraihnya dalam peran masing-masing. Diduga, ada “udang di balik batu”. Dugaan demikian itu wajar dan rasional. Mengapa?

Karena, hukum merupakan instrumen strategis bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Jangan lupa, hukum dapat digunakan sebagai alat memperkaya diri sendiri, atau alat memenjarakan orang lain, atau menutupi kesalahan seseorang, dan sebagainya.

Bila pengamatan ini valid, dalam kerangka reformasi hukum, dibutuhkan pembenahan sistem penegakan hukum, utamanya tertuju pada hukumnya, kualitas sumber daya manusianya, dan budaya hukumnya. Ke depan hakim, jaksa, pengacara, dan penegak hukum lainnya diharapkan tidak lagi berhadap-hadapan, "bertempur", dan saling mendiskreditkan, melainkan menjadi satu skuadron pemberantas kejahatan dan pelayan pencari keadilan yang visioner, berintegritas, dan profesional. Wallahualam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6906 seconds (0.1#10.140)