Kitab Suci dan Pilkada

Jum'at, 21 Oktober 2016 - 07:32 WIB
Kitab Suci dan Pilkada
Kitab Suci dan Pilkada
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

DI luar dugaan, sebaris ayat Al-Maidah 51 dari Alquran tiba-tiba menjadi sangat populer, dikait-kaitkan dengan Pilkada DKI Jakarta. Pesan yang ingin ditonjolkan, umat Islam jangan memilih pemimpin yang tidak seiman.

Kata "pemimpin" terjemahan dari kata "aulia" dalam Alquran menjadi bahan diskusi panjang lebar mengingat kata "aulia" maknanya lebih luas dari kata "pemimpin". Awalnya ayat itu dikemukakan Basuki Thahaja Purnama atau Ahok, Gubernur DKI, lalu rekaman videonya diedit dan disebarkan sehingga menjadi viral nasional.

Saya tak akan memasuki diskusi tafsir ayat itu dan terlibat pro-kontra Pilkada DKI. Hanya ingin membuat catatan kecil bahwa ayat-ayat Alquran sering kali ditarik-tarik dalam pemilu dan pilkada.

Bisa jadi niatnya agar politik tetap berada di jalur yang benar menurut keyakinan agamanya. Itu bagian dari dakwah. Namun bisa saja karena motif lain, yaitu memanfaatkan wibawa kitab suci untuk memenangi pilkada.

Di sini motif politik dan kekuasaan yang primer, kutipan kitab suci posisinya sekunder. Praktik seperti ini tak aneh dalam sejarah Islam. Dulu yang namanya mazhab Khawarij paling doyan mengafir-ngafirkan sesama muslim yang berbeda paham dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran.

Jadi, di samping Alquran selalu mengajak menjaga persaudaraan, perdamaian, dan bertukar pendapat dengan santun, nyatanya banyak pula yang berbeda dan bertengkar karena perbedaan tafsir. Mereka berbeda karena pesan ayat yang memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.

Kitab tafsir atas kitab suci Alquran pasti paling banyak jumlahnya ketimbang tafsir atas kitab-kitab suci agama lain. Bahkan ilmu tafsir merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang kokoh, banyak ulama dan profesornya, banyak pula karya tulisnya.

Latar belakang akademis seseorang akan memengaruhi ketika mendekati dan menafsirkan Alquran. Lebih dari itu, tradisi menghafal dan lomba melagukan kitab suci hanya dilakukan umat Islam. Rasanya tak ada kitab suci selain Alquran yang dihafal dari awal sampai akhir.

Namun suasananya menjadi lain ketika tafsir kitab suci sudah masuk atmosfer politik. Ulama Pakistan pernah menentang pencalonan Benazir Butto dengan dalil Alquran tidak setuju seorang perempuan jadi presiden atau perdana menteri.

Presiden itu ibarat imam salat, harus laki-laki. Di Indonesia kalau tidak salah pernah juga muncul polemik serupa ketika Megawati maju sebagai calon presiden. Muncul dalil-dalil ayat Alquran dan Hadis yang menentang pencalonannya semata karena perempuan. Tapi akhirnya baik Benazir Butto maupun Megawati diterima juga sebagai kepala negara.

Sewaktu Gus Dur dicalonkan juga muncul perdebatan, menurut dalil agama, bolehkah orang yang sakit, terlebih penglihatannya yang sakit, bisa jadi kepala negara? Padahal dia mesti menandatangani sekian banyak surat keputusan sangat penting, tetapi tidak bisa membacanya?

Sekarang ini menjelang Pilkada DKI muncul lagi perdebatan seputar boleh-tidaknya seorang nonmuslim dipilih sebagai gubernur. Tapi ada lagi turunan masalahnya, yaitu Ahok dinilai telah menistakan Alquran. Jadi di sini ada dua masalah yang berhimpitan. Kita tunggu saja bagaimana akhir perdebatan ini.

Secara pribadi saya sepenuhnya memahami bahwa seorang muslim sangat wajar menjadikan Alquran sebagai pedoman hidupnya, termasuk dalam memilih pemimpin, memilih pekerjaan, memilih pasangan hidup dan seterusnya. Alquran adalah pedoman dan petunjuk kehidupan. Meski begitu di sisi lain juga masih dalam batas toleransi munculnya perbedaan penafsiran terhadap ayat Al-Maidah 51 karena pesannya tidak eksklusif dan absolut.

Bagi mereka yang nonmuslim atau bisa jadi seorang muslim, berpandangan bahwa pilkada adalah urusan duniawi yang bersifat rasional, empiris, tidak mesti terlalu jauh berdebat soal ayat mengingat tugas pokok pimpinan daerah itu sudah jelas, calon-calonnya juga sudah jelas. Jadi, pahami dan rumuskan saja apa kebutuhan utama warga DKI, lalu pilih siapa yang diyakini bisa memenuhi dan melayani kebutuhan warganya.

Gubernur itu pemenang tender yang bernama pilkada, tugasnya sebagai pelayan dan pemimpin. Kerjanya dibatasi waktu dan diawasi DPRD, BPK, KPK, pers, dan rakyat. Jangan sampai pilkada malah memecah belah umat beragama dan kerukunan berbangsa. Salurkan aspirasi keberagamaannya dengan cara yang cerdas dan terhormat.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0623 seconds (0.1#10.140)