Urgensi Revisi UU Parpol

Kamis, 13 Oktober 2016 - 09:17 WIB
Urgensi Revisi UU Parpol
Urgensi Revisi UU Parpol
A A A
Khairul Fahmi
Dosen HTN, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas

PERTENGAHAN 2015 pembentuk undang-undang (UU) hendak merevisi UU Parpol. Rencana tersebut dilatari fenomena konflik internal yang dapat menyebabkan parpol tidak dapat mengajukan pasangan calon pada pilkada serentak kala itu. Hanya, rencana dimaksud urung dilakukan karena alasan sempitnya waktu yang tersedia menjelang berakhirnya tahap pencalonan kepala daerah. Pada saat yang sama, parpol berkonflik pun tetap dapat mengajukan calon dengan jalan merevisi UU Pilkada. Akhirnya rencana perubahan UU Parpol sampai saat ini tak tentu rimbanya.

Padahal, dalam satu periode suksesi kepemimpinan politik terakhir, perkembangan yang terjadi di sekitar parpol dan penyelenggaraan pemilu dan pilkada menghendaki dilakukan pembaharuan UU Parpol. Ada kebutuhan hukum yang mesti dipenuhi agar penyelenggaraan pemilu/pilkada tidak tersandera oleh pelbagai masalah internal parpol. Kebutuhan hukum dimaksud hanya dapat dilakukan dengan menata kembali pengaturan parpol melalui revisi UU.

Dalam sepekan terakhir, pemerintah dan DPR memang sudah sampai pada suatu kesepakatan hendak merevisi regulasi terkait keuangan parpol. Hanya, kesepakatan itu bukan dalam bingkai memperbaiki UU Parpol, melainkan sebatas rencana menaikkan dana parpol yang bersumber dari APBN melalui revisi PP Nomor 5/2009 tentang Bantuan Keuangan Parpol.

Rencana itu seakan memberi petunjuk bacaan DPR dan pemerintah terkait masalah parpol sebatas urusan besaran dana parpol yang bersumber dari APBN. Dua institusi pembentuk undang-undang tersebut seakan tidak melirik bahwa pembenahan dengan memperbaiki UU Parpol merupakan jalan utama yang mesti ditempuh guna memperbaiki potret buram kehidupan politik nasional.

Pemerintah dan DPR secara implisit hendak menyampaikan pesan. Dengan penaikan bantuan keuangan parpol hingga 10 kali lipat dari yang ada saat ini, masalah korupsi politik dan kebobrokan parpol akan segera teratasi. Padahal, penyakit yang dialami parpol tidak sesederhana itu.

Alih-alih membantu parpol keluar dari krisis yang dialaminya, penyederhanaan masalah parpol sebatas besaran alokasi anggaran negara justru akan makin mempertinggi tempat jatuh. Sekadar menambah alokasi anggaran, kalau bukan sedang menangguk di air keruh, pemerintah dan DPR setidaknya tengah menyediakan ruang bagi uang rakyat dijadikan bancakan.

Betapa tidak, di tengah tingginya dukungan publik atas pembaharuan parpol, termasuk salah satunya mendukung penambahan alokasi anggaran negara untuk parpol, DPR dan pemerintah justru sebatas mengambil salah satunya. Mengambil bagian yang dianggap menguntungkan parpol dan meninggalkan ihwal yang dinilai membatasi ruang gerak parpol seperti tuntutan demokratisasi internal, transparansi, dan akuntabilitas keuangan.

Semestinya pemerintah dan DPR menyadari, dukungan publik atas penambahan alokasi dana parpol yang bersumber dari APBN/APBD merupakan dukungan bersyarat. Silakan uang negara dialokasikan dengan jumlah yang lebih besar, namun sejumlah tuntutan perbaikan mesti dipenuhi. Dalam konteks itu, pembahasan terkait alokasi anggaran parpol haruslah dilakukan secara berkelindan dengan pemenuhan sejumlah tuntutan publik dalam rangka mereformasi parpol agar lebih demokratis dan profesional.

Pertanggungjawaban dan Sanksi
Penambahan alokasi anggaran parpol dari kas negara linear dengan kewajiban pembenahan keuangan parpol. Setiap parpol harus menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas secara total dalam pengelolaan keuangannya. Transparansi berarti parpol mesti terbuka terhadap seluruh penerimaan dan pengeluaran.

Akuntabilitas bermakna, parpol mesti mempertanggungjawabkan semua keuangannya secara sama, termasuk yang bersumber dari selain anggaran negara. Berdasarkan penerapan dua prinsip dimaksud, semua anggaran parpol baik yang bersumber dari negara atau sumber lainnya wajib tercatat dan dilaporkan melalui mekanisme pelaporan keuangan parpol.

Selanjutnya terhadap laporan tersebut dilakukan audit oleh BPK dan auditor independen yang berada di bawah koordinasi BPK. Audit tidak hanya terhadap laporan realisasi, neraca, dan arus kas, melainkan juga audit khusus (investigation) kepatuhan parpol terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Dalam konteks itu, audit khusus tidak saja ketika diketahui ada indikasi kecurangan, melainkan juga dilakukan dalam keadaan biasa atau normal. Salah satu audit dimaksud dilakukan terhadap kesesuaian antara laporan keuangan dan portofolio program dan kegiatan parpol dalam satu tahun anggaran. Hal itu diperlukan untuk mengetahui kebenaran laporan sekaligus menghindari ada upaya "menggelapkan" realitas keuangan parpol yang sesungguhnya.

Dalam hal ditemukan pelanggaran atau kebohongan terkait sumber penerimaan, baik mengenai sumber, besaran jumlah, atau penerimaan yang tidak dilaporkan, parpol dimaksud dikenai sanksi administratif. Sanksi itu dapat berupa penurunan batas maksimal sumbangan yang boleh diterima parpol yang bersangkutan.

Penurunan mana bisa mencapai setengah dari jumlah penerimaan parpol pada tahun berjalan. Konsekuensinya, pada tahun berikutnya parpol yang terkena sanksi hanya boleh menerima sumbangan perorangan/badan hukum maksimal 50% dari yang ia peroleh tahun sebelumnya.

Terkait laporan penggunaan anggaran, jika ditemukan pelanggaran, UU juga mesti mengatur sanksinya. Merujuk penelitian Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas (2016), sanksi tersebut ditentukan sesuai tingkat dan jenis kesalahan yang dilakukan parpol. Dalam hal parpol tidak menyerahkan laporan sesuai tingkat waktu yang ditentukan, ia dikenai sanksi pembekuan bantuan sementara sampai laporan diserahkan.

Lebih jauh, jika berdasarkan hasil audit ditemukan ada laporan fiktif, parpol yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi penghentian pemberian bantuan dari keuangan negara selama dua tahun. Pada tingkat berikutnya, bila laporan keuangan dinyatakan disclaimer selama dua tahun berturut-turut, parpol dimaksud dihukum tidak dapat mengikuti pemilu periode berikutnya.

Sementara jika pengurus parpol terbukti melakukan korupsi untuk memperkaya atau menguntungkan parpolnya, parpol dikenai sanksi pembubaran melalui prosedur yang diatur UU. Dalam konteks itu, pemerintah sebagai pihak yang memiliki legal standing dibebani kewajiban untuk mengajukan permohonan pembubaran berdasarkan putusan pengadilan yang menyatakan parpol terbukti korupsi.

Karena itu, gagasan penambahan alokasi dana parpol sesungguhnya kait-berkait dengan tuntutan reformasi internal. Silakan menambah alokasi dana, namun sebagai pihak yang akan memperoleh keuntungan, parpol harus siap melakukan berbagai pembenahan. Pada saat yang sama, parpol juga mesti siap menerima pengetatan sistem pertanggungjawaban berikut ancaman saksinya. Jika hanya siap menambah alokasi anggaran negara, namun berkilah dari pengetatan sistem pertanggungjawaban, itu merupakan sikap cadiak buruak (cerdik buruk) yang patut dicap sebagai pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Bila tak hendak dianggap berkhianat, kesepakatan antara pemerintah dan DPR menambah alokasi dana parpol dari APBN melalui revisi PP tentang Bantuan Keuangan harus segera dievaluasi. Pembahasan penambahan alokasi anggaran mesti dilakukan secara komprehensif. Dalam arti, tidak sebatas besaran, tetapi juga tata kelola, pertanggungjawaban, dan sanksi terhadap pelanggaran sistem pengelolaan keuangan parpol.

Materi pengaturan yang demikian tentu tidak cukup hanya dimuat dalam aturan sekelas peraturan pemerintah, melainkan dalam UU. Jalannya, pemerintah dan DPR harus segera melakukan perubahan terhadap UU Parpol. Sistem pertanggungjawaban pengelolaan keuangan menjadi salah satu materi penting yang kelak akan dimuat di dalamnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8617 seconds (0.1#10.140)