Dimas Kanjeng dan Kegaiban yang Absurd

Kamis, 06 Oktober 2016 - 07:25 WIB
Dimas Kanjeng dan Kegaiban yang Absurd
Dimas Kanjeng dan Kegaiban yang Absurd
A A A
H Amidhan Shaberah
Ketua MUI (1995-2015)/Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI (1991-1996)/Ketua Yayasan Pondok Karya Pembangunan (PKP) Jakarta Islamic School

UMAT Islam kembali tercengang. Kali ini geger yang mencengangkan itu dipicu penangkapan Dimas Kanjeng Taat Pribadi karena kasus pembunuhan.

Konon, menurut Polda Jatim pada Minggu 2 Oktober 2016, Dimas Kanjeng menjadi otak pembunuhan Abdul Gani dan Ismail Hidayah, dua santrinya di Padepokan milik Dimas Kanjeng di Dusun Cangkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Abdul Gani, kata Ajun Komisaris Besar Taufik Hardyansyah dari Polda Jatim, dibunuh di ruang bungker Dimas Kanjeng. Mayat Abdul Gani kemudian dibuang di Wonogiri untuk menghilangkan jejak. Sedangkan mayat Ismail Hidayah ditemukan di Probolinggo. Dimas Kanjeng diduga mastermind dua pembunuhan tersebut.

Pengungkapan kasus pembunuhan Abdul Gani oleh Dimas Kanjeng ini ternyata menguak kasus yang lebih besar, yaitu kasus penipuan berupa penggandaan uang yang nilainya ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah. Modusnya, Dimas Kanjeng seakan-akan punya kemampuan gaib untuk mengambil, menggandakan, atau mendapatkan uang dari tempat-tempat tertentu, bahkan dari tubuhnya sendiri.

Melalui ritual-ritual tertentu antara lain membaca mantra salawat fulus, Dimas Kanjeng—seperti dituturkan santri-santrinya—mampu mendapatkan, menggandakan, atau menciptakan uang secara gaib melalui bagian-bagian tubuhnya. Uang tersebut kemudian dipertontonkan kepada para santri padepokannya dan kepada publik melalui media sosial.

Melalui modus ”ritual penggandaan dan pengambilan uang” inilah kemudian Dimas Kanjeng menobatkan dirinya sebagai tokoh gaib dengan gelar kebesaran raja-raja masa lalu seperti Raja Anom dan Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Saat penobatan Dimas Kanjeng menjadi Sri Raja Prabu Rajasa Nagara, Januari 2016, sejumlah raja dan bangsawan dari berbagai ”kerajaan” di Nusantara hadir di padepokan Dimas Kanjeng.

Karomah Wali?
Modus penipuan menggunakan fenomena gaib di Indonesia ternyata cukup ampuh menarik massa dan mendapat kepercayaan masyarakat. Banyak orang terkecoh dengan modus penipuan ala spiritual-gaib Dimas Kanjeng tersebut.

Tidak hanya masyarakat awam yang tertipu, tapi juga sejumlah selebritas, santri, kiai, politisi, pejabat, bahkan kaum intelektual yang terbiasa berpikir rasional. Yang terakhir ini terepresentasikan oleh pernyataan-pernyataan Dr Marwah Daud Ibrahim—ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan politisi Golkar—yang telah malang melintang di dunia keilmuan dan penelitian.

Menurut Marwah yang konon menjadi seorang pengurus Yayasan Dimas Kanjeng, Dimas Kanjeng adalah orang yang mampu menembus dimensi lain atau transdimensional person sehingga bisa menggandakan uang secara gaib. Kemampuan Dimas Kanjeng ini, oleh Marwah, secara sembrono disamakan dengan kemampuan BJ Habibie dalam merancang pesawat.

Penyepadanan Dimas Kanjeng dan Habibie jelas mengada-ada dan jauh dari perspektif keilmuan dan kecendekiaan. Namun, demi pembelaan kepada sang guru yang sangat dihormatinya, Marwah bisa menyatakan sesuatu yang di luar standar keilmuannya.

Pernyataan Marwah—menyamakan Dimas Kanjeng dengan BJ Habibie—jelas merupakan kekonyolan intelektual yang mengundang cibiran. Dan, Marwah beserta pengikutnya percaya bahwa Dimas Kanjeng adalah orang yang luar biasa yang mampu menembus dimensi lain dan memiliki karomah wali.

Masalah kegaiban ternyata masih menjadi ”sesuatu” yang menarik bagi masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia jika melihat fenomena yang terasa gaib—entah itu fenomena para psikologi, klenik, gendam, hipnosis, dan lain-lain—selalu atau sering mengaitkannya dengan mukjizat atau karomah. Mereka sering mengasosiasikannya dengan mukjizat yang terjadi pada Nabi Musa saat menyeberangi Laut Merah karena dikejar tentara Firaun (Ramses II) atau ketika Nabi Isa menghidupkan orang mati.

Sedangkan karomah wali sering diasosiasikan dengan cerita Sunan Bonang yang mampu mengubah buah aren menjadi emas. Publik tampaknya belum memahami apa itu hakikat mukjizat dan karomah.

Mukjizat dan karomah muncul tanpa diminta ”sang nabi atau wali”. Ia muncul karena kekuasaan Allah semata. Ini beda dengan Dimas Kanjeng di mana ”karomah” itu muncul atas permintaannya dan ia melakukan show of force di panggung publik.

Jika demikian, fenomena gaib itu kemungkinan berasal dari tiga hal. Pertama, merupakan trik sulap. Kedua, penipuan dengan gendam. Ketiga, hasil kerja sama dengan setan.

Dalam konteks ”kegaiban” inilah kemudian orang seperti Dimas Kanjeng memanfaatkan atau memanipulasi keawaman masyarakat Indonesia untuk meneguhkan dirinya bahwa dia pewaris para wali dengan segala karomahnya.

Seorang santri Dimas Kanjeng, sebut saja Harun, di Cikarang, Bekasi, menyatakan kekagumannya kepada Dimas Kanjeng karena dia melihatnya sendiri Dimas Kanjeng berhasil menghadirkan motor sport Kawasaki Ninja di sebuah kamar khusus di padepokannya. Padahal, sebelumnya kamar itu kosong melompong. Harun juga menunjukkan jam tangan mahal pemberian Dimas Kanjeng yang diperolehnya dengan cara-cara gaib. Menurut Harun, Dimas Kanjeng seorang wali yang mewarisi ilmu Sunan Bonang.

Manipulasi Kegaiban
Jika orang awam seperti Harun tertarik dengan fenomena kegaiban yang ”dimiliki” Dimas Kanjeng, hal yang sama tampaknya terjadi pada sejumlah artis yang menjadi murid Gatot Brajamusti di Sukabumi. Gatot seperti diakui artis Elma Theana -seorang murid Gatot yang kemudian meninggalkan padepokan—melakukan ritual-ritual khusus untuk menghadirkan ”kegaiban” kepada sejumlah santri-santrinya yang mayoritas artis itu.

Seorang santri Gatot yang taat, penyanyi Reza Artamevia, menyatakan, Gatot memang punya kesaktian yang mengagumkan. Petualangan ”penipuan” Gatot berakhir setelah polisi menggerebek padepokannya karena penyalahgunaan narkotika. Akhirnya Gatot ditangkap polisi karena kasus pemakaian narkotika dan kepemilikan senjata secara ilegal. Dari kasus-kasus kriminal tersebut, kemudian terungkap pula tindakan kriminal Gatot yang lain seperti sejumlah pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Kisah eksploitasi dan manipulasi kegaiban untuk kepentingan tertentu ”sang guru” juga terjadi pada komunitas Lia Eden, pimpinan Lia Aminudin di Jalan Mahoni, Senen, Jakarta. Dengan kemampuan gaibnya—konon atas perintah malaikat Jibril—Lia meminta para pengikutnya menyerahkan sejumlah emas untuk membuat mahkota Kerajaan Eden (Kingdom of Eden).

Sejumlah muridnya menyerahkan perhiasan mahal tersebut untuk membuat kursi kebesaran, tongkat, dan mahkota kerajaan yang berlapis emas. Sejauh ini belum ada murid-murid Lia Eden yang melaporkan pemaksaan pemberian emas tersebut kepada polisi.

Jika pun Lia Eden pernah dipenjara beberapa tahun lalu di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Perempuan Tangerang, kasusnya bukan ”penipuan emas”, melainkan penodaan agama. Lia oleh hakim dianggap dengan sengaja melakukan penistaan dan penodaan agama di Indonesia.

Kasus Dimas Kanjeng, Gatot Brajamusti, dan Lia Eden yang mengeksploitasi dan memanipulasi fenomena kegaiban untuk ”mengamuflase penipuannya” sungguh banyak sekali terjadi di Indonesia. Tiga kasus tersebut hanya ”gunung es” dari ribuan kasus serupa yang terjadi di pelbagai pelosok Tanah Air. Tragisnya, masyarakat Indonesia selalu saja tertipu dengan ihwal yang seperti itu.

Lalu, kenapa peristiwa aneh itu terjadi? Psikolog Aully Grashinta dari Universitas Pancasila, Jakarta, menyatakan, karena kemiskinannya, bangsa Indonesia masih sering mempercayai ihwal gaib yang absurd, yang seakan-akan mampu mengatasi permasalahan secara instan.

Perkembangan teknologi yang begitu cepat dan kompleksitas masyarakat modern yang sulit dicerna masyarakat tradisional menyebabkan fenomena gaib menjadi ”tempat pelarian” yang menyenangkan dan sekaligus menjanjikan. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang licik seperti Dimas Kanjeng, Gatot Brajamusti, dan Lia Eden.

Dari kasus-kasus di atas sebaiknya masyarakat tidak begitu saja percaya jika menemukan ihwal gaib seperti itu. Fenomena kegaiban itu sangat kompleks dan manusia sering tertipu. Karena itu, Allah melalui para utusan-Nya memandu manusia untuk mempercayai kegaiban hanya apabila kegaiban dilakukan oleh para kekasih Allah seperti yang diberitakan kitab-kitab suci. Selain itu, kita juga harus mewaspadainya karena bisa jadi merupakan penipuan atau sihir! Wallahualam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3086 seconds (0.1#10.140)