Politik dalam Bahasa

Sabtu, 01 Oktober 2016 - 09:24 WIB
Politik dalam Bahasa
Politik dalam Bahasa
A A A
Mohamad Sobary
Budayawan

Dalam berbahasa sehari-hari, sesuatu yang bisa disebut 'biasa', terdapat unsur politik yang jelas. Struktur bahasa bisa ditentukan oleh apa yang disebut politik tadi. Tanpa lebih dahulu mendefinisikan makna politik yang kompleks dan boleh jadi berbelit-belit, kita bisa langsung menunjukkan contoh politik dalam struktur dan makna bahasa kita. Di sini bahasa lisan maupun tulisan tidak memerlukan pembedaan. Lisan maupun tulisan sama-sama ungkapan bahasa yang tak terbebas dari politik tadi.

Relasi antara bawahan dan atasan di dalam lingkungan birokrasi, swasta maupun pemerintah, merupakan bentuk relasi politik. Di dalamnya kekuasaan terpancar dengan jelas melalui struktur atasan maupun bawahan tadi. Relasi politik seperti ini terpancar pula di dalam cara kita berbahasa.

Misalnya bisa kita lihat dalam hubungan atasan bawahan dalam birokrasi. Kekuasaan, biarpun kecil, selalu dikapitalisasi di dalam birokrasi. Seorang kepala seksi, yang rendah dan sempit wilayah kekuasaannya, tak mudah bermurah hati begitu saja tanpa membuat ruwet bawahan, semata untuk menunjukkan setidaknya secara simbolis bahwa dia berkuasa. Makin panjang deretan staf yang antre dengan merengek agar permohonannya dikabulkan makin berbahagialah sang kepala seksi karena jelas terbukti ada begitu banyak orang yang merunduk-runduk memohon belas kasihannya.

Ketua koperasi kantor mungkin bisa menjadi contoh. Juga bagian keuangan. Di sini bukan hanya direktur keuangan yang agak tinggi statusnya, melainkan kasir yang rendahan pun gemar mengapitalisasi kekuasaannya untuk pamer: akulah yang berkuasa. Kalau bawahan agak mendesak, meskipun dengan bahasa seorang pemohon yang cemas dan sopan, bisa saja kepala seksi berkata: yang berkuasa di sini kau apa aku?

***
Inilah politik dalam 'kandungan' bahasa kita sehari-hari. Sepandai apa pun orang menyembunyikannya, politik itu tak akan pernah tersembunyi secara sempurna. Makna simbolik di balik bahasa itu sangat jelas menggambarkan politik kebahasaan kita.

Di dalam suatu alinea teks sejarah, artinya dalam bahasa, cerminan politik di dalamnya mudah kita temukan biarpun kata politik tak terdapat di dalam teks tersebut. "Baginda Raja akhirnya memutuskan memanggil pemuda pemberontak itu untuk meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi lagi tindakannya. Tetapi sang pemuda menolak kedua-duanya. Dia tak mau menghadap, dan dengan sendirinya tak pernah meminta maaf. Dia mengatakan: Aku tak bersalah. Mengapa harus meminta maaf."

Kita mengenal ada bahasa pemerintah, yang ungkapannya menunjukkan kekuasaan politiknya. Di dalamnya ada pula bahasa penjilat, yang langgam berbahasanya merunduk-runduk, selalu membenarkan atasan. Semua kata, ucapan-ucapan dan keputusan tak pernah salah. Apa saja yang keluar dari atasan serba sudah benar. Maka untuk mengejek sikap si penjilat itu, lalu muncul bahasa resistensi: "Bahkan sebelum atasan berkata, si penjilat sudah membungkuk dalam-dalam sambil berkata: bapak benar."

Penjilat ada di pemerintahan, di swasta, di dunia politik maupun di dunia bisnis. Bahkan ada pula di dalam birokrasi lembaga-lembaga rohani. Di dalam politik bahasa sehari-hari yang kompleks tadi, ada yang disebut bahasa perlawanan. Ini bisa disebut bahasa alternatif yang tak menyukai kekuasaan otoriter, maupun watak serba penuh penjilatan tadi. Semangat dan gaya ungkapannya menuntut, mendobrak, melawan segenap kecenderungan bahasa dan tingkah laku yang anti watak egaliter.

Perlawanan bisa diungkapkan dengan berbagai cara. Ada pihak yang lugas, terus terang, terbuka, dan blak-blakan. Ada bahkan yang segenap artikulasi kebahasaannya cenderung kasar, dengan makian yang tak terkontrol. Di sini perlawanan menjadi sejenis kebencian pribadi. Tapi ini semua merupakan ungkapan jujur seorang warga negara kepada pemimpinnya.

***
Di radio, di televisi, di seminar-seminar atau di berbagai forum pertemuan terbuka, banyak kita jumpai politik bahasa yang menggambarkan keterbukaan dan sikap terus terang seperti itu. Dalam arti tertentu, politik bahasa diungkapkan bukan hanya dengan cara kurang sopan, tetapi juga merupakan ungkapan kebencian pribadi tadi.

Di media elektronik maupun di dalam media cetak, dan dalam berbagai modus komunikasi sosial, ada kemalasan dan kedangkalan berbahasa. Wartawan yang menelepon untuk meminta waktu melakukan wawancara, dengan mudahnya berkata: terkait isu politik mutakhir bagaimana bapak melihatnya? Terkait. Belum mengatakan apa pun sudah mulai "terkait" yang membosankan itu.

Mengapa tak mengatakan: dalam hubungan dengan, atau ada hubungannya dengan, atau ada kaitannya dengan... bagaimana penilaian anda? Terkait adalah cermin kemalasan berpikir dan berbahasa. Bahkan bisa jadi ini cermin kedangkalan pemikiran kita karena kita sudah puas dengan terkait, yang tak selalu mencerminkan makna yang dikehendaki. Tetapi semua orang media, bahkan orang birokrasi maupun akademisi secara beramai-ramai menggunakan kata itu tanpa proses koreksi yang cermat untuk mengungkapkan artikulasi kebahasaan yang juga cermat.

Sebelumnya, dan saat ini masih berlangsung, ada kata 'suci' yang digunakan secara semena-mena oleh banyak kalangan, terutama media elektronik. Mulanya kata itu dipakai di kalangan orang politik: Ya tentunya sebagai orang partai saya...Tentunya? Kata ini mencakup makna tentu saja, dengan sendirinya, sudah barang tentu, tak diragukan lagi. Banyak makna lebih bagus, lebih akurat, lebih mencerminkan keadaan, yang harus digunakan dengan cermat, api hanya 'tentunya' yang dipakai dengan cara malas dan dangkal

Di media elektronik, di kalangan presenter muda, bahkan diubah menjadi pastinya, yang tak menggambarkan kepastian apa pun selain sekali lagi, kemalasan berpikir dan kedangkalan cara berbahasa. Sayang, orang media tak bisa dikoreksi. Kecenderungan mau mencari mudahnya, dengan cara serampangan seperti ini tidak memperkaya bahasa. Hanya satu yang mereka dicapai: mendangkalkan dan membikin kita dungu.

Orang media sebagai kelompok strategis memang bukan penjaga taman kata-kata, tetapi mereka, dengan kemalasan tadi, bisa memengaruhi kelompok yang sangat luas di dalam masyarakat. Haruskah kita berkata: berbahasalah dengan baik? Atas dasar apa kita berbuat begitu.

Ada lagi politik bahasa yang bersikap menutup mata, tanpa berpikir mengenai lawan bicara. Ini datang dari dunia bisnis, yang seharusnya berbicara manis, diplomatis dan 'tepat' karena budi bahasa mereka merupakan iklan dan usaha menarik simpati masyarakat. Ini datang dari Telkomsel. Kita menelepon seseorang yang kita kenal dengan baik nomor HP-nya, tapi dia menjawab: nomor yang kamu tuju salah.

Sangat sembarangan mengatakan salah terhadap nomor yang kita tahu tidak salah. Kalau ini rekaman, ini harus diubah. Cari kata lain yang tak menggambarkan kebohongan. Kita tahu nomor yang kita putar tidak salah, mengapa dikatakan salah? Malas berpikir tepat dan akurat? Orang teknologi komunikasi kok membiarkan komunikasinya salah?

Lebih menjengkelkan lagi ini: Nomor yang kamu tuju tidak menjawab. Kamu? Apa dikira yang menelepon hanya anak muda yang sebaya dengan orang Telkomsel atau Telkom pada umumnya? Dikamu-kamukan dalam suasana sedang ruwet karena yang ditelepon tak menjawab, kita kecewa, dan jengkel. Dunia bisnis kok sembarangan dalam berkomunikasi.

Kita yang tahu bahasa yang kita telepon tak menjawab. Tahu persis, Tapi mengapa dengan agak 'pekok' dia memberi tahu: Nomor yang kamu tuju tidak mau menjawab. Komunikasi bisnis macam apa ini? Politik bahasa apa pula yang dipakai orang di dunia bisnis ini? Mengapa tak ada koreksi internal?

Politik berbahasa kita sehari-hari terasa genit, dan sok akrab, tapi ini bukan politik bahasa yang baik. Apalagi dalam dunia bisnis.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0942 seconds (0.1#10.140)