Strategi Guru Pembelajar

Rabu, 28 September 2016 - 09:46 WIB
Strategi Guru Pembelajar
Strategi Guru Pembelajar
A A A
Jejen Musfah
Dosen Pascasarjana
Manajemen Pendidikan UIN Jakarta

PELATIHAN Guru Pembelajar (GP) Moda Daring (dalam jaringan) mulai dilaksanakan pemerintah September hingga Desember 2016 mendatang. Kebijakan GP adalah kelanjutan kebijakan uji kompetensi guru (UKG) yang hasilnya tidak memuaskan.

UKG tahun 2015 menguji kompetensi guru untuk dua bidang, yaitu pedagogis dan profesional. Rata-rata nasional hasil UKG 2015 untuk kedua bidang kompetensi itu adalah 53,02, di bawah nilai standar kompetensi minimum (SKM) yang ditargetkan secara nasional, yaitu rata-rata 55.

Pesan kebijakan GP sesungguhnya adalah guru harus menjadi pembelajar sepanjang hayat dengan memanfaatkan media apa pun termasuk internet sehingga kompetensinya terus meningkat sesuai perkembangan zaman. Dalam praktik di beberapa sekolah di banyak daerah diketahui bahwa pembelajaran dalam jaringan menemui banyak kendala yang berat.

Penghambat
Pertama, kesiapan guru belajar secara daring. Tidak semua guru terbiasa menggunakan komputer meskipun teknologi informasi dan komputer (TIK) sudah lama masuk ke sistem dan pembelajaran sekolah. Laporan Microsoft Asia Edu Tech Survey 2016 terhadap sekitar 200 tenaga pengajar se-Asia-Pasifik menyimpulkan bahwa masih banyak guru yang belum melek teknologi akibat kurangnya pelatihan, pendanaan, dan kurikulum yang belum terintegrasi dengan perkembangan teknologi.

Cara belajar dan mengajar guru masih konvensional meskipun di sekolah sudah difasilitasi komputer dan infokus. Cara berpikir guru masih tradisional.

Belajar daring adalah satu di antara cara belajar yang niscaya dan perlu bagi guru di abad ke-21 ini. Komputer yang terkoneksi internet menyajikan bahan belajar yang akan membantu guru dalam belajar dan mengajar. Kebijakan GP tidak akan cepat bisa mengubah cara pandang guru terhadap TIK meskipun kebijakan ini dinilai baik oleh banyak kalangan.

Kedua, guru tidak punya komputer karena tidak mampu membeli atau tidak menganggap perlu memiliki. Gaji guru masih sangat rendah. Disebutkan bahwa rata-rata gaji guru honorer yang bekerja di sekolah negeri adalah Rp150.000-200.000 per bulan.

Komputer yang harganya ”hanya” 2 jutaan tidak terbeli oleh guru. Memang ada guru yang beruang seperti guru PNS atau guru swasta di sekolah kelas menengah-atas, tetapi tidak punya komputer atau punya, hanya saja tidak memanfaatkannya secara baik.

Belajar daring memerlukan internet, tetapi berapa jumlah guru yang bersedia menyisihkan uangnya untuk membeli kuota internet bulanan seharga 100.000 hingga 200.000 rupiah?

Guru beruang, tetapi tidak haus informasi dan cinta pengetahuan akan segan mengeluarkan uang sebesar itu. Masalahnya, mungkin banyak guru ingin maju dalam belajar, tetapi mengalami kendala keuangan.

Ketiga, meski guru mengajar minimal 24 jam dalam seminggu (sesuai UU Guru dan Dosen), kenyataannya guru mengajar lebih dari itu. Jam mengajar ideal guru adalah 18 jam per minggu sehingga rata-rata guru mengajar 3 jam pelajaran per hari. Jika beban guru tetap 24 jam, kekurangannya bisa dipenuhi dengan tugas di luar tatap muka seperti menjadi wali kelas, pembina OSIS, pembimbing ekstrakurikuler, guru piket, meneliti, dan menulis.

Beban mengajar yang padat tersebut membuat guru sedikit punya waktu untuk belajar. Waktu guru habis di kelas. Di luar sekolah guru sudah kelelahan, bukan saja karena banyaknya jam mengajar, tetapi juga karena mereka mengajar lebih dari satu sekolah. Jarak tempuh antarsekolah yang jauh, kemacetan, juga berkendara motor menguras tenaga guru setiap hari.

Keempat, masih sedikit sekolah yang menyediakan internet di sekolah, baik untuk guru maupun untuk siswanya. Jangankan internet, banyak sekolah yang tidak memiliki laboratorium komputer. Bangunan sekolah bahkan banyak yang sudah tidak layak seperti rentan roboh, lantai tidak dikeramik, bocor saat hujan, dan berdinding kayu.

Solusi
Berikut beberapa saran kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait agar kelak guru menjadi pembelajar sehingga kompetensinya berangsur bagus. Pertama, standardisasi fasilitas sekolah seperti laboratorium komputer dan perpustakaan sehingga sekolah bisa jadi pusat belajar siswa dan guru. Ada kesenjangan yang lebar antara sekolah negeri dengan sekolah swasta.

Pemerintah tidak mudah memberikan izin pendirian sekolah baru sambil mengembangkan sekolah swasta yang sudah ada. Di samping dana dari pemerintah, dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan besar bisa diarahkan untuk pengadaan fasilitas sekolah.

Kedua, memperbaiki kesejahteraan guru. Sertifikasi guru tetap dijalankan, tetapi tidak dijadikan syarat guru memperoleh tunjangan profesi; semua guru tanpa terkecuali berhak memperoleh gaji sesuai standar upah minimum.

Gaji guru swasta masih jauh bila dibandingkan dengan gaji guru negeri. Sepanjang gaji guru swasta masih di bawah upah minimum akan sulit mengharapkan kompetensi dan profesionalisme guru.

Ketiga, mengurangi jam mengajar guru dari 24 jam per minggu menjadi 12 atau 18 jam. Di samping mengajar, guru diwajibkan mengikuti pelatihan, seminar, meneliti, dan menulis. Kewajiban menulis mendorong guru untuk membaca buku dan jurnal. Seperti dosen, beban kerja guru tidak hanya mengajar, tetapi juga meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.

Keempat, memperbaiki kualitas fakultas pencetak guru sehingga 10 tahun ke depan input guru bagus. Persoalan kompetensi guru terkait dengan mutu lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang banyak saat ini, tetapi kualitasnya tidak terjamin. Belum lagi banyak guru yang belum sarjana dan mismatch. Meski hanya mengukur dua aspek dari empat kompetensi guru, hasil UKG di atas menampar wajah pendidikan Indonesia.

Kebijakan GP model daring tidak buruk, tetapi tidak sesuai dengan kondisi kebanyakan sekolah dan guru-guru Indonesia saat ini sehingga tidak akan efektif. Pengembangan keprofesian berkelanjutan tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pihak, terutama guru itu sendiri. Dengan kemampuannya sendiri, guru harus kreatif dalam hal belajar agar kemampuannya terus meningkat dan tidak tergilas zaman.

Menyerap pengetahuan yang melimpah ruah di abad ini membutuhkan rasa ingin tahu yang besar dari guru, bukan karena kemauan pemerintah atau siapa pun yang prihatin dengan kualitas guru. Para guru dan para pembelajar di mana pun, selamat menyambut dan mengisi Hari Hak untuk Tahu, 28 September 2016. Terus belajar adalah marwah guru dan setiap pendidik.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0534 seconds (0.1#10.140)