Membaca Wajah & Gestur Tersangka
A
A
A
Tb Ronny Rachman Nitibaskara
Kriminolog/Antropolog, Ketua Program Studi Kajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia
BELAKANGAN ini kasus pembunuhan Mirna yang diduga dilakukan Jessica menggunakan racun sianida, makin menyita perhatian masyarakat banyak. Persidangan yang disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi terkemuka tersebut boleh dikatakan merupakan salah satu acara yang paling ditunggu banyak pihak dan menyaingi beberapa acara sinetron yang ada.
Kejadian itu sendiri bermula saat mereka Jessica, Hani dan Mirna, berencana bertemu di Kafe Olivier. Demi memudahkan kedua temannya, Jessica memesankan mereka minuman. Namun, pertemuan tersebut malah berujung tewasnya Mirna setelah meminum kopi yang dihidangkan di meja tempat Jessica selama kurang lebih 39 menit 51 detik telah berada dekat posisi Mirna duduk kelak, sebelum mereka berdua tiba.
Banyak polemik dan pertanyaan siapa sebenarnya pelaku yang menyebabkan meninggalnya Mirna. Minimnya informasi yang ada, termasuk permasalahan ada tidaknya saksi yang jelas-jelas menunjukkan Jessica pelakunya secara fisik, mau tidak mau telah membuat para kriminolog dengan pendekatan ilmu multidisipliner terpanggil untuk membantu mengungkapkan kasus tersebut melalui ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh (gesture) pihak yang diduga pelaku.
Wajah dan Gestur
Ilmu membaca wajah untuk mengetahui sifat dan karakter manusia merupakan hasil penelitian hakim Edward Jones selama masa tugasnya di Negeri Paman Sam. Tingkat akurasi riset yang populasi dan respondennya ratusan dari berbagai golongan seperti politisi, artis layar lebar, hingga presiden tersebut, telah diakui banyak pihak sebesar 92%.
Ilmu membaca wajah yang kemudian disempurnakan oleh para pengikut beliau tersebut merupakan salah satu pendekatan yang digunakan sebagai langkah awal kriminolog memeriksa tersangka untuk mengetahui karakteristik dan sifat dirinya. Maka, tujuan ilmu membaca wajah bukanlah untuk menentukan atau menilai seseorang sebagai penjahat.
Tahap berikutnya, dilanjutkan dengan mengamati bahasa tubuh atau gestur yang bersangkutan. Teknik yang pernah diteliti Joe Navarro (2008), mantan agen FBI dan pakar antropologi Profesor David Givens (2008) dari Washington University selama kariernya tersebut, dapat menunjukkan seseorang jujur, gelisah, cemas, nyaman, tidak nyaman, takut, gembira, dan sebagainya hingga berbohong. Prosedur menginterogasi di atas juga memperhatikan beberapa pedoman yang digunakan para agen ATF (Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives) di Amerika Serikat seperti Investasi emosional, perilaku dasar (baseline), bahasa tubuh, lisan (nada, getar, jeda), analisis pernyataan dan kekuatan pertanyaan (Driver, 2012).
Melalui metode tersebut, Navarro pernah memecahkan kasus pemerkosaan palsu ketika korban yang melaporkan mengalami pemerkosaan tidak menunjukkan gestur kecemasan, kesedihan, kegelisahan, dan ketakutan sebagaimana umumnya korban pemerkosaan lainnya. Beliau juga pernah menemukan seorang tersangka kasus pembunuhan bersembunyi di rumah ibunya, karena si ibu setiap ditanyakan perihal keberadaan anaknya selalu menjawab ”tidak tahu” sembari menyentuh lehernya (menyentuh leher adalah tanda kecemasan, kekhawatiran, kegelisahan, ketakutan).
Perilaku tersebut tidak muncul ketika menjawab pertanyaan yang lainnya, hanya terlihat saat menjawab pertanyaan di atas. Belakangan diketahui bahwa tersangka bersembunyi di lemari ibunya.
Mengapa Navarro bisa melakukan hal demikian? Karena beliau memahami bahwa bahasa tubuh atau gestur manusia digerakkan otak limbik yang secara refleks membuat seseorang melakukan gerakan-gerakan tertentu dalam suatu situasi dan kondisi yang dialaminya. Misalnya, apabila seseorang melupakan sesuatu, ketika ia mengingatnya, biasanya otak limbik akan menggerakkan telapak tangan ke dahi (menepuk/menyentuh dahi), seseorang yang merasa cemas, gelisah, serta takut umumnya akan menyentuh bagian tubuh lainnya sebagai cara menenangkan diri, dan seterusnya.
Otak limbik itu sendiri memberikan reaksi diam, hindari, dan hadapi. Ketika berada dalam reaksi diam, seorang pencuri yang memasuki rumah seseorang kemudian mendengar ada pintu kamar terbuka atau ada suara-suara, ia akan melakukan reaksi diam agar tidak ketahuan pemilik rumah.
Reaksi kedua otak limbik yaitu hindari dapat dilihat ketika seseorang tidak suka dengan orang yang ditemuinya yang bersangkutan akan menjauhkan salah satu bagian tubuhnya atau mengalihkan pandangan (matanya) dari orang tersebut. Perilaku serupa dapat terjadi apabila seseorang tidak suka atau tidak tertarik dengan suatu topik pembicaraan. Respons hindari juga biasa dilakukan pelaku kejahatan dengan jalan menghindari menjawab pertanyaan maupun sikap dan tindakan yang dapat mengarahkannya ke perbuatan yang telah ia lakukan.
Reaksi terakhir otak limbik adalah hadapi. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan tidak bisa lagi melakukan aksi diam dan hindari, ia akan lakukan aksi hadapi. Wujud dari cara ini adalah yang bersangkutan akan menyangkal, memberikan alibi, adu argumentasi, membuang barang yang berhubungan dengan kejahatan yang dilakukannya, berbohong, dan seterusnya.
Patut dicermati, pelaku yang berbohong akan memiliki beban kognitif karena harus menciptakan suatu alur cerita atau alibi yang sesuai untuk mengesankan dirinya jujur. Hal tersebut lambat laun akan mengakibatkan suatu ”kebocoran” atau hotspot dari diri yang bersangkutan melalui bahasa tubuhnya yang menunjukkan bahwa ia berbohong.
Kenyataan ini pernah terjadi dalam suatu kasus pemerkosaan yang pernah ditangani Joe Navarro, ketika tangan pelaku tanpa sadar menunjuk lokasi pemerkosaan saat ditanya keberadaan dirinya waktu peristiwa itu terjadi. Pada momen inilah pendekatan ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh atau gesture sangat dibutuhkan.
Dalam penegakan hukum, ilmu membaca wajah adalah langkah awal kriminolog pendekatan ilmu multidisipliner untuk mencari tahu sifat atau karakteristik seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, sedangkan bahasa tubuh/ gestur merupakan tahap selanjutnya agar bisa mengetahui situasi dan kondisi yang bersangkutan seperti gelisah, senang, takut, jujur, nyaman, tidak nyaman, berbohong.
Ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh/gestur yang sering disalahartikan banyak pihak, telah digunakan untuk membantu mengungkapkan kasus, antara lain yang mengemuka seperti kasus pembunuhan Engeline di Bali. Pendekatan di atas dipakai sebagai salah satu rujukan dalam penegakan hukum kasus itu sendiri.
Oleh karena itu, anggapan bahwa kedua ilmu yang merupakan hasil penelitian hakim, agen FBI, agen ATF, dan profesor antropologi dari Amerika hanya merupakan asumsi, kesan, klenik, dan sebagainya, menunjukkan yang bersangkutan sama sekali tidak memahami ilmu kriminologi dengan pendekatan multidisipliner yang memanfaatkan ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh atau gestur.
Tulisan ini juga bermaksud meluruskan dan menyempurnakan pendapat ahli dari pihak Otto, Eva A Zulfa yang dimuat di salah satu media nasional 20 September 2016. Sekaligus merupakan pencerahan bagi kuasa hukum Jessica, Dr Otto Hasibuan dkk bahwa ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh bukan ilmu perdukunan seperti disangkakan oleh mereka.
Kriminolog/Antropolog, Ketua Program Studi Kajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia
BELAKANGAN ini kasus pembunuhan Mirna yang diduga dilakukan Jessica menggunakan racun sianida, makin menyita perhatian masyarakat banyak. Persidangan yang disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi terkemuka tersebut boleh dikatakan merupakan salah satu acara yang paling ditunggu banyak pihak dan menyaingi beberapa acara sinetron yang ada.
Kejadian itu sendiri bermula saat mereka Jessica, Hani dan Mirna, berencana bertemu di Kafe Olivier. Demi memudahkan kedua temannya, Jessica memesankan mereka minuman. Namun, pertemuan tersebut malah berujung tewasnya Mirna setelah meminum kopi yang dihidangkan di meja tempat Jessica selama kurang lebih 39 menit 51 detik telah berada dekat posisi Mirna duduk kelak, sebelum mereka berdua tiba.
Banyak polemik dan pertanyaan siapa sebenarnya pelaku yang menyebabkan meninggalnya Mirna. Minimnya informasi yang ada, termasuk permasalahan ada tidaknya saksi yang jelas-jelas menunjukkan Jessica pelakunya secara fisik, mau tidak mau telah membuat para kriminolog dengan pendekatan ilmu multidisipliner terpanggil untuk membantu mengungkapkan kasus tersebut melalui ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh (gesture) pihak yang diduga pelaku.
Wajah dan Gestur
Ilmu membaca wajah untuk mengetahui sifat dan karakter manusia merupakan hasil penelitian hakim Edward Jones selama masa tugasnya di Negeri Paman Sam. Tingkat akurasi riset yang populasi dan respondennya ratusan dari berbagai golongan seperti politisi, artis layar lebar, hingga presiden tersebut, telah diakui banyak pihak sebesar 92%.
Ilmu membaca wajah yang kemudian disempurnakan oleh para pengikut beliau tersebut merupakan salah satu pendekatan yang digunakan sebagai langkah awal kriminolog memeriksa tersangka untuk mengetahui karakteristik dan sifat dirinya. Maka, tujuan ilmu membaca wajah bukanlah untuk menentukan atau menilai seseorang sebagai penjahat.
Tahap berikutnya, dilanjutkan dengan mengamati bahasa tubuh atau gestur yang bersangkutan. Teknik yang pernah diteliti Joe Navarro (2008), mantan agen FBI dan pakar antropologi Profesor David Givens (2008) dari Washington University selama kariernya tersebut, dapat menunjukkan seseorang jujur, gelisah, cemas, nyaman, tidak nyaman, takut, gembira, dan sebagainya hingga berbohong. Prosedur menginterogasi di atas juga memperhatikan beberapa pedoman yang digunakan para agen ATF (Bureau of Alcohol, Tobacco, Firearms and Explosives) di Amerika Serikat seperti Investasi emosional, perilaku dasar (baseline), bahasa tubuh, lisan (nada, getar, jeda), analisis pernyataan dan kekuatan pertanyaan (Driver, 2012).
Melalui metode tersebut, Navarro pernah memecahkan kasus pemerkosaan palsu ketika korban yang melaporkan mengalami pemerkosaan tidak menunjukkan gestur kecemasan, kesedihan, kegelisahan, dan ketakutan sebagaimana umumnya korban pemerkosaan lainnya. Beliau juga pernah menemukan seorang tersangka kasus pembunuhan bersembunyi di rumah ibunya, karena si ibu setiap ditanyakan perihal keberadaan anaknya selalu menjawab ”tidak tahu” sembari menyentuh lehernya (menyentuh leher adalah tanda kecemasan, kekhawatiran, kegelisahan, ketakutan).
Perilaku tersebut tidak muncul ketika menjawab pertanyaan yang lainnya, hanya terlihat saat menjawab pertanyaan di atas. Belakangan diketahui bahwa tersangka bersembunyi di lemari ibunya.
Mengapa Navarro bisa melakukan hal demikian? Karena beliau memahami bahwa bahasa tubuh atau gestur manusia digerakkan otak limbik yang secara refleks membuat seseorang melakukan gerakan-gerakan tertentu dalam suatu situasi dan kondisi yang dialaminya. Misalnya, apabila seseorang melupakan sesuatu, ketika ia mengingatnya, biasanya otak limbik akan menggerakkan telapak tangan ke dahi (menepuk/menyentuh dahi), seseorang yang merasa cemas, gelisah, serta takut umumnya akan menyentuh bagian tubuh lainnya sebagai cara menenangkan diri, dan seterusnya.
Otak limbik itu sendiri memberikan reaksi diam, hindari, dan hadapi. Ketika berada dalam reaksi diam, seorang pencuri yang memasuki rumah seseorang kemudian mendengar ada pintu kamar terbuka atau ada suara-suara, ia akan melakukan reaksi diam agar tidak ketahuan pemilik rumah.
Reaksi kedua otak limbik yaitu hindari dapat dilihat ketika seseorang tidak suka dengan orang yang ditemuinya yang bersangkutan akan menjauhkan salah satu bagian tubuhnya atau mengalihkan pandangan (matanya) dari orang tersebut. Perilaku serupa dapat terjadi apabila seseorang tidak suka atau tidak tertarik dengan suatu topik pembicaraan. Respons hindari juga biasa dilakukan pelaku kejahatan dengan jalan menghindari menjawab pertanyaan maupun sikap dan tindakan yang dapat mengarahkannya ke perbuatan yang telah ia lakukan.
Reaksi terakhir otak limbik adalah hadapi. Ketika seseorang yang melakukan kejahatan tidak bisa lagi melakukan aksi diam dan hindari, ia akan lakukan aksi hadapi. Wujud dari cara ini adalah yang bersangkutan akan menyangkal, memberikan alibi, adu argumentasi, membuang barang yang berhubungan dengan kejahatan yang dilakukannya, berbohong, dan seterusnya.
Patut dicermati, pelaku yang berbohong akan memiliki beban kognitif karena harus menciptakan suatu alur cerita atau alibi yang sesuai untuk mengesankan dirinya jujur. Hal tersebut lambat laun akan mengakibatkan suatu ”kebocoran” atau hotspot dari diri yang bersangkutan melalui bahasa tubuhnya yang menunjukkan bahwa ia berbohong.
Kenyataan ini pernah terjadi dalam suatu kasus pemerkosaan yang pernah ditangani Joe Navarro, ketika tangan pelaku tanpa sadar menunjuk lokasi pemerkosaan saat ditanya keberadaan dirinya waktu peristiwa itu terjadi. Pada momen inilah pendekatan ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh atau gesture sangat dibutuhkan.
Dalam penegakan hukum, ilmu membaca wajah adalah langkah awal kriminolog pendekatan ilmu multidisipliner untuk mencari tahu sifat atau karakteristik seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, sedangkan bahasa tubuh/ gestur merupakan tahap selanjutnya agar bisa mengetahui situasi dan kondisi yang bersangkutan seperti gelisah, senang, takut, jujur, nyaman, tidak nyaman, berbohong.
Ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh/gestur yang sering disalahartikan banyak pihak, telah digunakan untuk membantu mengungkapkan kasus, antara lain yang mengemuka seperti kasus pembunuhan Engeline di Bali. Pendekatan di atas dipakai sebagai salah satu rujukan dalam penegakan hukum kasus itu sendiri.
Oleh karena itu, anggapan bahwa kedua ilmu yang merupakan hasil penelitian hakim, agen FBI, agen ATF, dan profesor antropologi dari Amerika hanya merupakan asumsi, kesan, klenik, dan sebagainya, menunjukkan yang bersangkutan sama sekali tidak memahami ilmu kriminologi dengan pendekatan multidisipliner yang memanfaatkan ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh atau gestur.
Tulisan ini juga bermaksud meluruskan dan menyempurnakan pendapat ahli dari pihak Otto, Eva A Zulfa yang dimuat di salah satu media nasional 20 September 2016. Sekaligus merupakan pencerahan bagi kuasa hukum Jessica, Dr Otto Hasibuan dkk bahwa ilmu membaca wajah dan bahasa tubuh bukan ilmu perdukunan seperti disangkakan oleh mereka.
(poe)