Menguji Soliditas Koalisi Pendukung Ahok
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
SETELAH melalui proses politik yang cukup pelik, akhirnya PDIP bersama Nasdem, Hanura, dan Golkar turut serta mengusung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.
Banyak kalangan menilai, setelah PDIP memutuskan mendukung Ahok, gelaran Pilkada DKI Jakarta sebatas seremonial karena pemenangnya sudah bisa diterka. Penilaian tersebut didasarkan pada sejumlah hasil survei mutakhir yang menempatkan Ahok sebagai kandidat yang nyaris tanpa tanding.
Sepintas lalu, tafsir politik semacam ini ada korelasinya jika membaca arah politik secara linear. Dua penantang Ahok, yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni serta pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno masih kalah jauh dari popularitas dan elektabilitas Ahok.
Namun, tak ada yang absolut dalam politik. Apa pun bisa terjadi dalam hitungan detik. Andrew Heywood menyitir ahli politik kenamaan asal Prusia, Otto von Bismarck, dalam Political Theory (1999) menyebut politik sebagai seni kemungkinan (the art of possibilities). Politik dipercaya mampu mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi serba mungkin.
Pernyataan Pilkada DKI Jakarta sudah usai setelah PDIP merapat ke Ahok merupakan pernyataan berlebihan yang mendahului kehendak Tuhan. Apalagi, DKI Jakarta merupakan barometer konstelasi politik nasional yang meniscayakan munculnya kekuatan-kekuatan politik baru yang bergerak dinamis tak terduga.
Salah satu yang akan terus bergerak dinamis yakni soal bagaimana merawat soliditas dukungan pasca-PDIP merapat ke Ahok. Bukan mustahil, masuknya PDIP justru akan merusak suasana batin Golkar, Nasdem, dan Hanura yang sudah kondusif. Dalam konteks inilah, soliditas pendukung Ahok akan diuji guna memenangkan kontestasi elektoral di jantung Ibu Kota.
Ada tiga hal yang bisa dibaca terkait dinamika politik yang akan dihadapi Ahok-Djarot ke depan. Pertama, terkait soliditas antarpartai pendukung. Jika tidak dikelola dengan baik, bangunan koalisi empat partai ini hanya akan menimbulkan friksi dan konflik internal.
Pasalnya, jauh hari sebelum melabuhkan dukungan ke Ahok, elite PDIP kerap ”menyerang” mantan bupati Belitung Timur ini. Dalam banyak kesempatan, elite PDIP secara vulgar menuding Ahok sebagai pemimpin yang tak prorakyat dan arogan. Bahkan, muncul ”nyanyian” dalam acara resmi PDIP yang memekikkan Ahok bakal tumbang. Membangun harmoni dan kesamaan persepsi menjadi hal penting untuk menjaga kekompakan antar pendukung Ahok.
Selain itu, sebagai partai pengusung awal Ahok, NasDem, Hanura dan Golkar mulai gerah dengan zig-zag politik yang terus dilakukan PDIP. Klaim PDIP sebagai partai pengusung utama, kocok ulang komposisi tim sukses hingga penyematan jas merah saat Ahok dan Djarot mendaftar ke KPUD Jakarta, memercik kegaduhan dalam koalisi. PDIP dinilai egois karena ingin mendominasi Ahok.
Kedua, menyangkut soliditas di internal PDIP. Setelah PDIP resmi mendukung Ahok, muncul sejumlah gejolak di level bawah. Banyak kader PDIP yang kemudian merasa kecewa dengan keputusan oligarkis sang ketua umum mereka. Di level elite pun sudah muncul kekecewaan yang terpotret dari pengunduran diri Boy Sadikin dari keanggotaan partai.
Kader PDIP telanjur sakit hati. Masih terluka dengan pernyataan Ahok yang kerap mendiskreditkan mereka. Jika dirunut ke belakang, munculnya rumor Ahok yang akan maju dari calon independen tak lebih dari sekadar dead lock politik antara Ahok dan PDIP. Ahok menolak mengikuti semua proses serta mekanisme di internal PDIP. Pun termasuk pernyataan Ahok soal adanya mahar politik yang diminta jika ia maju dari jalur partai politik.
Pernyataan-pernyataan Ahok yang kerap menyerang cukup membekas dalam benak kader akar rumput PDIP. Dalam konteks tertentu, kader PDIP menganggap marwah partai sebagai sesuatu yang vital dibandingkan dengan kemenangan itu sendiri. Bukan hal mustahil jika kader PDIP nantinya justru akan melakukan pembangkangan terhadap keputusan partai.
Sementara yang ketiga soal faktor pesaing Ahok. Setelah Ahok dan Djarot resmi mendaftar ke KPUD Jakarta, koalisi penantang Ahok kembali berdenyut setelah sebelumnya sempat lesu. Meski terbelah dua, koalisi non-Ahok mengusung kandidat yang tak bisa diremehkan.
Kini, poros Cikeas sudah mantap mengusung Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni untuk menantang Ahok. Sebagai panglima poros Cikeas, SBY tentu saja akan menggunakan segala sumber daya politiknya untuk mendongkrak elektabilitas pasangan ini. Pasalnya, Pilkada DKI merupakan pertaruhan kredibilitas SBY di mata publik. Bahkan, SBY akan menjadikan pilkada kali ini rasa Pilpres 2004 seperti saat dirinya melawan Megawati Soekarnoputri dalam Pilpres 2004 silam.
Sementara poros Prabowo Subianto yang mengusung duet Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, juga tak bisa dipandang sebelah mata. Sosok Anies yang cukup populer dan bersahaja bisa menjadi aset elektoral yang menjanjikan. Seperti SBY, Prabowo sepertinya akan menjadikan Pilkada Jakarta sebagai ajang ”balas dendam” terhadap poros Ahok yang dikomandoi Megawati Soekarnoputri.
Konfigurasi politik Pilkada DKI Jakarta yang hanya diikuti tiga pasangan calon memungkinkan pilkada akan berlangsung dua putaran. Kecuali ada salah satu pasangan kandidat yang mampu meraup dukungan 50% suara dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Jakarta. Jika tidak, pilgub akan digelar dua putaran.
Jika Tuhan menakdirkan, putaran kedua akan mempertemukan SBY dan Prabowo Subianto entah sebagai rival maupun sebagai teman kongsi melawan Ahok. Pasalnya, SBY maupun Prabowo memiliki spirit politik serupa, yakni asal bukan Ahok.
Dalam konteks inilah kemudian, Pilkada DKI Jakarta belum sepenuhnya selesai. Banyak kemungkinan yang bakal terjadi. Apalagi partai pendukung Ahok seperti Golkar, NasDem, dan Hanura tak memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemenang di Jakarta.
Masih segar dalam ingatan saat Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, Golkar yang menjagokan Alex Nurdin tak mendapat suara yang signifikan. Apalagi, NasDem dan Hanura sebagai partai pendatang baru belum memiliki basis konstituen yang bisa diandalkan. Hanya PDIP yang memiliki rekam jejak sebagai petarung, meski saat ini dalam bayang-bayang insoliditas kadernya yang masih terluka.
Pada titik inilah, soliditas kekuatan politik pendukung Ahok bakal terus diuji untuk memenangkan perang elektoral di Ibu Kota. Kemenangan Ahok akan ditentukan oleh sejauh mana dukungan struktur partai berkelindan dengan basis massa di bawah. Termasuk sejauh mana ”relawan Ahok” terus bekerja maksimal di luar jalur partai guna memaksimalkan kekuatan Ahok. Sebab pada saat yang bersamaan, kekuatan non-Ahok terus mengonsolidasikan diri untuk mengalahkan Ahok.
Dosen Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
SETELAH melalui proses politik yang cukup pelik, akhirnya PDIP bersama Nasdem, Hanura, dan Golkar turut serta mengusung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.
Banyak kalangan menilai, setelah PDIP memutuskan mendukung Ahok, gelaran Pilkada DKI Jakarta sebatas seremonial karena pemenangnya sudah bisa diterka. Penilaian tersebut didasarkan pada sejumlah hasil survei mutakhir yang menempatkan Ahok sebagai kandidat yang nyaris tanpa tanding.
Sepintas lalu, tafsir politik semacam ini ada korelasinya jika membaca arah politik secara linear. Dua penantang Ahok, yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni serta pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno masih kalah jauh dari popularitas dan elektabilitas Ahok.
Namun, tak ada yang absolut dalam politik. Apa pun bisa terjadi dalam hitungan detik. Andrew Heywood menyitir ahli politik kenamaan asal Prusia, Otto von Bismarck, dalam Political Theory (1999) menyebut politik sebagai seni kemungkinan (the art of possibilities). Politik dipercaya mampu mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi serba mungkin.
Pernyataan Pilkada DKI Jakarta sudah usai setelah PDIP merapat ke Ahok merupakan pernyataan berlebihan yang mendahului kehendak Tuhan. Apalagi, DKI Jakarta merupakan barometer konstelasi politik nasional yang meniscayakan munculnya kekuatan-kekuatan politik baru yang bergerak dinamis tak terduga.
Salah satu yang akan terus bergerak dinamis yakni soal bagaimana merawat soliditas dukungan pasca-PDIP merapat ke Ahok. Bukan mustahil, masuknya PDIP justru akan merusak suasana batin Golkar, Nasdem, dan Hanura yang sudah kondusif. Dalam konteks inilah, soliditas pendukung Ahok akan diuji guna memenangkan kontestasi elektoral di jantung Ibu Kota.
Ada tiga hal yang bisa dibaca terkait dinamika politik yang akan dihadapi Ahok-Djarot ke depan. Pertama, terkait soliditas antarpartai pendukung. Jika tidak dikelola dengan baik, bangunan koalisi empat partai ini hanya akan menimbulkan friksi dan konflik internal.
Pasalnya, jauh hari sebelum melabuhkan dukungan ke Ahok, elite PDIP kerap ”menyerang” mantan bupati Belitung Timur ini. Dalam banyak kesempatan, elite PDIP secara vulgar menuding Ahok sebagai pemimpin yang tak prorakyat dan arogan. Bahkan, muncul ”nyanyian” dalam acara resmi PDIP yang memekikkan Ahok bakal tumbang. Membangun harmoni dan kesamaan persepsi menjadi hal penting untuk menjaga kekompakan antar pendukung Ahok.
Selain itu, sebagai partai pengusung awal Ahok, NasDem, Hanura dan Golkar mulai gerah dengan zig-zag politik yang terus dilakukan PDIP. Klaim PDIP sebagai partai pengusung utama, kocok ulang komposisi tim sukses hingga penyematan jas merah saat Ahok dan Djarot mendaftar ke KPUD Jakarta, memercik kegaduhan dalam koalisi. PDIP dinilai egois karena ingin mendominasi Ahok.
Kedua, menyangkut soliditas di internal PDIP. Setelah PDIP resmi mendukung Ahok, muncul sejumlah gejolak di level bawah. Banyak kader PDIP yang kemudian merasa kecewa dengan keputusan oligarkis sang ketua umum mereka. Di level elite pun sudah muncul kekecewaan yang terpotret dari pengunduran diri Boy Sadikin dari keanggotaan partai.
Kader PDIP telanjur sakit hati. Masih terluka dengan pernyataan Ahok yang kerap mendiskreditkan mereka. Jika dirunut ke belakang, munculnya rumor Ahok yang akan maju dari calon independen tak lebih dari sekadar dead lock politik antara Ahok dan PDIP. Ahok menolak mengikuti semua proses serta mekanisme di internal PDIP. Pun termasuk pernyataan Ahok soal adanya mahar politik yang diminta jika ia maju dari jalur partai politik.
Pernyataan-pernyataan Ahok yang kerap menyerang cukup membekas dalam benak kader akar rumput PDIP. Dalam konteks tertentu, kader PDIP menganggap marwah partai sebagai sesuatu yang vital dibandingkan dengan kemenangan itu sendiri. Bukan hal mustahil jika kader PDIP nantinya justru akan melakukan pembangkangan terhadap keputusan partai.
Sementara yang ketiga soal faktor pesaing Ahok. Setelah Ahok dan Djarot resmi mendaftar ke KPUD Jakarta, koalisi penantang Ahok kembali berdenyut setelah sebelumnya sempat lesu. Meski terbelah dua, koalisi non-Ahok mengusung kandidat yang tak bisa diremehkan.
Kini, poros Cikeas sudah mantap mengusung Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni untuk menantang Ahok. Sebagai panglima poros Cikeas, SBY tentu saja akan menggunakan segala sumber daya politiknya untuk mendongkrak elektabilitas pasangan ini. Pasalnya, Pilkada DKI merupakan pertaruhan kredibilitas SBY di mata publik. Bahkan, SBY akan menjadikan pilkada kali ini rasa Pilpres 2004 seperti saat dirinya melawan Megawati Soekarnoputri dalam Pilpres 2004 silam.
Sementara poros Prabowo Subianto yang mengusung duet Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, juga tak bisa dipandang sebelah mata. Sosok Anies yang cukup populer dan bersahaja bisa menjadi aset elektoral yang menjanjikan. Seperti SBY, Prabowo sepertinya akan menjadikan Pilkada Jakarta sebagai ajang ”balas dendam” terhadap poros Ahok yang dikomandoi Megawati Soekarnoputri.
Konfigurasi politik Pilkada DKI Jakarta yang hanya diikuti tiga pasangan calon memungkinkan pilkada akan berlangsung dua putaran. Kecuali ada salah satu pasangan kandidat yang mampu meraup dukungan 50% suara dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Jakarta. Jika tidak, pilgub akan digelar dua putaran.
Jika Tuhan menakdirkan, putaran kedua akan mempertemukan SBY dan Prabowo Subianto entah sebagai rival maupun sebagai teman kongsi melawan Ahok. Pasalnya, SBY maupun Prabowo memiliki spirit politik serupa, yakni asal bukan Ahok.
Dalam konteks inilah kemudian, Pilkada DKI Jakarta belum sepenuhnya selesai. Banyak kemungkinan yang bakal terjadi. Apalagi partai pendukung Ahok seperti Golkar, NasDem, dan Hanura tak memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemenang di Jakarta.
Masih segar dalam ingatan saat Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, Golkar yang menjagokan Alex Nurdin tak mendapat suara yang signifikan. Apalagi, NasDem dan Hanura sebagai partai pendatang baru belum memiliki basis konstituen yang bisa diandalkan. Hanya PDIP yang memiliki rekam jejak sebagai petarung, meski saat ini dalam bayang-bayang insoliditas kadernya yang masih terluka.
Pada titik inilah, soliditas kekuatan politik pendukung Ahok bakal terus diuji untuk memenangkan perang elektoral di Ibu Kota. Kemenangan Ahok akan ditentukan oleh sejauh mana dukungan struktur partai berkelindan dengan basis massa di bawah. Termasuk sejauh mana ”relawan Ahok” terus bekerja maksimal di luar jalur partai guna memaksimalkan kekuatan Ahok. Sebab pada saat yang bersamaan, kekuatan non-Ahok terus mengonsolidasikan diri untuk mengalahkan Ahok.
(poe)