Media, Frekuensi Publik, dan Pilkada
A
A
A
Yuliandre Darwis PhD
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/
Dosen Komunikasi Universitas Andalas
SEPERTI air, tanah, dan udara, spektrum frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Agar penggunaan dari frekuensi berlangsung adil dan bermanfaat bagi publik, diperlukanlah sebuah badan yang bersifat independen untuk mengatur dan mengawasi penggunaannya.
Di sinilah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen untuk mewakili publik dalam mengurus penyiaran. Singkatnya, publik berhak menggunakan, menikmati, dan mendapatkan manfaat dari frekuensi, baik yang dikelola oleh diri atau komunitasnya sendiri maupun perusahaan yang bersifat komersial.
Beberapa waktu ke depan bangsa ini menggelar hajatan pesta demokrasi; pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Saat momen politik itu, peran penting media menarik dibicarakan. Pilkada merupakan saat bersejarah bagi rakyat negeri ini yang membutuhkan kontribusi nyata insan media.
Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 di tujuh provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten di Indonesia tidak dimaknai dengan dangkal. Artinya, dalam bangunan pemikiran realitas politik kontemporer, pilkada tidak dipahami sebagai proses suksesi kepemimpinan daerah maupun sirkulasi elite dalam bahasa kekuasaan modern.Pilkada bukan ajang bagi-bagi kursi antar elite politik, apalagi sebagai sarana politik uang (money politics) untuk meraih dukungan massa sebagai jalan memperoleh kekuasaan. Penulis pikir pragmatisme politik tersebut perlu diluruskan dengan peran kontrol dimainkan media terutama media penyiaran seperti televisi dan radio.
Publik tentu memiliki ekspektasi tinggi pada media agar dapat mengambil langkah strategis dalam melakukan kontrol terhadap realitas politik pilkada sekaligus memberi penekanan pada berbagai agenda utamanya dalam proses pilkada. Misalnya media sebagai sarana penyebaran informasi pendidikan politik yang bermartabat pada publik. Kebutuhan publik pada informasi politik yang edukatif dibutuhkan ketika pilkada.
Bukan tidak mungkin informasi media menjadi referensi pendidikan politik maupun peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada. Dalam teori agenda setting yang dikemukakan Maxwell McCombs dan Donal L Shaw (1968) berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk mentransfer isu untuk memengaruhi agenda publik.
Situasi psikologis maupun sosiologis masyarakat tersebut diharapkan berjalan beriringan dengan agenda media dalam konteks penyebaran informasi pendidikan politik pada khalayak. Apalagi, kita tahu eksistensi media khususnya media penyiaran tidak hanya menjalan fungsi media sebagaimana dikatakan di atas, tetapi juga menjadi mitra strategis dengan penyelenggara pilkada dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk penyebaran informasi pilkada yang benar.
Jika kita cermat mengamati Peraturan KPU No 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, peraturan KPU itu menyediakan ruang ”istimewa” pada media dalam melakukan penyebaran informasi maupun pendidikan politik pilkada melalui iklan, pemberitaan, dan penyiaran.
Hal itu bahkan ditegaskan dalam PKPU No 7/2015 khususnya Pasal 32 tentang iklan kampanye di media massa dan Pasal 52 tentang pemberitaan dan penyiaran kampanye. Meski begitu, media massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kegiatan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh pasangan calon (Pasal 54 PKPU No 7/2015).
Dengan menggunakan frekuensi publik, media penyiaran sudah seharusnya menjadi rujukan utama bagi masyarakat mengenai kepemiluan dalam pilkada. Pendidikan politik bukan hanya tugas partai politik. Media massa memainkan peran signifikan di sini. Tentu dalam hal ini pendidikan politik cerdas dan bermartabat bagi publik diberikan media. Media mendorong publik menjadi pemilih rasional, bukan pemilih seperti memilih kucing dalam karung. Dengan tanpa pertimbangan matang pemilih mencoblos pimpinan daerahnya. Ini tentu jangan sampai terjadi.
Masyarakat didorong melampaui kesadaran konvensional bahwa pilkada bukan semata urusan seremonial dengan menggugurkan kewajiban warga negara setelah masuk bilik suara dengan mencoblos. Konsolidasi demokrasi ditingkatkan dari prosedural administratif ke arah praktik demokrasi yang substantif dalam wujud penguatan partisipasi pemilih rasional contohnya. Melakukan pengawasan terhadap jalannya proses pilkada. Agenda ini dijadikan skala prioritas media di pilkada.
Berbagai peran fundamental media dalam pilkada merupakan harapan publik dan bangsa ini sebab eksistensi maupun peran media amatlah berpengaruh dalam kehidupan publik. Alexis S Tan (1981) menyebutkan media massa merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.
Itulah sebabnya kita semua berharap peran penting dijalankan media tersebut direalisasikan dalam konteks realitas politik pilkada. Pesta demokrasi yang mengedepankan praktik politik yang akuntabel, luber, jurdil, penyelenggara pemilu yang kredibel, dan pemilu damai tanpa kekerasan. Pilkada yang dapat meningkatkan partisipasi pemilih yang tinggi secara kuantitatif maupun kualitatif serta yang penting juga dari proses pilkada adalah lahirnya pemimpin yang sungguh-sungguh membela kepentingan rakyat.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/
Dosen Komunikasi Universitas Andalas
SEPERTI air, tanah, dan udara, spektrum frekuensi merupakan kekayaan sebuah bangsa. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam mukadimahnya menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Agar penggunaan dari frekuensi berlangsung adil dan bermanfaat bagi publik, diperlukanlah sebuah badan yang bersifat independen untuk mengatur dan mengawasi penggunaannya.
Di sinilah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen untuk mewakili publik dalam mengurus penyiaran. Singkatnya, publik berhak menggunakan, menikmati, dan mendapatkan manfaat dari frekuensi, baik yang dikelola oleh diri atau komunitasnya sendiri maupun perusahaan yang bersifat komersial.
Beberapa waktu ke depan bangsa ini menggelar hajatan pesta demokrasi; pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Saat momen politik itu, peran penting media menarik dibicarakan. Pilkada merupakan saat bersejarah bagi rakyat negeri ini yang membutuhkan kontribusi nyata insan media.
Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 di tujuh provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten di Indonesia tidak dimaknai dengan dangkal. Artinya, dalam bangunan pemikiran realitas politik kontemporer, pilkada tidak dipahami sebagai proses suksesi kepemimpinan daerah maupun sirkulasi elite dalam bahasa kekuasaan modern.Pilkada bukan ajang bagi-bagi kursi antar elite politik, apalagi sebagai sarana politik uang (money politics) untuk meraih dukungan massa sebagai jalan memperoleh kekuasaan. Penulis pikir pragmatisme politik tersebut perlu diluruskan dengan peran kontrol dimainkan media terutama media penyiaran seperti televisi dan radio.
Publik tentu memiliki ekspektasi tinggi pada media agar dapat mengambil langkah strategis dalam melakukan kontrol terhadap realitas politik pilkada sekaligus memberi penekanan pada berbagai agenda utamanya dalam proses pilkada. Misalnya media sebagai sarana penyebaran informasi pendidikan politik yang bermartabat pada publik. Kebutuhan publik pada informasi politik yang edukatif dibutuhkan ketika pilkada.
Bukan tidak mungkin informasi media menjadi referensi pendidikan politik maupun peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada. Dalam teori agenda setting yang dikemukakan Maxwell McCombs dan Donal L Shaw (1968) berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk mentransfer isu untuk memengaruhi agenda publik.
Situasi psikologis maupun sosiologis masyarakat tersebut diharapkan berjalan beriringan dengan agenda media dalam konteks penyebaran informasi pendidikan politik pada khalayak. Apalagi, kita tahu eksistensi media khususnya media penyiaran tidak hanya menjalan fungsi media sebagaimana dikatakan di atas, tetapi juga menjadi mitra strategis dengan penyelenggara pilkada dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk penyebaran informasi pilkada yang benar.
Jika kita cermat mengamati Peraturan KPU No 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, peraturan KPU itu menyediakan ruang ”istimewa” pada media dalam melakukan penyebaran informasi maupun pendidikan politik pilkada melalui iklan, pemberitaan, dan penyiaran.
Hal itu bahkan ditegaskan dalam PKPU No 7/2015 khususnya Pasal 32 tentang iklan kampanye di media massa dan Pasal 52 tentang pemberitaan dan penyiaran kampanye. Meski begitu, media massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kegiatan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh pasangan calon (Pasal 54 PKPU No 7/2015).
Dengan menggunakan frekuensi publik, media penyiaran sudah seharusnya menjadi rujukan utama bagi masyarakat mengenai kepemiluan dalam pilkada. Pendidikan politik bukan hanya tugas partai politik. Media massa memainkan peran signifikan di sini. Tentu dalam hal ini pendidikan politik cerdas dan bermartabat bagi publik diberikan media. Media mendorong publik menjadi pemilih rasional, bukan pemilih seperti memilih kucing dalam karung. Dengan tanpa pertimbangan matang pemilih mencoblos pimpinan daerahnya. Ini tentu jangan sampai terjadi.
Masyarakat didorong melampaui kesadaran konvensional bahwa pilkada bukan semata urusan seremonial dengan menggugurkan kewajiban warga negara setelah masuk bilik suara dengan mencoblos. Konsolidasi demokrasi ditingkatkan dari prosedural administratif ke arah praktik demokrasi yang substantif dalam wujud penguatan partisipasi pemilih rasional contohnya. Melakukan pengawasan terhadap jalannya proses pilkada. Agenda ini dijadikan skala prioritas media di pilkada.
Berbagai peran fundamental media dalam pilkada merupakan harapan publik dan bangsa ini sebab eksistensi maupun peran media amatlah berpengaruh dalam kehidupan publik. Alexis S Tan (1981) menyebutkan media massa merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah.
Itulah sebabnya kita semua berharap peran penting dijalankan media tersebut direalisasikan dalam konteks realitas politik pilkada. Pesta demokrasi yang mengedepankan praktik politik yang akuntabel, luber, jurdil, penyelenggara pemilu yang kredibel, dan pemilu damai tanpa kekerasan. Pilkada yang dapat meningkatkan partisipasi pemilih yang tinggi secara kuantitatif maupun kualitatif serta yang penting juga dari proses pilkada adalah lahirnya pemimpin yang sungguh-sungguh membela kepentingan rakyat.
(poe)