Idul Kurban Bersama Keluarga Teladan

Rabu, 14 September 2016 - 16:18 WIB
Idul Kurban Bersama Keluarga Teladan
Idul Kurban Bersama Keluarga Teladan
A A A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

MERAYAKAN Idul Adha atau Idul Kurban bukan sekadar melaksanakan salat id, lalu dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban berikut pendistribusiannya kepada yang berhak. Idul Kurban itu sarat makna, kaya simbol sosial keagamaan, dan penuh dengan nilai-nilai historis.

Aneka pesan simbolik dan pelajaran historis yang membingkai syariat kurban itu perlu diaktualisasikan dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan modern. Memaknai Idul Kurban idealnya dilakukan dengan meneladani keluarga Nabi Ibrahim AS. Ibadah kurban ini bermula dari perintah Allah SWT kepada Ibrahim AS, melalui mimpi, untuk ”menyembelih” anak kesayangannya, Ismail AS.

Peristiwa dramatis di lembah Mina yang sepi nan sunyi itu terjadi sekitar 1.800 tahun sebelum Masehi. Peristiwa ini kemudian dinapaktilasi jamaah haji dengan melempar tiga tugu jumrah, sebagai simbolisasi sikap melawan dan mengusir setan yang selalu menggoda dan menyesatkan umat manusia. Karena itu, Idul Kurban perlu dimaknai dalam konteks menjadikan keluarga Ibrahim AS sebagai keluarga teladan. Mengapa keluarga Ibrahim AS patut dijadikan sebagai role model?

Dalam buku Madrasah al-Anbiya’: Ibar wa Adhwa’ (Sekolah Para Nabi: Pelajaran dan Inspirasi) karya Muhammad Bassam Rusydi (2001) ditegaskan bahwa keluarga Ibrahim AS merupakan keluarga ideal dari segi mental spiritual, intelektual, sosial, moral, dan kultural yang patut diteladani. Sekurang-kurangnya ada enam pelajaran profetik (kenabian) yang penting dijadikan sebagai teladan dalam mendidik dan membahagiakan keluarga, terutama keluarga bangsa.

Pertama, keluarga teladan Ibrahim AS itu dibangun di atas fondasi tauhid yang kuat. Ibrahim AS tidak saja berjasa melakukan gerakan reformasi tauhid, tapi juga gigih memperjuangkan agama yang hanif (lurus dan benar). Yakni agama yang steril dari aneka kemusyrikan seperti syirik politik yang dikembangkan Raja Namrud saat itu. Termasuk syirik sosial kultural yang dipertahankan oleh ayahnya sendiri maupun masyarakatnya yang menyembah berhala dan benda-benda langit.

Alquran mengisahkan bahwa Ibrahim AS secara terbuka berani melakukan kritik terhadap orang tuanya yang dianggap sesat karena menuhankan berhalaberhala buatannya sendiri. ”Ingatlah ketika Ibrahim mengkritik ayahnya, Azar: ”Pantaskah engkau menjadikan berhala- berhala sebagai tuhan? Sungguh menurutku, engkau dan masyarakatmu telah berada dalam kesesatan” (QS al-An’am [6]: 74).

Selain melakukan kritik teologis kepada ayah dan masyarakatnya, Ibrahim AS juga secara terbuka mengkritisi teologi sesat sang penguasa. Ketika Raja Namrud dan pejabat-pejabat politiknya berpesta pora di luar Kota Babilonia (di Irak sekarang), secara diamd-iam dan penuh keberanian Ibrahim AS menghancurkan berhala-berhala di pusat pemujaan mereka. Beliau hanya membiarkan berhala terbesar tetap bertengger sambil dikalungi kapak yang telah digunakan untuk menghancurkan berhala-berhala lainnya.

Begitu mengetahui tuhan-tuhan mereka porak-poranda, para penguasa marah. Muka mereka merah padam dan menuduh Ibrahim sebagai pelaku utamanya. Ibrahim pun ”diamankan” dan ”dimintai keterangan” oleh rezim penguasa. ”Apakah kamu, hai Ibrahim, pelaku perusakan ini? Tanya mereka. Ibrahim pun menjawab secara logis: ”(Bukankah) sebenarnya patung yang terbesar itu yang telah melakukannya. (Jangan tanya saya!) Tanyakanlah kepada berhala itu, siapa tahu mereka dapat memberimu keterangan!” (QS al- Anbiya’ [21]: 62-63).

Rezim penguasa ternyata tak berkutik menghadapi logika tauhid Ibrahim yang sangat kokoh dan sulit didebat. Namun, karena kekejian sang penguasa yang takut kekuasaannya ditumbangkan, Ibrahim akhirnya harus menerima hukuman bakar hidup-hidup di atas api unggun. Kisah ini menarik karena ternyata ”api penguasa” tidak sedikit pun mampu ”membakar tubuh” Ibrahim yang penuh spirit tauhid.

Sebaliknya, gerakan reformasi tauhid Ibrahim dapat memadamkan ”api tirani penguasa”. Basis teologis keluarga Ibrahim adalah tauhid yang murni dan benar. ”Sesungguhnya aku orientasikan wajah kehidupanku ini hanya kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan memihak agama yang benar. Sekali-kali aku bukan termasuk orang musyrik” (QS al- An’am [6]: 79).

Kedua, keluarga teladan itu mempunyai tujuan dan orientasi masa depan yang jelas. Menurut para mufasir, tauhid keluarga Ibrahim merupakan landasan hidup paling berharga bagi umat manusia karena dapat mengantarkan kepada tujuan dan orientasi hidup yang jelas dan benar. Landasan tauhid ini jauh melampaui temuan-temuansainsmanapun karena temuan-temuan itu hanya membuat hidup manusia mudah dan serbacepat, bahkan potensial menjadi ”tuhan” baru: ”tuhan teknologi”, ”tuhan ICT”.

Sebaliknya, tauhid dapat memberi pedoman dan arah bagi kehidupan manusia di dunia hingga akhirat. Jika temuan para ilmuwan sepanjang masa itu mendorong manusia menguasai dunia–atau bisa juga dikuasai dunia, tauhid keluarga Ibrahim dapat mengantarkan manusia untukmengabdidantaat kepada Tuhan yang mengusai dunia ini. Temuan para ilmuwan bisa saja menyebabkan manusia cinta dunia, sedangkan tauhid mendorong manusia mencinta Sang Pencipta.

Ketiga, keluarga teladan itu selalu menaati dan mematuhi Allah secara totalitas. Ketika diperintahkan untuk ”menyembelih” putranya sendiri, Ibrahim AS tidak sedikit pun ragu untuk mengeksekusi perintah-Nya meskipun diperoleh melalui mimpi (QS as-Shaffat [37]: 102-109).

Dalam merespons perintah-Nya, Ibrahim sungguh menunjukkan pemimpin keluarga yang menomorsatukan cintanya yang tulus kepada Allah meskipun yang diminta untuk dikorbankan adalah anak yang paling dicintainya, belahan jiwanya, dan aset keluarga yang paling berharga. Totalitas ketaatan dan kepatuhannya diwujudkan dengan sikap sami’na wa atha’na secara ikhlas.

Keempat, keluarga teladan itu dibangun dan dikembangkan dalam suasana penuh cinta, sikap terbuka, demokratis, dan komunikasi yang efektif. Ketika mendapat perintah untuk ”menyembelih” putranya, dengan penuh kasih sayang mengajak dialog anaknya secara terbuka.

”Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Nabi Ismail menjawab seketika dengan tenang dan penuh keyakinan: ”Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan (oleh Allah) kepadamu, kau akan mendapatkanku – insya Allah – termasuk orang-orang yang sabar” (QS as- Shaffat [37]: 102).

Pendekatan komunikasi Ibrahim dalam mendiskusikan perintah kurban ini membuat anaknya bersikap tulus dan taat kepada ayahnya. Anak yang taat dan berbakti, tentu saja, tidak dapat dipisahkan keteladanan yang baik dari orang tuanya.

Kelima, keluarga teladan itu yang memiliki etos kerja dan etos juang yang tinggi. Ibunda Ismail, Hajar, begitu mencintai anak kesayangannya. Ketika mengalami kekurangan pangan, khususnya air minum, Hajar menunjukkan etos kerja ikhlas, cerdas, dan kerasnya untuk mencari dan menemukan air kehidupan. Ia melakukan sa’i (usaha dan kerja nyata) dimulai dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan pikiran) sehingga mencapai dan membuahkan marwa (hasil yang memuaskan, prestasi tinggi).

Etos kerja dan etos juang sang ibu yang tulus dan pantang menyerah itu akhirnya direspons oleh Allah dengan memancarnya air zamzam. Mata air abadi yang penuh berkah dan dapat memenuhi kebutuhan berjuta-juta umat Islam yang meminumnya dan mengambilnya sebagai ”oleh-oleh khas” haji.

Keenam, keluarga teladan itu kaya inspirasi dan motivasi. Ibrahim dan anaknya tidak hanya berhasil merenovasi Kakbah sebagai kiblat dan simbol persatuan umat, melainkan juga sukses menjalani ujian iman dengan mengurbankan putranya. Istrinya, Hajar, menginspirasi keluarga masa kini untuk berjuang tanpa kenal lelah untuk mencintai keluarganya, sabar, dan ulet dalam mendidik dan mengantarkan putranya menjadi anak saleh dan pemimpin masa depan.

Ibrahim juga sukses menjadi pemimpin keluarga yang selalu bersyukur kepada Allah dan bersabar dalam menerima ujian kehidupan. Puncak inspirasi dan motivasinya adalah mewujudkan keluarga yang dicintai oleh-Nya dengan ketulusan berjuang dan berkurban demi meraih cinta- Nya. Keluarga yang kaya inspirasi dan motivasi itu juga terbukti memiliki ketahanan mental spiritual yang tangguh sehingga tidak mempan digoda setan dan tidak pernah bisa terperdaya oleh cinta dunia dan materi.

Jadi, melalui Idul Kurban yang dirayakan setiap tahun, kita perlu terus belajar mengambil inspirasi keluarga teladan Ibrahim. ”Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-kesayangan-Nya.” (QS al-Nisa’ [4]: 125) Rekognisi Allah atas kedudukan keluarga Ibrahim ini patut diteladani.

Jika Allah saja menjadikannya sebagai kekasih sehingga digelari al-khalil (kekasih Allah), Idul Kurban ini menjadi lebih semakin bermakna dengan menghidupkan keenam pelajaran moral profetik tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Spirit keluarga teladan Ibrahim adalah spirit keikhlasan berjuang dan berkorban demi meraih cita-cita masa depan yang lebih mulia, bahagia, dan sejahtera.

Sukses dalam pendidikan dan kaderisasi Ismail yang dicintainya menjadi nabi dan pemimpin penerusnya adalah contoh ideal dari keluarga teladan Ibrahim yang perlu diaktualisasikan dewasa ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5314 seconds (0.1#10.140)