G-20, MIKTA, dan Indonesia

Rabu, 07 September 2016 - 14:20 WIB
G-20, MIKTA, dan Indonesia
G-20, MIKTA, dan Indonesia
A A A
Shofwan Al Banna Choiruzzad
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

AWAL September ini, negara-negara G-20 berkumpul di Hangzhou, China. Dengan topik yang berfokus pada tiga area kerja sama utama, yaitu inovasi, revolusi industri baru, dan ekonomi digital. Pertemuan dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) G-20 kali ini lebih banyak membicarakan persoalan ekonomi global. Di luar agenda resmi KTT G-20 sendiri, pertemuan-pertemuan di antara 20 negara yang dipandang mewakili kekuatan-kekuatan berpengaruh dalam politik internasional sepanjang KTT itu juga dapat berfungsi menjadi barometer stabilitas dunia.

Di tengah perubahan dunia yang ditandai dengan bayang-bayang persaingan antara kekuatan status quo (G-7) dan emerging powers (yang tergabung dalam BRICS) yang dipertemukan di dalam G-20, beberapa negara G-20 di luar dua blok tersebut membentuk MIKTA. Dideklarasikan pada September 2013, MIKTA (singkatan dari nama negara-negara anggotanya: Meksiko, Indonesia, Korea, Turki, dan Australia) diharapkan dapat memberikan ruang bagi penciptaan tata kelola global yang tidak hanya memperhatikan kepentingan negara-negara besar tersebut. Sayangnya, dalam KTT G-20 kali ini, suara MIKTA tidak terlalu terdengar.

MIKTA dan Tata Kelola Global
Berfungsinya tata kelola global adalah kunci bagi stabilitas dunia. Dunia terjerembap dalam krisis yang kemudian memicu Perang Dunia ketika sistem moneter internasional gold standard runtuh, Liga Bangsa-Bangsa tidak efektif, dan negara-negara besar terjebak dalam lingkaran setan utang dan reparasi perang karena ketiadaan institusi internasional yang bisa mengelolanya.

Belajar dari pengalaman tersebut, para pemenang Perang Dunia Kedua membangun beragam institusi global yang masih bertahan hingga hari ini. Dalam politik internasional, didirikanlah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam bidang ekonomi, konferensi Bretton Woods melahirkan institusi yang kemudian kita kenal sebagai Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank), dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, sebelumnya GATT).

Namun, penting untuk mengingat bahwa institusi-institusi yang menopang tata kelola global itu pun memiliki masa berlaku. Dalam bidang ekonomi, rezim moneter gold standard pun bekerja baik selama hampir satu abad (1817-1914), membawa dunia pada periode yang disebut sebagai ”masa kejayaan perdagangan bebas” dengan pertumbuhan perdagangan yang mencapai rata-rata 4% per tahun. Toh, pada akhirnya rezim moneter internasional ini harus tumbang saat hegemoni dunia saat itu, Inggris, memutuskan untuk mencampakkannya demi mencegah memburuknya kondisi ekonomi domestik.

Dengan banyak kekurangan, institusi-institusi global yang dibentuk pasca-Perang Dunia Kedua telah berfungsi dengan cukup baik hingga awal milenium baru. Namun, dunia yang berubah membuat dorongan untuk melakukan reformasi terhadap tata kelola global itu semakin menguat. Hal ini didorong oleh pergeseran kekuatan dalam politik dan ekonomi internasional. Lanskap global hari ini telah jauh berlari meninggalkan tahun 1945.

Dalam bidang politik, banyak negara menyerukan reformasi PBB dengan melakukan perubahan mendasar pada Dewan Keamanan. Dalam bidang ekonomi, dorongan untuk mereformasi IMF dan Bank Dunia juga semakin kencang.

Krisis ekonomi tahun 1997/1998 memunculkan kekecewaan besar pada negara-negara Asia yang kemudian menginisiasi Dana Moneter Asia. Meskipun gagal terwujud, negara-negara Asia Timur secara bertahap mencoba mengurangi kebergantungannya pada IMF dengan menghadirkan Chiang Mai Initiative. Sebagai raksasa ekonomi baru, China menginisiasi berdirinya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang akan menyediakan dana pembangunan bagi negara-negara berkembang seperti Bank Dunia, tapi barangkali dikurangi dengan kerumitan persyaratannya.

Menghadapi dorongan reformasi tersebut, negara-negara yang selama ini membentuk dan menopang tata kelola global cenderung bertahan. Reformasi Dewan Keamanan PBB belum beranjak ke mana-mana. Perubahan dalam IMF dan Bank Dunia juga dipandang tidak cukup signifikan. Amerika Serikat bahkan mengecam sekutu-sekutunya yang memilih untuk bergabung dengan AIIB.

Di sisi lain, negara-negara yang merupakan kekuatan-kekuatan baru dunia juga tidak tinggal diam. Mereka menikmati tata kelola global hari ini, namun sekaligus merasa bahwa institusi-institusi tersebut tidak adil dan mengistimewakan negara-negara Barat. Jika persaingan ini tidak dikelola dengan baik, kita menghadapi risiko besar: tata kelola global yang disfungsional. Di sinilah MIKTA dapat memainkan peran penting.

Membuat MIKTA Relevan
Sebagai kumpulan dari negara-negara berkekuatan menengah (middle power) yang memiliki peran regional dan aspirasi global, MIKTA memiliki potensi untuk menjaga supaya kontestasi antara negara-negara status quo dan emerging powers dapat menemukan titik keseimbangan yang tepat, sekaligus tidak hanya memperhatikan kepentingan negara-negara besar tersebut. Namun untuk melakukan peran tersebut, MIKTA harus beranjak dari aktivitas seremonial dan pernyataan bersama yang sporadis.

MIKTA tidak perlu membentuk institusi-institusi baru, tapi bisa memberikan kontribusi penting dengan melakukan identifikasi terhadap reformasi apa saja yang diperlukan dalam tata kelola global dan institusi-institusi internasional yang menopangnya serta kemudian mengoordinasi negara-negara di luar kekuatan status quo dan emerging powers (dengan kata lain: negara-negara biasa). Dengan cara ini, MIKTA dapat menjadi representasi dari mayoritas negara di dunia di dalam G-20.

Untuk itu, negara-negara MIKTA yang sangat beragam ini juga harus mengupayakan kesalingpahaman di dalam berbagai bidang. Di tahap awal MIKTA, mempererat kerja sama antara anggota MIKTA dapat menjadi prioritas penting. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat dan tidak hanya para diplomat.

Di Indonesia sendiri, mengembangkan platform internasional baru terkesan tidak sesuai dengan visi ”diplomasi untuk rakyat” yang menghendaki bahwa kebijakan luar negeri dapat memiliki manfaat langsung bagi masyarakat. Hal ini dapat dijawab dengan menyelaraskan upaya membangun MIKTA dengan pencapaian kepentingan nasional. Melalui MIKTA, Indonesia mungkin dapat menggali manfaat yang lebih banyak daripada melalui jalur bilateral dalam bekerja sama dengan Korea, Turki, Australia, dan Meksiko.

Jika hal ini dapat dilakukan, kita dapat mewujudkan apa yang dituliskan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama para Menteri Luar Negeri Meksiko, Korea, Turki, dan Australia: ”21st Century Global Governance: Rise of the Rest.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0733 seconds (0.1#10.140)