Kemerdekaan di Tapal Batas

Jum'at, 19 Agustus 2016 - 11:47 WIB
Kemerdekaan di Tapal...
Kemerdekaan di Tapal Batas
A A A
Hendrik Kawilarang Luntungan
Ketua DPP Partai Perindo

HARI kemerdekaan adalah hari di mana kita kembali menapak tilas sejarah sebuah bangsa yang begitu gagah di masa perjuangannya. Bagaimana anak-anak muda saat itu berkumpul, berserikat, dan berjuang untuk tujuan kemerdekaan.

Kemerdekaan yang bukan diberikan oleh bangsa lain, atau sebuah konsesi atas kesepakatan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan seperti itulah bangsa Indonesia merdeka, sebuah bangsa baru yang lahir secara berdaulat di atas tanah tumpah darahnya, serta bersama ratusan ribu rakyat yang berjuang mengangkat bambu runcing kemerdekaan.

Di setiap sekolah pada pagi 17 Agustus siswa-siswi digiring oleh guru untuk berbaris rapi di pelataran sekolah. Mereka hendak melakukan upacara peringatan hari kemerdekaan.

Kemeriahan 17 Agustus tidak berhenti sampai di lapangan upacara, biasanya hal itu berlanjut dengan karnaval pakaian adat dan berbagai perlombaan meriah di setiap lingkungan rumah kita.

Begitulah tradisi sekaligus selebrasi yang menjadi rutinitas warga Indonesia dalam menyambut hari lahir kemerdekaan. Agustusan sekadar satu ritual selebrasi rakyat, yang tidak lebih satu cara untuk berpaling pada persoalan keseharian yang cukup pelik dihadapi.

Bahkan kota-kota besar menyelenggarakan dengan panggung-panggung kokoh beserta pengeras suara dengan listrik puluhan ribu watt. Orang kota sangat merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita. Bagi warga desa, gaung Agustusan juga tetap santer di setiap lahan lapang mereka, setidaknya mereka bersama-sama memanjat pohon pinang yang dilumuri oli untuk mengambil hadiah-hadiah tertentu.

Orang-orang di Ujung Republik


Seharusnya, kemerdekaan bukan saja dirasakan orang kota atau dirayakan orang-orang desa. Tapi kemerdekaan juga harus bermakna bagi mereka yang hidup di ujung Republik. Di sana kehidupan yang serba minim berlangsung dalam keseharian mereka.

Ada banyak cerita tentang anak-anak bangsa yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan layak. Dalam gumamnya selalu ada harapan hidup yang lebih baik, bahkan kebaikan untuk tanah di mana dia dilahirkan.

Misalnya cerita anak-anak di Pulau Sebatik, sebuah pulau terujung Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia. Anak-anak kita berjalan belasan kilometer dari desanya yang terpelosok untuk bisa sampai ke sekolah. Setiap hari mereka harus berangkat pada pukul 5.00 pagi, agar tidak terlalu siang tiba di sekolah.

Bahkan yang begitu miris adalah bangunan sekolah tempat mereka belajar. Bangunannya sangat reot karena semuanya terbuat dari kayu dan bahan material yang seadanya. Kita bisa mengerti karena ini daerah yang begitu terpencil, maka segala kebutuhan material penunjang cukup sulit didapat.

Cerita lain ada di pulau terujung di Sulawesi Utara, Kecamatan Nusa Tubukan, pulau terujung di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kondisi sekolah juga yang jauh dari layak menjadi satu-satunya tempat bagi anak-anak bangsa kita belajar dan mengasah segala kemampuan akademiknya sebagai bekal di masa depan mereka.

Kondisi guru yang juga sangat terbatas sehingga proses belajar mengajar tidak bisa berlangsung maksimal. Padahal, kehidupan masyarakat di sana sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Begitulah realitas yang terjadi pada anak-anak bangsa kita di tapal batas. Mereka hidup dalam serbakurang, bahkan sangat minim akan informasi-informasi strategis yang bisa memicu mereka untuk melakukan sebuah tindakan yang lebih baik.

Jika memang rezim pemerintahan hari ini hendak mengembalikan pendulum kesejahteraan kepada mereka yang selama ini tidak pernah disentuh, maka saatnya untuk kembali membicarakan nasib mereka.

Nasionalisme: Bayangan Semu Komunitas Sosial

Saudara-saudara kita yang dengan terpaksa mengais rezeki dan mengenyam pendidikan di negara tetangga kerap dengan mudah dicap tidak nasionalis. Hal yang lebih menyedihkan, mereka yang dengan mudah memberikan label tidak nasionalis itu tidak pernah sekalipun berkunjung ke daerah di mana saudara-saudara kita tinggal.

Setidaknya, menurut salah satu Indonesianis, Ben Anderson, nasionalisme Indonesia adalah sesuatu yang terbayangkan. Karena masing-masing etnis dan kesukuan Indonesia begitu kaya dan karena itulah founding father kita meletakkan "nasib bangsa yang terjajah" sebagai perekat dasar nasionalisme kita.

Hal itu menjelaskan bahwa sebenarnya tidak semua daerah di Indonesia merasakan penjajahan. Mungkin pertempuran sengit terjadi di beberapa kota dan daerah yang pada saat itu dianggap penting oleh para penjajah dan pejuang kemerdekaan.

Di Jakarta, misalnya, tidak pernah terjadi perang kota, perang selalu pecah di luar Jakarta seperti Banten dan Bekasi. Bahkan daerah-daerah tertentu yang tidak pernah diduduki secara langsung oleh pemerintahan Kolonial Belanda ataupun Jepang yang datang belakangan.

Fakta-fakta sejarah itu menjelaskan kepada kita, bahwa pada awal-awal menjelang kemerdekaan slogan nasionalisme perlu digelorakan sebagai suara yang satu melawan penjajah kolonial. Semangat heroik tetap perlu selalu dikobarkan sebagai bahan bakar semangat perjuangan merebut kemerdekaan yang berdaulat dari tangan penjajah kolonial.

Setelah kemerdekaan kita raih, isu yang sebenarnya harus kembali menjadi pembicaraan serius adalah soal kesejahteraan. Karena itulah yang sebenarnya penjadi perjuangan republik dalam proses bernegara. Kembali pada persoalan krusial saudara-saudara kita yang tinggal di tapal batas, problem yang sesungguhnya mereka hadapi bukanlah isu kewarganegaraan.

Namun persoalan kesejahteraan, persoalan yang menyangkut keberlangsungan hidupnya. Atas dasar itu, hari kemerdekaan ke-71 Indonesia bukan saja kita gembar-gemborkan dengan slogan nasionalisme. Namun, ada satu hal yang sering kali kita abaikan, yaitu kesejahteraan rakyat.

Kita mendorong niat baik pemerintah yang hendak membangun dari pinggiran, dan itulah memang yang seharusnya dilakukan. Mendukung bukan berarti menyetujui tanpa kritik. Terlepas dari segala pilihan politik kita di masa lalu, sekarang hal yang harus kembali diperjuangkan adalah kepentingan rakyat itu sendiri.

Karena sejatinya dalam proses bernegara semua akan bermuara pada kepentingan rakyat yang lebih luas, bukan semata elite. Seperti apa yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa mereka yang tinggal di tapal batas belum merasakan makna dari kemerdekaan yang seutuhnya. Baik sebelum Indonesia merdeka, hingga kini berusia 71 kehidupan sosial masyarakat berjalan secara mandiri.

Negara hanya hadir sesekali dalam rangkaian kegiatan formal yang klise. Kita menginginkan agar pemerintah dan jajaran birokrasinya bekerja untuk masa depan bangsa, bukan masa depan diri dan keluarganya saja. Karena sebenarnya jabatan-jabatan yang melekat pada mereka sejak awal disumpah sudah harus diwakafkan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa. Mereka yang di tapal batas ingin berubah dan pemerintah berkewajiban secara hukum serta moral untuk mewujudkannya.

Maka, pendidikan adalah sarana strategis dan terbaik dalam rangka memajukan anak bangsa. Pekerjaan rumah pemerintah yang wajib secara perlahan diperbaiki adalah kualitas dan kuantitas pendidikan masyarakat di tapal batas. Disertai dengan segala perangkat penunjang pendidikan dan SDM pengajar yang secara luhur terpanggil untuk berpartisipasi membangun bangsa melalu jalan pendidikan.

Berhenti mengirim orang-orang buangan ke daerah-darah terpencil. Kirimlah mereka yang terbaik dan secara khusus terpanggil untuk mengabdi. Berikan kesempatan pada mereka yang muda dan progresif untuk berjuang dengan jalan pendidikan. Karena rakyat kita di perbatasan adalah harta karun terpendam nasionalisme.

Mereka bukan orang-orang liar yang dibiarkan bak di tengah hutan yang rimbun. Mereka adalah warga negara Indonesia, yang dalam setiap aktivitas kehidupan negara harus turut campur tangan untuk mempercepat perubahan yang mereka inginkan.

Negara tidak boleh lagi alpa terhadap kesejahteraan mereka, negara jangan selalu menuntut nasionalisme mereka tanpa pernah mendistribusikan kesejahteraan. Mereka menunggu segala pretensi janji-janji manis pemerintah, bahwa rezim ini akan memulai dari pinggiran. Dan sejatinya pemerintah segera sadar, bahwa negara bukan alat kekuasaan semata. Namun, negara hadir untuk kesejahteraan dan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0918 seconds (0.1#10.140)