Hidup Merdeka Membawa Berkah

Senin, 15 Agustus 2016 - 09:29 WIB
Hidup Merdeka Membawa...
Hidup Merdeka Membawa Berkah
A A A
Eddy Soeparno
Sekjen DPP Partai Amanat Nasional

SETIAP 17 Agustus datang, sebuah pertanyaan kerap menyapa kita semua. Setelah kurang lebih 71 tahun kita merayakan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, apakah kemerdekaan politik yang kita nikmati saat ini telah menyebarkan berkah bagi para warganya? Apakah warga negara tidak saja mereka yang kaya dan berkecukupan, tetapi juga yang berada pada level terbawah kehidupan masyarakat telah menikmati hidup sebagai warga negara yang merdeka baik dalam kehidupan bernegara dalam hubungan sosial yang berlangsung dengan warga yang lain maupun dalam memperjuangkan hajat hidup mereka sehari-hari?

Pertanyaan di atas menjadi penting untuk dikemukakan kembali saat ini mengingat hidup yang layak, adil, dan mulia adalah komitmen bersama yang telah mengikatkan kita menjadi satu kesatuan negara-bangsa. Ikatan yang menghubungkan masing-masing dari kita untuk berkomitmen menjadi bagian dari bangsa Indonesia adalah komitmen yang tertera dalam Pancasila. Komitmen kita sebagai bangsa berangkat dari nilai-nilai kesalehan, kemanusiaan, persatuan melalui jalan demokrasi untuk mewujudkan sebuah keadilan sosial.

Karena itulah pertanyaan-pertanyaan kritis tentang apakah kita telah hidup bernegara dengan adil, apakah setiap warga negara telah bisa mengembangkan kapasitas dirinya untuk hidup layak dengan dukungan dan perlindungan negara maupun apakah kita telah hidup dengan rasa aman untuk menggunakan hak-hak dasar warga negara kita menjadi sangat penting karena berangkat dari dasar negara kita. Karena sejatinya inilah alasan yang paling fundamental bagi kita untuk menjadi sebuah bangsa yang bersatu dalam dasar negara Pancasila.

Dalam perjuangan untuk merealisasi cita-cita mencapai keadilan sosial, saat ini kita berada pada momen ujian hidup yang tidak ringan. Ini bukanlah ekspresi dari pesimisme akan masa depan berbangsa, tetapi sebuah renungan untuk menyadari batu terjal tantangan yang kita hadapi ke depan sebagai sebuah bangsa. Kalau saja kita membaca paparan World Bank pada 2015 berjudul Indonesia’s Rising Divide, pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir hanya memberi keuntungan bagi 20% orang-orang terkaya dan meninggalkan sekitar 80% (205 juta jiwa) mayoritas rakyat.

Dalam hitungan statistik ekonomi Indonesia pada tahun 2015 tercatat 10% orang terkaya memiliki 77% kekayaan di negeri ini, sementara 1% orang terkaya memperoleh kue pembangunan sebesar 50%. Artinya 90% lapisan mayoritas orang Indonesia hanya berbagi sekitar 23% hasil pembangunan di negeri kita.

Catatan di atas memperlihatkan bahwa kehidupan sosial yang kita alami sebagai bangsa tidaklah berada dalam kondisi yang mudah, tetapi bukan berarti kita tidak mampu untuk menjawab tantangan berat di atas. Yang kita butuhkan saat ini adalah kesadaran, kepedulian, dan rasa solidaritas bersama dari seluruh warga bangsa untuk bangkit, berbenah, dan melangkah lurus. Kesadaran empatik ini tentu harus terutama ditujukan kepada para pemimpin rakyat, khususnya elite politik, untuk bisa meninggalkan kepentingan-kepentingan kelompok dan memulai berbicara tentang Indonesia sebagai sebuah kesatuan kebangsaan yang utuh dan berkemajuan.

Seperti halnya yang pernah diuraikan oleh sang proklamator kita, Bung Karno: “Wahai rakyat Indonesia apabila ditanyakan kepadamu berapakah jumlahmu? Jawablah: satu!” Satu dalam konteks kehidupan Indonesia yang demokratis di sini adalah tumbuhnya solidaritas lintas golongan, kelas, ras, agama, dan identitas-identitas lainnya. Kesusahan yang sedang dialami oleh sekelompok warga negara Indonesia hendaknya menumbuhkan semangat bela rasa bagi kelompok lainnya yang lebih berkecukupan. Indonesia yang satu dalam pengertian di atas bukanlah Indonesia yang menolak keberagaman dan pluralitas.

Namun Indonesia berkomitmen bahwa di dalam keberagaman kita, satu sama lain terdapat keadaban publik untuk terlibat menyelesaikan problem-problem kemiskinan, diskriminasi, marjinalisasi, dan persoalan sosial lainnya bersama-sama sebagai suatu bangsa. Tumbuh kembangnya solidaritas tentang Indonesia yang satu ini secara moral akan membantu kita melihat betapa suara protes sosial yang misalnya sedang tumbuh di Papua bukan sebagai ekspresi dari kehendak melakukan pemisahan diri dari NKRI sehingga harus kita perangi.

Namun dengan solidaritas sebagai satu bangsa kita mulai mempertimbangkan bahwa bisa jadi persoalan fundamental yang tumbuh di Papua terjadi karena proses-proses pembangunan yang tengah terjadi di sana mengabaikan hak-hak orang miskin dan marjinal untuk memperoleh penghidupan yang layak dan terlibat dalam proses pembangunan.

Semangat Indonesia yang satu dalam berbagai keberagamannya dapat mentransformasikan orientasi politik tidak lagi pada politik saling serang menyerang dan saling menjatuhkan atau mempermalukan satu sama lain. Sebab pada hakikatnya di dalam posisi politik kita masing-masing, baik di lingkaran dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, kita semua bekerja menuju orientasi berbangsa dan bernegara sesuai dengan tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Indonesia yang maju, berdaulat, adil, dan makmur.

Di dalam kesadaran tersebut, fatsun politik dan keadaban publik harus tumbuh berkembang menyirami proses politik di Indonesia. Setiap kekuatan politik berlomba-lomba untuk menciptakan kebaikan dalam kehidupan bernegara dan satu per satu persoalan sosial yang ada di hadapan kita akan dapat terselesaikan melalui proses musyawarah, sebuah tradisi politik yang menjadi bagian inheren dalam kehidupan kita berbangsa.

Semua hal yang telah saya kemukakan di atas semoga tidak menjadi sebuah angan-angan semata. Kita yakin bahwa setiap persoalan sosial yang ada bukan mustahil untuk diselesaikan melalui kehendak politik bersama. Mari kita mulai sebuah kerja besar kita sebagai sebuah bangsa: merdeka dan bersatu secara politik, makmur sejahtera secara sosial-ekonomi. Merdeka!
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0953 seconds (0.1#10.140)