Polemik Menunda Eksekusi Mati

Rabu, 03 Agustus 2016 - 13:14 WIB
Polemik Menunda Eksekusi...
Polemik Menunda Eksekusi Mati
A A A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

POLEMIK hukuman mati tidak akan pernah selesai sejak hukuman mati diterapkan. Berawal setelah hakim J Burnet di Inggris abad ke-18 yang menjatuhkan hukuman mati kepada seorang pencuri kuda. Saat vonis dijatuhkan, Burnet dengan tegas mengatakan kepada terpidana bahwa engkau dipidana mati, bukan karena engkau hanya mencuri kuda, melainkan juga agar kuda-kuda lain tidak akan tercuri lagi. Setidaknya dua makna filosofis yang bisa ditangkap dari ucapan Burnet.

Pertama, terpidana yang spesifik mencuri kuda ternyata sangat meresahkan warga Inggris dan polisi mulai kehabisan cara mengatasinya. Secara spesifik Burnet mengirim pesan kepada warga Inggris bahwa kuda-kuda mereka akan aman. Tidak akan tercuri lagi yang membuat warga tenang. Kondisi di Inggris saat itu mirip di Indonesia yang diresahkan oleh ancaman narkoba, korupsi, dan teroris. Maka itu, tiga kejahatan tersebut ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa dengan menerapkan hukuman mati.

Kedua, supaya orang lain yang kemungkinan punya niat untuk mencuri kuda tidak mewujudkan niatnya karena merasa takut pada ancaman hukuman mati. Inilah yang diharapkan agar hukuman mati ”menimbulkan rasa takut” bagi yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama, bukan efek jera karena terpidana sudah dieksekusi mati. Ternyata filosofi kedua ini mampu meredam pencurian kuda dalam jangka yang lama karena selain pencurinya sudah mati yang berulangkali mencuri kuda, juga mereka yang punya niat mencuri kuda tidak berani melakukannya.

Tahapan kesadaran hukum jenis ini memang masih rendah karena hanya takut pada sanksinya (compliance). Belum termasuk tahap ”internalization” seperti diurai HC Kelman bahwa seseorang menaati hukum karena secara intrinsik aturan hukum itu sesuai dengan nilai-nilai hukum yang dianutnya. Tetapi, paling tidak sudah membawa manfaat bagi ketenteraman masyarakat secara luas, sebagai salah satu tujuan hukum yang asasi.

Acuan ke Depan
Polemik lain muncul setelah 14 terpidana mati kasus narkoba akan dieksekusi pada Jumat, 28 Juli 2016 dini hari lalu di Nusakambangan. Kenapa hanya empat yang dieksekusi? Padahal, Kejaksaan Agung sudah merencanakan untuk mengeksekusi 14 terpidana. Polemik yang cenderung liar terjadi karena ada kalangan yang menduga ada tekanan dari negara lain yang warga negaranya akan dieksekusi. Atau, karena ada masukan pihak lain, padahal 14 terpidana mati itu sudah siap-siap dieksekusi.

Penjelasan jaksa agung yang menyebut selain kondisi cuaca yang tidak mendukung, juga karena masih ada persoalan yuridis dan nonyuridis. Apakah karena ada yang mengajukan peninjauan kembali (PK) dan grasi kepada Presiden yang tidak terdeteksi kejaksaan? Seharusnya persoalan yuridis sudah selesai barulah diumumkan ke publik jumlah terpidana yang akan dieksekusi.

Begitu pula persoalan nonyuridis seperti surat mantan Presiden BJ Habibie kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta agar pijakan moratorium eksekusi mati dipertimbangkan. Lebih dari 140 negara di dunia telah menetapkan kebijakan moratorium dan/atau menghapuskan hukuman mati.

Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, pemerintah mempertimbangkan seluruh masukan terkait pelaksanaan eksekusi mati terhadap empat terpidana narkoba yang berkurang dari rencana sebelumnya mencapai 14 terpidana.

Pramono menegaskan, mempertimbangkan surat mantan Presiden BJ Habibie untuk menangguhkan eksekusi terpidana mati Zulfiqar Ali, Komnas Perlindungan Perempuan yang meminta penundaan eksekusi Merry Utami, serta saran dari berbagai negara sahabat. Tetapi, yang perlu dijelaskan ke publik, apakah sebelum atau setelah empat terpidana dieksekusi, barulah diputuskan menunda mengeksekusi yang lain?

Tanpa bermaksud memicu kegaduhan atas penundaan itu, tetapi penjelasan tersebut penting sebagai acuan ke depan agar rencana eksekusi berikutnya kalau tidak ada kebijakan moratorium, Kejaksaan Agung sudah mematangkannya. Terutama pada aspek yuridis dan nonyuridis, bukan setelah 14 terpidana dibawa ke tempat eksekusi barulah ditunda.

Penundaan eksekusi 10 terpidana mati dapat memengaruhi psikologi terpidana dan keluarganya, termasuk keluarga empat terpidana yang dieksekusi. Ini salah satu hukuman tersendiri yang jadi pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

Perencanaan Tidak Matang

Di tengah tekanan dan penolakan berbagai kalangan terhadap hukuman mati, tentu membawa persoalan dalam pelaksanaan eksekusi. Kejaksaan tidak mengambil pelajaran pada penundaan eksekusi sebelumnya, 29 April 2015. Saat itu dua terpidana mati ditunda eksekusinya yang sebelumnya 10 orang, yang juga menimbulkan polemik di ruang publik.

Sergei Areski Atlaoui, warga negara Prancis, ditunda lantaran mengajukan upaya hukum terhadap keputusan Presiden yang menolak grasinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Begitu pula Mary Jane, warga negara Filipina, karena pertimbangan kemanusiaan dan menghargai proses hukum Filipina terkait perdagangan manusia (trafficking).

Jika rencana eksekusi tidak didesain secara matang, cermat, dan hati-hati, boleh jadi akan berulang. Mestinya tidak terantuk kedua kalinya pada batu yang sama saat melangkah dan menegakkan hukum. Sebab, selama hukuman mati masih tercantum dalam hukum positif Indonesia, pemerintah dan aparat hukum wajib melaksanakan putusan hakim setelah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Ternyata teori tentang pentingnya menghormati putusan hakim yang telah final belum sepenuhnya menjadi acuan. Hal itu bisa disebut sebagai pengabaian hukum dalam bentuk lain. Hak hidup setiap orang sebagai hak mendasar yang harus dilindungi tidak berarti dikebiri oleh hukum melalui hukuman mati. Selain dimaksudkan untuk melindungi HAM orang banyak oleh dampak negatif narkoba yang setiap hari 30-40 orang meninggal, juga memperbaiki keseimbangan yang terganggu dalam kehidupan masyarakat.

Penjatuhan hukuman mati tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal secara keseluruhan. Terutama untuk melindungi keselamatan warga masyarakat dari ancaman narkoba, korupsi, dan teroris. Usaha-usaha perbaikan melalui hukuman mati bukan hanya menghasilkan kepastian dalam memengaruhi motivasi dan perilaku orang lain agar tidak menirunya, tetapi juga sebagai proses konstruktif untuk menata kembali perilaku manusia.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6134 seconds (0.1#10.140)