Yang Miskin saja Harus Gratis, yang Kaya Harus Bayar

Selasa, 02 Agustus 2016 - 14:43 WIB
Yang Miskin saja Harus...
Yang Miskin saja Harus Gratis, yang Kaya Harus Bayar
A A A
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mendapat tugas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melanjutkan Program Indonesia Pintar (PIP) yang belum berjalan dengan baik. Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang menjadi “senjata” pemerintahan Presiden Jokowi masih terkendala persoalan sumber data. Menteri kelahiran Madiun, 29 Juli 1956 ini juga mendapat tugas untuk pemerataan pendidikan Indonesia serta peningkatan kualitas tenaga kerja. Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini juga berbicara tentang pendidikan dan sekolah gratis. Bagaimana menghadapi tugas dan tantangan tersebut, berikut ini wawancara khusus Sindonews dengan Muhadjir beberapa waktu lalu.

KIP adalah janji kampanye Presiden untuk memperluas akses siswa miskin agar bisa bersekolah. Bagaimana ke depannya agar KIP ini bisa didistribusikan dengan baik?
Jadi KIP itu kemarin data yang dipakai adalah data kemiskinan yang ada di Kemensos (Kementerian Sosial). Padahal kita (Kemendikbud) sudah mempunyai data sendiri, yaitu dapodik (data pokok pendidikan). Jadi konyolnya kita mau beri bantuan ke siswa di sekolah malah datanya dari Kemensos. Sementara itu tidak semua anak miskin itu di sekolah. Nanti kalau memakai dapodik akan jelas siapa siswa yang miskin, lalu akan langsung kita beri. Nah nanti di luar itu akan ada skema lain.

Lalu sinkronisasi data KIP dengan dapodik itu berapa lama?
Pokoknya nanti jika disetujui dalam rapat gabungan kabinet, tidak sampai satu bulan (sinkronisasinya). Wong kita sudah punya datanya kok. Siswa yang miskin itu ada 18 juta dari total 50 juta siswa yang ada di Indonesia.

Untuk meningkatkan akses ada juga BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Bagaimana nasibnya?
BOS masih tetap akan ada, tetapi akan ada evaluasi. Mau kita format ulang sesuai dengan anjuran Presiden. Apa saja anjurannya, itu masih rahasia. Kalau dijelaskan sekarang tidak akan menjadi kejutan lagi.

Bagaimana untuk meningkatkan akses sekolah di wilayah 3T (terpencil, terluar, dan tertinggal)?
Ya harus ada pemerataan akses. Nanti akan kita coba atasi dengan pembukaan sekolah di daerah 3T. Sekolahnya harus berasrama mulai dari SD hingga SMP, jadi mereka tidak perlu jalan jauh atau menyeberang antarpulau. Kita siapkan juga rumah jika ada orang tua yang ingin berkunjung. Kita siapkan juga tempat tinggal bagi guru agar bisa tinggal dekat dengan sekolahnya.

Soal distribusi guru yang belum merata itu bagaimana?
Kami harus pelajari dulu petanya seperti apa. Tapi saya yakin itu karena problem spasial (ruang atau tempat) saja. Banyak guru yang datang hanya sebulan sekali ke sekolah karena saking jauh jarak rumah dan sekolah.

Banyak yang meminta sekolah itu harus gratis, bagaimana tanggapan Anda?
Saya terus terang terusik dengan istilah sekolah gratis ini. Education for all (EFA) itu memang oke, tetapi jangan dikaitkan antara si kaya dan si miskin itu harus gratis. Gratis itu harus proporsional. Yang miskin saja harus gratis, yang kaya harus bayar. Kalau di Jakarta sekolah gratis itu tidak cocok wong orang kaya kok digratiskan. Jadi harus ada subsidi silang untuk membantu siswa miskin itu.

Tapi sekolah swasta itu menetapkan biaya yang tinggi?
Jadi begini, sekolah kalau menurut undang-undang pemerintah wajib melayani fasilitas pendidikan untuk masyarakat dengan sekolah berstandar nasional. Ini public school. Tapi kan ada sekolah swasta yang diselenggarakan untuk mereka yang ingin mendapat layanan pendidikan dengan standar lebih. Maka dia bayar lebih.

Lalu bagaimana untuk menertibkan pungli yang terjadi di sekolah?
Pada dasarnya yang bertanggung jawab pada pendidikan itu adalah pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Jadi nanti kalau ada dana yang ditarik masyarakat, maka masyarakat bisa mengontrolnya.

Presiden juga meminta untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Bagaimana kaitannya dengan pendidikan?
Kaitannya ya dengan pendidikan vokasi itu. Nanti di SMK kita akan menyiapkan tenaga terampil yang semakin bervariasi untuk merespons kebutuhan pasar yang juga semakin beragam. Misalnya kita bentuk SMK perfilman dengan berbagai macam jenis keterampilan yang dibutuhkan industri perfilman. Kedua SMK kelautan mulai dari keterampilan budi daya ikan, pengolahan hasil laut hingga siswa yang terampil di bidang manajemen ekspor hingga produksi kelautan. Lalu ada juga SMK penerbangan. Pokoknya kita harus tambah SMK yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Pengembangan SMK kelautan dan yang lainnya itu nanti domainnya di Kemendikbud saja?
Mestinya di Kemendikbud. Kalau KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) itu kan hanya ada sekolah kedinasan. Kementerian di luar Kemendikbud dan Kemenag hanya bisa melakukan pendidikan kedinasan. Kemendikbud tidak membuka sekolah kedinasan.

Pemenuhan guru SMK nanti dari mana?
Kan sekarang sudah ada namanya KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Pengalaman dia selama bekerja bisa menjadi credit point yang setara dengan kompetensinya.

Bagaimana dengan program kebudayaan ke depan?
Jadi dulu kebudayaan itu melekat di kementerian pariwisata yang diintepretasikan budaya itu mulai dari tari-tarian hingga candi Borobudur dipamerkan untuk menarik wisatawan. Sekarang kebudayaan itu menjadi bagian dari sistem pendidikan, jadi tugas dirjen kebudayaan adalah menjadikan budaya itu masuk ke sekolah. Saya tidak tahu di sini bagaimana, tetapi di Singapura gamelan itu wajib dipelajari anak SD. Kita punya gamelan, tetapi anak-anak kita tidak kenal gamelan. Apa jeleknya jika nanti di sekolah kita kenalkan gamelan

Bagaimana tentang UN apakah mau mengubah kembali menjadi penentu kelulusan?
Saya setuju UN itu tidak berpengaruh terhadap kelulusan.

Pada awal Maret, Indonesia menempati posisi 60 dari 61 untuk negara dengan tingkat literasi di dunia. Penelitian ini dilakukan oleh Central Connecticut State University. Bagaimana tanggapan Anda?
Ya, tetapi itu kadang tergantung siapa penyelenggaranya, tolok ukurnya, dan instrumen apa yang digunakan. Sama saja dengan pemeringkatan perguruan tinggi. Kalau yang dipakai itu standar kemampuan penggunaan bahasa internasionalnya Inggris ya kita tidak akan pernah menang dengan Malaysia sekalipun, wong bahasa kita bahasa Indonesia. Coba standarnya bahasa Indonesia ya kita nomor satulah.

Sama dengan jurnal internasional. Kita pacu dosen kita mengirim tulisan ke jurnal luar negeri, terutama indeks Scopus. Akibatnya ya jurnal nasional mati. Orang tidak akan mengirim artikel di jurnal lokal. Itu keliru. Menurut saya dongkrak jurnal kampus yang memiliki rekognisi internasional. Jadi internasional tidak harus mengirim ke luar negeri. Orang luar yang mengirim ke sini dong bukan kita yang mengirim ke sana.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0691 seconds (0.1#10.140)