Reshuffle Jilid 2: Unjuk Kekuatan Jokowi?

Kamis, 28 Juli 2016 - 14:42 WIB
Reshuffle Jilid 2: Unjuk Kekuatan Jokowi?
Reshuffle Jilid 2: Unjuk Kekuatan Jokowi?
A A A
Hurriyah
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

SEJAK beberapa hari lalu, publik dihebohkan dengan isu reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Setelah beredar berbagai versi bocoran cabinet reshuffle, akhirnya Rabu kemarin Presiden Jokowi resmi mengumumkan secara langsung susunan kabinet baru hasil reshuffle jilid 2.

Dalam pidato pengantarnya, Presiden Jokowi menjelaskan kondisi ekonomi yang menjadi tantangan utama Indonesia saat ini, terutama masalah kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah. Selain itu, Presiden Jokowi juga menegaskan pentingnya memperkuat ekonomi nasional untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang melambat dan penuh kompetisi.

Apalagi, pemerintahan Jokowi masih menghadapi kendala perekonomian, seperti rendahnya penerimaan pajak, birokrasi yang berbelit, rendahnya harga komoditas, hingga pasar ekspor yang belum membaik. Selain itu, masih ada problem struktural kelembagaan dan kondisi fiskal ekonomi yang relatif carut-marut dua tahun belakangan ini.

Pidato Jokowi juga menegaskan pentingnya untuk selalu mengedepankan kecepatan dalam bertindak dan mengambil keputusan yang akan dirasakan manfaatkan oleh rakyat dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk menegaskan komitmen tersebut, Presiden menyebutkan bahwa kabinet yang baru dilantik ini akan langsung bekerja mengikuti sidang paripurna.

Sinyal Positif Ekonomi?
Dari beberapa nama yang diumumkan, nama Sri Mulyani agaknya yang paling menyedot perhatian publik. Mantan menteri keuangan era Susilo Bambang Yudhoyono ini dipercaya Presiden Jokowi untuk mengisi jabatan menkeu menggantikan Bambang Brodjonegoro yang digeser menjadi menteri perencanaan pembangunan nasional/kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Mengutip pernyataan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, keahlian Sri Mulyani diyakini akan membantu memperkuat ekonomi Indonesia, mengentaskan kemiskinan, dan menangani ketimpangan ekonomi di Indonesia. Penunjukan Sri Mulyani juga diyakini akan meningkatkan kepercayaan pasar dan mengonsolidasikan fiskal ekonomi Indonesia.

Boleh jadi, keinginan untuk menggenjot perekonomian nasional sekaligus mencapai target pertumbuhan 7% di tengah perlambatan perekonomian global, juga menguatkan dugaan mengapa Sri Mulyani ditarik kembali ke pos lama yang pernah ditempatinya dulu. Sinyal positif dari penunjukan Sri Mulyani serta perombakan jajaran menteri di bidang ekonomi pada reshuffle jilid 2 ini setidaknya ditunjukkan oleh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa saham sore kemarin.

Kinerja Buruk atau Trouble Maker ?
Pascalebaran lalu, isu reshuffle memang sangat kuat, terutama setelah bergabungnya PAN dan Partai Golkar ke dalam koalisi partai pendukung pemerintah. Bukan rahasia lagi, dukungan parpol sudah pasti akan diikuti dengan imbalan jatah kekuasaan. Sebagaimana teorema terkenal yang berlaku dalam dunia politik: there's no such things as a free lunch.

Dengan masuknya menteri dari PAN dan Partai Golkar, sulit untuk tidak menduga bahwa reshuffle kali ini memang untuk mengakomodasi kedua partai tersebut. Satu kursi menteri yang diberikan kepada masing-masing partai tersebut bisa dibilang adalah harga yang harus dibayar oleh Jokowi untuk mengamankan dukungan politik PAN dan Golkar terhadap pemerintah. Jika dilihat sekilas, reshuffle kabinet memang bukan hal baru dalam politik Indonesia pasca-Orde Baru.

Reshuffle kabinet umumnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas kerja kabinet serta pembersihan pos-pos kementerian yang berkinerja buruk. Menariknya, isu reshuffle kabinet di era Jokowi agaknya lebih banyak diwarnai dengan alasan ”kegaduhan politik” ketimbang alasan buruknya kinerja. Sejak awal terbentuknya kabinet kerja Jokowi, cukup banyak peristiwa kegaduhan politik yang ditimbulkan oleh menteri-menterinya, baik kegaduhan di antara mereka sendiri atau kegaduhan yang ditimbulkan terhadap publik. Sebut saja misalnya Yuddy Chrisnandi, Ignatius Jonan, dan Rizal Ramli. Ketiga nama tersebut kerap menghiasi pemberitaan media akibat pernyataan-pernyataan mereka yang menimbulkan kegaduhan. Akibatnya, beberapa menteri dinilai sebagai trouble maker yang meng-ganggu harmoni kerja pemerintahan.

Dibandingkan menteri-menteri trouble maker yang kerap membuat gaduh, agaknya posisi menteri-menteri kinerjanya tidak memuaskan publik justru banyak yang aman posisinya. Padahal jumlahnya cukup banyak, dan sebagian besar di antaranya adalah menteri-menteri yang berasal dari parpol. Sebut saja misalnya Puan Maharani dan Yasonna Laoly dari PDIP atau HM Prasetyo dari NasDem. Sementara menteri nonparpol yang ramai disebut publik layak diganti antara lain Rini Soemarno dan Amran Sulaiman. Nama-nama ini justru selamat dari reshuffle jilid 2.

Sebaliknya, dalam reshuffle jilid 2 ini justru ada menteri yang dinilai publik kinerjanya memuaskan tetapi malah terdepak dari pos kementeriannya. Menteri Pendidikan Anies Baswedan misalnya, justru masuk dalam gerbong reshuffle jilid 2 ini. Padahal berdasarkan hasil survei Poltracking (2015), tingkat kepuasan publik terhadapnya cukup tinggi.

Unjuk Kekuatan Jokowi?
Reshuffle jilid 2 bisa dibilang tidak memberi pesan jelas kepada publik soal indikator yang digunakan oleh Presiden Jokowi dalam mengevaluasi menteri-menterinya. Apalagi memang dalam pidatonya, Presiden tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai alasan pergantian beberapa nama menteri yang dicopot ataupun digeser dari pos kerjanya.

Padahal, publik berhak tahu mengenai indikator penilaian kinerja menteri sehingga bisa digunakan untuk menilai kinerja kabinet selanjutnya. Meskipun tidak bisa dijadikan acuan untuk melakukan reshuffle , persepsi publik bisa menjadi masukan bagi pemerintah sehingga bisa membawa dampak positif atas penilaian publik dan tingkat kepercayaan kepada parpol dan pemerintah. Apalagi, Presiden sendiri dalam pernyataannya kemarin menegaskan bahwa dukungan rakyat sangat penting bagi pemerintah.

Alih-alih reshuffle kali ini justru lebih memperlihatkan upaya unjuk kekuatan Presiden Jokowi sebagai presiden RI yang sesungguhnya, bukan presiden boneka-sebagaimana yang kerap dituduhkan oleh banyak pengkritiknya. Jika dalam penyusunan kabinet pengaruh politik Megawati dan Jusuf Kalla terlihat masih cukup kuat, reshuffle kali ini seakan memberi pesan bahwa Jokowi sudah bisa lepas dari tekanan dan pengaruh politik kedua tokoh tersebut.

Meskipun kursi PDIP di kabinet tetap aman, banyak pihak menilai amannya posisi Rini Soemarno sebagai menteri BUMN, meskipun selalu digoyang PDIP, memperlihatkan bahwa Jokowi tidak mau begitu saja menerima disebut sebagai ”petugas partai” -sebagaimana pernyataan Megawati saat mengumumkan Jokowi sebagai capres yang diusung PDIP dalam Pilpres 2014 lalu.

Sinyalemen unjuk gigi oleh Presiden Jokowi dalam reshuffle kabinet bahkan sebenarnya sudah mulai terlihat sejak reshuffle jilid 1. Ketika ramai pemberitaan soal reshuffle, Presiden Joko Widodo lewat akun Twitter-nya menegaskan: ”Saya harap kita semua bekerja saja dengan baik. Urusan angkat dan ganti menteri biar jadi urusan saya ”. (Twitter 8/1/2016)

Di satu sisi, upaya unjuk kekuatan ini memang sah-sah saja. Toh dalam konteks sistem presidensil Indonesia, Presiden memang diharapkan mampu menjadi head of government dari kabinet yang dipimpinnya.

Namun di sisi lain, yang juga penting untuk diingat adalah lebih daripada sekadar unjuk kekuatan, keputusan melakukan reshuffle kabinet juga selaiknya menjadi upaya untuk memperkuat kepemimpinan Presiden, ketepatannya untuk menempatkan orang yang tepat pada posisi dan waktu yang tepat, sekaligus memperlihatkan kecakapan untuk memimpin kabinet agar bisa bekerja optimal tanpa kegaduhan politik.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4670 seconds (0.1#10.140)