DPR Restui Dana PMN
A
A
A
SETELAH melalui perdebatan panjang, akhirnya usulan penyertaan modal negara (PMN) kepada sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) disepakati. Namun, usulan PMN yang diajukan pemerintah tidak sepenuhnya diloloskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Dalam rapat yang digelar pekan lalu di mana pemerintah diwakili Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brojonegoro, Komisi VI DPR RI secara tegas menolak PMN untuk tiga BUMN senilai Rp2,5 triliun untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
Penolakan pemberian PMN untuk ketiga perusahaan pelat merah itu, yakni PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), PT Pelabuhan Indonesia III (Pelindo III), dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) karena dinilai mampu untuk melakukan restrukturisasi keuangan dan leverage modal.
Selain itu, Komisi VI DPR RI memotong jatah PMN PT Hutama Karya dari sebesar Rp3 triliun menjadi senilai Rp2 triliun. Pengurangan suntikan dana kepada Hutama Karya, sebagaimana disampaikan Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno, karena BUMN konstruksi tersebut sudah mendapat PMN tahun lalu, dan dalam rencana penganggaran perusahaan hingga 2019 akan mengajukan PMN setiap tahun.
Jadi, dari 23 BUMN yang diajukan sebagai penerima PMN, hanya 19 BUMN mendapat restu secara penuh menikmati “kue” PMN. Lainnya tiga ditolak dan satu BUMN hanya disetujui mendapatkan suntikan dana sebagian.
Sebelum mendapat persetujuan penyertaan PMN, pihak wakil rakyat melalui Komisi VI mempertanyakan sumber dana yang akan digelontorkan kepada perusahaan negara tersebut.
Menkeu Bambang Brodjonegoro yang tampak percaya diri penuh dalam rapat pembahasan PMN dengan Komisi VI DPR RI mengaskan bahwa dana PMN tidak bersumber dari dana hasil pemotongan anggaran belanja kementerian/ lembaga yang sedang dilakukan pada APBN-P 2016.
Bambang yang didampingi sejumlah pimpinan BUMN menyatakan dana tersebut bagian dari belanja investasi dan sudah dianggarkan sejak Oktober 2015 lalu. Lebih jauh, Bambang menjelaskan bahwa PMN masuk kategori belanja investasi dengan harapan dapat meningkatkan dan memperluas kinerja perusahaan negara.
Di mata pemerintah, dengan menambah modal BUMN lewat PMN akan membuat kinerja perusahaan lebih bagus, selain mendatangkan keuntungan untuk perusahaan juga bagi negara selaku pemegang saham. Selama ini ditengarai kinerja perusahaan pelat merah tidak bisa maksimal karena permodalan yang terbatas.
Adapun pemotongan anggaran kementerian/lembaga dalam APBN-P 2016 adalah sebuah langkah penghematan negara, di antaranya perjalanan dinas, rapat-rapat yang tidak begitu penting, dan pengadaan seminar.
Sebelum pembahasan PMN untuk sejumlah perusahaan pelat merah dalam APBN-P 2016, Menkeu Bambang Brodjonegoro sempat mendapat “sengatan” dari Komisi VI DPR RI.
Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Irmadi Lubis mempersoalkan posisi Menkeu Bambang yang menggantikan Menteri BUMN Rini Soemarno. Perdebatan selama 45 menit seputar kehadiran Bambang tak terelakkan karena tak bisa menunjukkan surat persetujuan dari Menkeu alias dirinya sendiri.
Irmadi Lubis menuntut demikian karena aturan mengharuskan wakil pemerintah dalam pembahasan PMN harus mendapat persetujuan dari Menkeu. Digertak dengan alasan melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 41 Tahun 2003 Pasal 3 ayat 2 yang mengatur soal surat persetujuan Menkeu untuk mewakili eksekutif yang berhalangan hadir dalam rapat di DPR, rupanya nyali Bambang tak surut bahkan balik menantang untuk segera menyiapkan surat dari dirinya bila dibutuhkan.
Namun, tawaran tersebut tak meredakan suasana rapat yang sudah telanjur panas. Bambang lalu menegaskan kehadirannya tidak mewakili Menteri BUMN, tetapi ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membahas PMN bersama Komisi VI DPR RI.
Menteri BUMN Rini Soemarno tak bisa hadir di DPR karena dicekal sebagai buntut dari keputusan Pansus Angket Pelindo II yang merekomendasikan Rini diberhentikan selaku menteri BUMN.
Meski terjadi perdebatan alot dan keputusan pemberian PMN yang justru tidak dihadiri pimpinan puncak kementerian BUMN, kita berharap keputusan itu bisa tepat sasaran untuk meningkatkan kinerja BUMN.
Dalam rapat yang digelar pekan lalu di mana pemerintah diwakili Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brojonegoro, Komisi VI DPR RI secara tegas menolak PMN untuk tiga BUMN senilai Rp2,5 triliun untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
Penolakan pemberian PMN untuk ketiga perusahaan pelat merah itu, yakni PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), PT Pelabuhan Indonesia III (Pelindo III), dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) karena dinilai mampu untuk melakukan restrukturisasi keuangan dan leverage modal.
Selain itu, Komisi VI DPR RI memotong jatah PMN PT Hutama Karya dari sebesar Rp3 triliun menjadi senilai Rp2 triliun. Pengurangan suntikan dana kepada Hutama Karya, sebagaimana disampaikan Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno, karena BUMN konstruksi tersebut sudah mendapat PMN tahun lalu, dan dalam rencana penganggaran perusahaan hingga 2019 akan mengajukan PMN setiap tahun.
Jadi, dari 23 BUMN yang diajukan sebagai penerima PMN, hanya 19 BUMN mendapat restu secara penuh menikmati “kue” PMN. Lainnya tiga ditolak dan satu BUMN hanya disetujui mendapatkan suntikan dana sebagian.
Sebelum mendapat persetujuan penyertaan PMN, pihak wakil rakyat melalui Komisi VI mempertanyakan sumber dana yang akan digelontorkan kepada perusahaan negara tersebut.
Menkeu Bambang Brodjonegoro yang tampak percaya diri penuh dalam rapat pembahasan PMN dengan Komisi VI DPR RI mengaskan bahwa dana PMN tidak bersumber dari dana hasil pemotongan anggaran belanja kementerian/ lembaga yang sedang dilakukan pada APBN-P 2016.
Bambang yang didampingi sejumlah pimpinan BUMN menyatakan dana tersebut bagian dari belanja investasi dan sudah dianggarkan sejak Oktober 2015 lalu. Lebih jauh, Bambang menjelaskan bahwa PMN masuk kategori belanja investasi dengan harapan dapat meningkatkan dan memperluas kinerja perusahaan negara.
Di mata pemerintah, dengan menambah modal BUMN lewat PMN akan membuat kinerja perusahaan lebih bagus, selain mendatangkan keuntungan untuk perusahaan juga bagi negara selaku pemegang saham. Selama ini ditengarai kinerja perusahaan pelat merah tidak bisa maksimal karena permodalan yang terbatas.
Adapun pemotongan anggaran kementerian/lembaga dalam APBN-P 2016 adalah sebuah langkah penghematan negara, di antaranya perjalanan dinas, rapat-rapat yang tidak begitu penting, dan pengadaan seminar.
Sebelum pembahasan PMN untuk sejumlah perusahaan pelat merah dalam APBN-P 2016, Menkeu Bambang Brodjonegoro sempat mendapat “sengatan” dari Komisi VI DPR RI.
Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Irmadi Lubis mempersoalkan posisi Menkeu Bambang yang menggantikan Menteri BUMN Rini Soemarno. Perdebatan selama 45 menit seputar kehadiran Bambang tak terelakkan karena tak bisa menunjukkan surat persetujuan dari Menkeu alias dirinya sendiri.
Irmadi Lubis menuntut demikian karena aturan mengharuskan wakil pemerintah dalam pembahasan PMN harus mendapat persetujuan dari Menkeu. Digertak dengan alasan melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 41 Tahun 2003 Pasal 3 ayat 2 yang mengatur soal surat persetujuan Menkeu untuk mewakili eksekutif yang berhalangan hadir dalam rapat di DPR, rupanya nyali Bambang tak surut bahkan balik menantang untuk segera menyiapkan surat dari dirinya bila dibutuhkan.
Namun, tawaran tersebut tak meredakan suasana rapat yang sudah telanjur panas. Bambang lalu menegaskan kehadirannya tidak mewakili Menteri BUMN, tetapi ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membahas PMN bersama Komisi VI DPR RI.
Menteri BUMN Rini Soemarno tak bisa hadir di DPR karena dicekal sebagai buntut dari keputusan Pansus Angket Pelindo II yang merekomendasikan Rini diberhentikan selaku menteri BUMN.
Meski terjadi perdebatan alot dan keputusan pemberian PMN yang justru tidak dihadiri pimpinan puncak kementerian BUMN, kita berharap keputusan itu bisa tepat sasaran untuk meningkatkan kinerja BUMN.
(dam)