Membaca RAPBNP 2016: Pentingnya Kredibilitas
A
A
A
Mukhamad Misbakhun
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar
PEMERINTAH mengajukan RAPBNP tahun 2016 kepada DPR sebagai langkah menyesuaikan perubahan asumsi dasar ekonomi makro. Selain itu, untuk menampung perubahan pokok kebijakan fiskal dalam rangka mengamankan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dan tetap menjaga pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Beberapa variabel asumsi dasar ekonomi makro yang berdampak mengurangi defisit atau menambah surplus terhadap postur RAPBNP tahun 2016 adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi, peningkatan Indonesian Crude Price (ICP), serta kenaikan lifting minyak dan gas bumi. Peningkatan pada asumsi dasar ekonomi makro tersebut akan berdampak langsung pada kenaikan pendapatan negara, terutama pada penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan berdampak tidak langsung terhadap kenaikan anggaran transfer ke daerah, terutama dana bagi hasil (DBH).
Sesuai perhitungan analisis sensitivitas, peningkatan besaran asumsi dasar ekonomi makro diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan negara yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan belanja negara. Akibat itu, peningkatan tersebut berdampak pada pengurangan defisit anggaran. Yang perlu dicermati adalah beberapa faktor perkembangan ekonomi yang memengaruhi pelaksanaan APBN. Pertama, kondisi ekonomi global dan domestik yang memengaruhi asumsi dasar ekonomi makro, di mana yang sangat signifikan adalah harga minyak mentah Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Kedua, tidak tercapainya target pendapatan negara pada 2015, khususnya sektor perpajakan yang menjadi dasar penghitungan dari target pendapatan negara pada APBN 2016. Pada 2015 realisasi penerimaan perpajakan tercatat sebesar 83,3% dari target dalam APBNP 2015 sebagai akibat perlambatan ekonomi, terutama turunnya permintaan pada sektor industri pengolahan dan pertambangan.
Ketiga, pelebaran besaran defisit anggaran. Perkiraan penurunan realisasi pendapatan negara dari target APBN 2016, dan diiringi dengan komitmen alokasi belanja negara yang masih mengacu pada APBN 2016, mengakibatkan potensi pelebaran defisit anggaran hingga melebihi ambang batas. Sesuai UU Nomor 17/ 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% dari produk domestik bruto.
Perubahan Postur RAPBNP 2016
Pendapatan negara 2016 diperkirakan mengalami penurunan sebesar Rp88,045 triliun dari APBN 2016. Penurunan tersebut terutama akibat penurunan PNBP sebesar Rp68,437 triliun dan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp19,550 triliun. Rendahnya realisasi penerimaan perpajakan serta realisasi lifting dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) selama 2015 menyebabkan pemerintah menurunkan target penerimaan perpajakan pada RAPBNP 2016 menjadi Rp1.527,113triliun, yang utamanya disebabkan penerimaan PPh migas dan PPN.
Dalam upaya mencapai target penerimaan perpajakan serta mengamankan tax ratio, pemerintah melakukan perbaikan sektor perpajakan antara lain: (1) peningkatan kepatuhan wajib pajak, (2) peningkatan tax ratio dan tax buoyancy, (3) peningkatan tax coverage melalui penggalian potensi perpajakan sektor unggulan, (4) penguatan dan perluasan basis data perpajakan, serta (5) pelaksanaan tax amnesty/voluntary disclosure. Dengan upaya-upaya tersebut, tax ratio (arti sempit) dalam RAPBNP 2016 ditargetkan sebesar 12,08%, sedangkan tax ratio dalam arti luas (termasuk penerimaan SDA migas dan pertambangan umum) ditargetkan sebesar 12,44%.
Belanja negara diproyeksikan mencapai Rp.2.047,841 triliun, atau turun 2,3% dari pagu APBN 2016. Belanja negara pada 2016 meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.289,537 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp758.303,8 miliar. Belanja pemerintah pusat dalam RAPBNP 2016 diperkirakan lebih rendah dari APBN 2016, terutama disebabkan kebijakan penghematan dan pemotongan belanja kementerian negara/lembaga (K/ L). Sedangkan penurunan dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK) merupakan kontribusi terbesar dari penurunan transfer ke daerah dan dana desa.
Pentingnya Kredibilitas
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berjalan di tengah ketidakpastian global yang entah kapan berakhir. Ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat pun belum solid. China, walaupun ekonominya mengarah ke kondisi yang lebih stabil, risiko pelemahannya masih tinggi. Kondisi ini menyebabkan PDB ekspor Indonesia terus menyusut dari Rp599,3 triliun pada triwulan I 2015 menjadi Rp533,6 triliun pada triwulan I 2016.
Situasi ini disikapi pemerintah dengan menerbitkan sejumlah paket kebijakan yang diharapkan segera berdampak pada perekonomian. Paket kebijakan diterbitkan sejalan dengan ekstensifikasi pajak untuk peningkatan penerimaan pajak. Pemerintah juga berharap banyak pada pemberlakuan tax amnesty atau pengampunan pajak. Berbekal harapan yang tinggi pada paket-paket kebijakan dan keberhasilan upaya penerimaan pajak, pemerintah merancang belanja yang ambisius. Nyatanya perhitungan tersebut meleset.
Ketidaksiapan birokrasi menyebabkan paket kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan mudah. Ditjen Pajak kesulitan memperluas basis wajib pajak di tengah ekonomi yang terpuruk saat ini. Sementara upaya mengundangkan tax amnesty mendapat banyak hambatan. Banyak pihak menentang pemberlakuan tax amnesty karena menilai kebijakan tersebut tidak adil dan hanya menguntungkan pengemplang pajak, koruptor, dan pencuci uang. Akumulasi dari faktor-faktor di atas membawa RAPBNP 2016 berinti pada pemangkasan anggaran.
Namun, di sini pemerintahan Jokowi harus bertindak cermat. Pemangkasan anggaran tidak saja berimbas secara ekonomi, tetapi juga psikologis karena bisa memicu ketidakpercayaan. Pemotongan anggaran belanja negara dapat memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor karena akan dimaknai sebagai kontraksi pertumbuhan. Dalam teori ekonomi, sinyal kontraksi pertumbuhan merupakan hal yang sangat berbahaya sehingga sebisa mungkin harus dihindari pemerintah. Sinyal kontraksi menyebabkan psikologis pasar dan investor terganggu.
Dampaknya adalah mereka cenderung akan mengerem segala aktivitasnya.Jika pemerintahan Jokowi selalu merevisi anggaran belanjanya menjadi lebih rendah seperti dilakukan sebelumnya pada APBNP 2015, kredibilitas pemerintah akan jatuh.
Pemerintahan Jokowi akan diragukan kompetensi dan kemampuannya dalam merancang serta mengeksekusi anggaran. Persoalan kredibilitas merupakan hal penting sehingga pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar
PEMERINTAH mengajukan RAPBNP tahun 2016 kepada DPR sebagai langkah menyesuaikan perubahan asumsi dasar ekonomi makro. Selain itu, untuk menampung perubahan pokok kebijakan fiskal dalam rangka mengamankan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dan tetap menjaga pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Beberapa variabel asumsi dasar ekonomi makro yang berdampak mengurangi defisit atau menambah surplus terhadap postur RAPBNP tahun 2016 adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi, peningkatan Indonesian Crude Price (ICP), serta kenaikan lifting minyak dan gas bumi. Peningkatan pada asumsi dasar ekonomi makro tersebut akan berdampak langsung pada kenaikan pendapatan negara, terutama pada penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan berdampak tidak langsung terhadap kenaikan anggaran transfer ke daerah, terutama dana bagi hasil (DBH).
Sesuai perhitungan analisis sensitivitas, peningkatan besaran asumsi dasar ekonomi makro diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan negara yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan belanja negara. Akibat itu, peningkatan tersebut berdampak pada pengurangan defisit anggaran. Yang perlu dicermati adalah beberapa faktor perkembangan ekonomi yang memengaruhi pelaksanaan APBN. Pertama, kondisi ekonomi global dan domestik yang memengaruhi asumsi dasar ekonomi makro, di mana yang sangat signifikan adalah harga minyak mentah Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Kedua, tidak tercapainya target pendapatan negara pada 2015, khususnya sektor perpajakan yang menjadi dasar penghitungan dari target pendapatan negara pada APBN 2016. Pada 2015 realisasi penerimaan perpajakan tercatat sebesar 83,3% dari target dalam APBNP 2015 sebagai akibat perlambatan ekonomi, terutama turunnya permintaan pada sektor industri pengolahan dan pertambangan.
Ketiga, pelebaran besaran defisit anggaran. Perkiraan penurunan realisasi pendapatan negara dari target APBN 2016, dan diiringi dengan komitmen alokasi belanja negara yang masih mengacu pada APBN 2016, mengakibatkan potensi pelebaran defisit anggaran hingga melebihi ambang batas. Sesuai UU Nomor 17/ 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% dari produk domestik bruto.
Perubahan Postur RAPBNP 2016
Pendapatan negara 2016 diperkirakan mengalami penurunan sebesar Rp88,045 triliun dari APBN 2016. Penurunan tersebut terutama akibat penurunan PNBP sebesar Rp68,437 triliun dan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp19,550 triliun. Rendahnya realisasi penerimaan perpajakan serta realisasi lifting dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) selama 2015 menyebabkan pemerintah menurunkan target penerimaan perpajakan pada RAPBNP 2016 menjadi Rp1.527,113triliun, yang utamanya disebabkan penerimaan PPh migas dan PPN.
Dalam upaya mencapai target penerimaan perpajakan serta mengamankan tax ratio, pemerintah melakukan perbaikan sektor perpajakan antara lain: (1) peningkatan kepatuhan wajib pajak, (2) peningkatan tax ratio dan tax buoyancy, (3) peningkatan tax coverage melalui penggalian potensi perpajakan sektor unggulan, (4) penguatan dan perluasan basis data perpajakan, serta (5) pelaksanaan tax amnesty/voluntary disclosure. Dengan upaya-upaya tersebut, tax ratio (arti sempit) dalam RAPBNP 2016 ditargetkan sebesar 12,08%, sedangkan tax ratio dalam arti luas (termasuk penerimaan SDA migas dan pertambangan umum) ditargetkan sebesar 12,44%.
Belanja negara diproyeksikan mencapai Rp.2.047,841 triliun, atau turun 2,3% dari pagu APBN 2016. Belanja negara pada 2016 meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.289,537 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp758.303,8 miliar. Belanja pemerintah pusat dalam RAPBNP 2016 diperkirakan lebih rendah dari APBN 2016, terutama disebabkan kebijakan penghematan dan pemotongan belanja kementerian negara/lembaga (K/ L). Sedangkan penurunan dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK) merupakan kontribusi terbesar dari penurunan transfer ke daerah dan dana desa.
Pentingnya Kredibilitas
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berjalan di tengah ketidakpastian global yang entah kapan berakhir. Ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat pun belum solid. China, walaupun ekonominya mengarah ke kondisi yang lebih stabil, risiko pelemahannya masih tinggi. Kondisi ini menyebabkan PDB ekspor Indonesia terus menyusut dari Rp599,3 triliun pada triwulan I 2015 menjadi Rp533,6 triliun pada triwulan I 2016.
Situasi ini disikapi pemerintah dengan menerbitkan sejumlah paket kebijakan yang diharapkan segera berdampak pada perekonomian. Paket kebijakan diterbitkan sejalan dengan ekstensifikasi pajak untuk peningkatan penerimaan pajak. Pemerintah juga berharap banyak pada pemberlakuan tax amnesty atau pengampunan pajak. Berbekal harapan yang tinggi pada paket-paket kebijakan dan keberhasilan upaya penerimaan pajak, pemerintah merancang belanja yang ambisius. Nyatanya perhitungan tersebut meleset.
Ketidaksiapan birokrasi menyebabkan paket kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan mudah. Ditjen Pajak kesulitan memperluas basis wajib pajak di tengah ekonomi yang terpuruk saat ini. Sementara upaya mengundangkan tax amnesty mendapat banyak hambatan. Banyak pihak menentang pemberlakuan tax amnesty karena menilai kebijakan tersebut tidak adil dan hanya menguntungkan pengemplang pajak, koruptor, dan pencuci uang. Akumulasi dari faktor-faktor di atas membawa RAPBNP 2016 berinti pada pemangkasan anggaran.
Namun, di sini pemerintahan Jokowi harus bertindak cermat. Pemangkasan anggaran tidak saja berimbas secara ekonomi, tetapi juga psikologis karena bisa memicu ketidakpercayaan. Pemotongan anggaran belanja negara dapat memberikan sinyal buruk ke pasar dan investor karena akan dimaknai sebagai kontraksi pertumbuhan. Dalam teori ekonomi, sinyal kontraksi pertumbuhan merupakan hal yang sangat berbahaya sehingga sebisa mungkin harus dihindari pemerintah. Sinyal kontraksi menyebabkan psikologis pasar dan investor terganggu.
Dampaknya adalah mereka cenderung akan mengerem segala aktivitasnya.Jika pemerintahan Jokowi selalu merevisi anggaran belanjanya menjadi lebih rendah seperti dilakukan sebelumnya pada APBNP 2015, kredibilitas pemerintah akan jatuh.
Pemerintahan Jokowi akan diragukan kompetensi dan kemampuannya dalam merancang serta mengeksekusi anggaran. Persoalan kredibilitas merupakan hal penting sehingga pemerintah harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor.
(kur)