Menakar Wacana Impor Rektor

Rabu, 15 Juni 2016 - 14:59 WIB
Menakar Wacana Impor...
Menakar Wacana Impor Rektor
A A A
Jejen Musfah
Dosen Pascasarjana FITK UIN Jakarta,
Pemimpin Redaksi Majalah Suara Guru

WACANA
pemerintah mendatangkan dosen luar negeri untuk menjadi rektor universitas negeri di Indonesia menimbulkan pro dan kontra. Ide impor rektor itu bertujuan meningkatkan kinerja universitas, terutama bidang penelitian yang masih rendah. Asumsinya, kualitas rektor berpengaruh signifikan terhadap kemajuan suatu universitas, khususnya penelitian.

Apakah rektor dari dosen luar negeri yang kompeten akan menjamin kinerja universitas Indonesia menjadi lebih baik? Melihat faktor kualitas rektor dalam kelemahan kinerja universitas Indonesia sah-sah saja, tetapi terlalu menyederhanakan persoalan. Kinerja dan keunggulan universitas dipengaruhi oleh banyak faktor, rektor sebagai pimpinan tertinggi salah satunya.

Kriteria Rektor
Pengalaman universitas-universitas di Indonesia berikut ini menjelaskan bagaimana banyak faktor yang perlu dibenahi dalam tata kelola universitas, sebelum kebijakan impor rektor benar-benar terjadi. Indonesia tidak kekurangan dosen yang kompeten. Banyak dosen berprestasi dalam bidang akademik, kreatif, inovatif, bereputasi internasional, dan keluaran universitas terbaik dalam dan luar negeri.

Dosen teladan atau terbaik universitas bisa terpilih menjadi rektor, bisa juga tidak. Masalah kita sesungguhnya bukan pada terkotak-kotaknya dosen ke dalam organisasi kemasyarakatan (NU, Muhammadiyah, dan HMI), almamater, atau kesukuan. Tetapi, bagaimana mereka bisa sepakat memilih rektor kompeten yang dianggap mampu membawa kampus produktif melahirkan karya-karya inovatif dan diakui di dunia internasional.

Kriteria kompeten bagi rektor berbeda dengan kriteria kompeten seorang dosen yang ilmuwan. Seorang ilmuwan yang menghasilkan banyak karya ilmiah di jurnal internasional, menjadi pembicara di banyak seminar internasional, dan karenanya menjadi terkenal, belum tentu cocok sebagai rektor universitas.

Mampu melahirkan program kreatif dan inovatif terkait publikasi ilmiah, sekaligus mampu memengaruhi dosen berorientasi menjadi ilmuwan dengan reputasi internasional misalnya, adalah dua kriteria yang harus dimiliki setiap calon rektor. Pemilihan rektor dengan kriteria kreatif dan inovatif inilah yang seharusnya dilakukan dosen universitas di Indonesia, dari kelompok mana pun.

Dalam hal ini, dua menteri yang menangani pendidikan tinggi harus pula mengacu pada kriteria pemimpin di atas. Suara menteri dalam pemilihan rektor, baik yang memiliki kuota 35 suara (Menristek Dikti) atau yang memiliki kuota penuh (100%, yaitu menteri agama), harus diberikan kepada calon dengan kualifikasi terbaik di antara calon-calon yang dimajukan oleh universitas. Menggunakan wewenang menteri tersebut untuk memilih calon yang benar-benar bermutu dan berintegritas jauh lebih baik daripada mengimpor rektor.

Kemampuan Meneliti

Mengundang dosen luar negeri menjadi rektor universitas negeri di Indonesia tidak otomatis akan meningkatkan reputasi universitas di level internasional. Karena, kendala rektor kita adalah lemahnya kemampuan meneliti dan menulis dosen. Publikasi ilmiah universitas negeri yang rendah bukan semata 'kesalahan' rektor, tetapi lemahnya kompetensi meneliti para dosen.

Peluang penelitian bagi para dosen sudah terbuka lebar, baik di Kemenristek Dikti, di Kementrian Agama (Kemenag), maupun di kampus masing-masing. Dananya cukup besar meskipun masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan rasio jumlah dosen, apalagi dengan dana riset negara-negara berkembang lain. Banyak dosen memperoleh dana penelitian, dari yang Rp10 juta hingga Rp200 juta, atau bahkan lebih, tetapi hasil penelitiannya tidak menghasilkan sesuatu yang baru sehingga tidak 'dibaca' ilmuwan dunia. Penelitian mereka hanya berakhir di jurnal atau di lemari perpustakaan.

Maka itu, para rektor universitas negeri saat ini sedang mendorong para dosen untuk meningkatkan kemampuan meneliti, meneliti, dan menulis karya ilmiah pada satu sisi, dan mengirim para dosen kuliah S-2 dan S-3 pada sisi yang lain. Demikian pula yang dilakukan Kemenristek Dikti, Kemenag, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Di Indonesia baru ada 5.109 profesor, padahal yang dibutuhkan 22.000. Saat ini masih ada sekitar 50.000 dosen yang masih lulusan S-1.

Sesungguhnya Indonesia sedang dalam fase bergerak maju dalam bidang penelitian dan publikasi internasional. Memang belum sesuai harapan. Peringkat universitas-universitas ternama Indonesia masih jauh di bawah Malaysia dan Singapura.

Berbagai pihak tidak berpangku tangan menanggapi ketertinggalan tersebut. Dana penelitian tersedia, langganan jurnal internasional sudah dilakukan, penelitian kolaboratif dengan dosen luar negeri mulai dijalin, penerbitan jurnal internasional sudah menggeliat, dan workshop penulisan artikel ilmiah bertebaran. Lalu, apa yang harus dibenahi dalam pendidikan tinggi kita, khususnya bidang penelitian dan publikasi ilmiah, selain mengganti rektor?

Pertama, dosen dan menteri terkait memilih calon rektor universitas negeri dari dalam negeri dan bisa dosen dari dalam atau luar universitas, yang benar-benar kompeten dan memiliki kriteria pemimpin yang kreatif dan inovatif. Calon rektor dipilih bukan karena ia berambisi terhadap jabatan itu, tetapi minim prestasi dan lemah integritas.

Dosen dan menteri harus berjiwa layaknya seorang ilmuwan yang keputusannya harus objektif dan tindakannya profesional. Tidak memaksakan seseorang yang tidak kompeten dalam jabatan sangat strategis semisal rektor. Sekali lagi, kriteria rektor berbeda dengan kriteria seorang ilmuwan. Rektor yang terbukti tidak mampu meningkatkan publikasi ilmiah kampusnya di level internasional berkenan mengundurkan diri atau tidak dipilih lagi pada periode kedua. Pada saat dilantik, rektor menandatangani pakta integritas tentang hal ini.

Kedua, rektor menyeleksi dosen dalam rumpun ilmu masing-masing untuk fokus pada penelitian dan publikasi artikel di jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional, selain mengajar. Selama mereka tergabung dalam 'dosen-peneliti'–katakanlah demikian, mereka tidak boleh menjabat di kampus seperti rektor, dekan, ketua prodi, kepala pusat bahasa, kepala perpustakaan, dan kepala pusat penelitian.

Dosen kompeten dalam penelitian dan menulis artikel ilmiah sering mandul dalam menghasilkan karya ilmiah setelah menduduki jabatan strategis di kampus. Dosen-peneliti juga tidak diberi jam mengajar yang banyak–seperti dosen dengan jabatan, tetapi wajib menghasilkan penelitian yang berpotensi publikasi nasional terakreditasi atau internasional, minimal satu tahun satu artikel. Dosen-peneliti yang kemampuan menelitinya masih standar ditingkatkan melalui pelatihan intensif di bawah bimbingan dosen-peneliti yang sudah ahli dan berpengalaman.

Indonesia memiliki banyak dosen yang kompeten, kreatif, dan inovatif. Tugas menteri dan rektor merangkul mereka, menempatkan mereka ke dalam posisi yang tepat, mengarahkan, memberi ruang dan fasilitas yang memadai untuk lahirnya karya-karya baru, dan mengembangkan yang belum matang. Untuk memperkuat dosen dan universitas negeri, bisa juga memanggil sebagian kecil anak-anak bangsa yang 'bersinar terang' di universitas dan perusahaan luar negeri.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6324 seconds (0.1#10.140)