Kejahatan dalam Kondisi Mabuk
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne, Berkhidmat di Komisi Nasional Perlindungan Anak
"SESUNGGUHNYA setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar... maka berhentilah kamu (dari perbuatan itu)" (Al Maidah: 91).
Apa pun alibi para pelaku, bulat sempurna ekspektasi publik: belasan manusia keji yang telah menjahati Y, gadis cilik berumur 14 tahun, di Dusun 5, Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Bengkulu, harus dihukum seberat-beratnya.
Terhadap para tersangka hampir bisa dipastikan akan dikenakan pasal berlapis, yakni mengonsumsi minuman keras di tempat umum, memerkosa, dan menghilangkan nyawa manusia.
Sepintas lalu, tiga pasal pidana tersebut berkelindan sedemikian rupa melipatgandakan kemungkinan penjatuhan hukuman maksimal bagi seluruh tersangka.
Misalnya, hukuman bagi tersangka dianggap harus diperberat karena, selain memerkosa korban, pelaku juga menenggak minuman keras. Namun, boleh jadi persoalannya tidak sesederhana itu, khususnya bagi para tersangka yang masih berada pada usia kanak-kanak (remaja).
Tambahan lagi karena ada pernyataan-pernyataan kontradiktif antara kapolres dan kapolsek, sebagaimana dimuat pada laman daring http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2016/04/11/12-pembunuh-siswi-smp-diringkus/.
Niat Memerkosa
Secara klasik, setiap perilaku kejahatan diyakini didahului oleh pemunculan niat jahat. Masalahnya, dalam kasus Bengkulu, kapan sesungguhnya para tersangka berniat memerkosa korban?
Apabila mens rea baru muncul setelah mereka berada dalam kondisi mabuk, mabuk sebagai penyebab lumpuhnya mental tersangka dapat diajukan sebagai pembelaan diri.
Sebaliknya, manakala mens rea untuk memerkosa sudah timbul saat tersangka masih sadar (sejak sebelum aksi mabuk-mabukan dilakukan), mabuk tidak bisa dipakai sebagai alibi dan justru merupakan katalis bagi tindak perkosaan.
Kapolres Rejang Lebong mengatakan, para tersangka membunuh korban setelah memerkosanya beramai-ramai dengan cara menjatuhkannya ke dalam jurang dengan kondisi dua tangan terikat. Jika itu yang terjadi, terpenuhi kriteria bahwa Y adalah korban pembunuhan (murder ).
Kapolsek Padang Ulak Tanding punya versi lain. Menurutnya, berdasarkan hasil visum dokter, korban sudah meninggal saat perkosaan itu masih berlangsung. Atas dasar itu, Y tampaknya bukan korban pembunuhan. Lebih tepat apabila ia dipandang sebagai korban penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia (manslaughter).
Mens rea (niat, intent ) dibedakan atas niat spesifik (specific intent) dan niat umum (general intent). Begitu juga di negara-negara yang memberlakukan pengaturan ketat terhadap minuman keras, hukum memerhatikan secara seksama keterkaitan antara tindak kriminalitas dan kondisi mabuk (intoxication) pelaku.
Pelaku pembunuhan di sejumlah yurisdiksi karena didahului specific intent dapat menggunakan kondisi mabuk sebagai alibi untuk meyakinkan hakim agar memberikan keringanan hukuman. Sebaliknya, pelaku penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya manusia, karena merupakan manifestasi general intent , tidak diperbolehkan berdalih mabuk untuk maksud serupa.
Demikian pula dalam kasus perkosaan; ketika mabuk menurunkan kapasitas mental yang ditandai hilangnya kesadaran tentang apa yang tengah dilakukannya, itu tetap bukan pemakluman yang membebaskan si pemerkosa dari tanggung jawab meski memungkinkannya untuk mendapat peringanan sanksi.
Ketentuan di atas kontras dengan keputusan kontroversial Mahkamah Agung Kanada pada 1994. Dalam perkara R melawan Daviault, mayoritas hakim agung berpendapat bahwa merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi apabila seseorang didakwa melakukan serangan seksual manakala ia dalam kondisi sangat mabuk sehingga tidak menyadari dan/atau kehilangan kontrol atas perilakunya sendiri. Aturan main tersebut berlaku bagi terdakwa yang berusia dewasa.
Tersangka Remaja
Undang-undang (UU) Perlindungan Anak mencantumkan batasan usia anak yakni sejak individu berada di dalam kandungan hingga sebelum berumur delapan belas tahun.
Karena beberapa tersangka masih berusia remaja (kanak-kanak), bagaimana kondisi mabuk tersebut berimplikasi terhadap pertanggungjawaban mereka secara hukum? Jawabannya lebih mendasar daripada sebatas bisa atau tidak kondisi di bawah pengaruh minuman keras digunakan sebagai unsur peringan hukuman.
Bagi remaja, kehadiran teman sebaya dan terlebih yang termasuk dalam kelompok teman dekat memiliki makna sangat nyata. Perasaan takut dijauhi teman dan, pada saat yang sama, kebutuhan untuk memiliki jati diri tertentu sebagai simbol eksklusif pertemanan mewarnai tindak-tanduk remaja dalam keseharian mereka. Pengaruh besar tersebut juga berlangsung dalam fenomena remaja yang berperilaku menyimpang dan berperilaku jahat.
Alhasil, dalam kejadian di Bengkulu, tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku yang masih berusia remaja (anak-anak) ikut-ikutan mengonsumsi minuman keras karena ada tekanan dari sesama remaja maupun dari para pelaku dewasa yang termasuk dalam lingkaran pertemanan tersebut.
Apabila itu yang terjadi, para tersangka berusia remaja (anak-anak) tersebut sesungguhnya merupakan korban. Karena anak-anak belum memasuki usia kehendak (age of consent), satu-satunya asumsi yang bisa ditegakkan dalam kasus Bengkulu adalah aksi minum minuman keras hingga mabuk dilakukan para tersangka remaja (anak-anak) karena ada tekanan atau paksaan dari tersangka-tersangka lain serta tanpa seizin orang tua anak-anak tersebut.
Itulah yang membedakan antara tersangka dewasa dan tersangka remaja (anak-anak) dalam kasus Bengkulu kendati mereka terlibat pada seluruh tahapan kejadian yang sama. Sejak awal, yakni pada aksi mabuk-mabukan, para tersangka dewasa sudah berstatus sebagai tersangka pelaku kejahatan.
Sedangkan pada tersangka remaja (anak-anak), keterlibatan mereka dalam peristiwa itu bermula dari status mereka selaku korban kejahatan, yaitu sebagai orang yang meminum minuman keras karena di bawah tekanan tersangka lain.
Walau secara hukum belum memasuki age of consent, terhadap tersangka remaja (anak-anak) itu tetap perlu diperiksa kondisi kesadaran mereka saat melakukan aksi jahat berikutnya. Seandainya mereka juga memerkosa dalam keadaan sadar, proses pemidanaan sesuai UU Peradilan Anak tetap harus dijalankan.
Sebaliknya, ketika kekejian itu mereka tampilkan dalam keadaan mabuk berat sehingga bahkan secara kognitif mereka sendiri pun benar-benar tidak tahu dan tidak memahami apa yang mereka lakukan (bahkan mungkin tidak dapat mengingat perbuatan mereka), ini kian menggenapkan status mereka selaku individu tanpa age of consent .
Tinggal lagi proses rehabilitasi perlu diselenggarakan guna mencegah mereka masuk dalam situasi serupa di waktu lain. Wallahualam.
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne, Berkhidmat di Komisi Nasional Perlindungan Anak
"SESUNGGUHNYA setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar... maka berhentilah kamu (dari perbuatan itu)" (Al Maidah: 91).
Apa pun alibi para pelaku, bulat sempurna ekspektasi publik: belasan manusia keji yang telah menjahati Y, gadis cilik berumur 14 tahun, di Dusun 5, Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Bengkulu, harus dihukum seberat-beratnya.
Terhadap para tersangka hampir bisa dipastikan akan dikenakan pasal berlapis, yakni mengonsumsi minuman keras di tempat umum, memerkosa, dan menghilangkan nyawa manusia.
Sepintas lalu, tiga pasal pidana tersebut berkelindan sedemikian rupa melipatgandakan kemungkinan penjatuhan hukuman maksimal bagi seluruh tersangka.
Misalnya, hukuman bagi tersangka dianggap harus diperberat karena, selain memerkosa korban, pelaku juga menenggak minuman keras. Namun, boleh jadi persoalannya tidak sesederhana itu, khususnya bagi para tersangka yang masih berada pada usia kanak-kanak (remaja).
Tambahan lagi karena ada pernyataan-pernyataan kontradiktif antara kapolres dan kapolsek, sebagaimana dimuat pada laman daring http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2016/04/11/12-pembunuh-siswi-smp-diringkus/.
Niat Memerkosa
Secara klasik, setiap perilaku kejahatan diyakini didahului oleh pemunculan niat jahat. Masalahnya, dalam kasus Bengkulu, kapan sesungguhnya para tersangka berniat memerkosa korban?
Apabila mens rea baru muncul setelah mereka berada dalam kondisi mabuk, mabuk sebagai penyebab lumpuhnya mental tersangka dapat diajukan sebagai pembelaan diri.
Sebaliknya, manakala mens rea untuk memerkosa sudah timbul saat tersangka masih sadar (sejak sebelum aksi mabuk-mabukan dilakukan), mabuk tidak bisa dipakai sebagai alibi dan justru merupakan katalis bagi tindak perkosaan.
Kapolres Rejang Lebong mengatakan, para tersangka membunuh korban setelah memerkosanya beramai-ramai dengan cara menjatuhkannya ke dalam jurang dengan kondisi dua tangan terikat. Jika itu yang terjadi, terpenuhi kriteria bahwa Y adalah korban pembunuhan (murder ).
Kapolsek Padang Ulak Tanding punya versi lain. Menurutnya, berdasarkan hasil visum dokter, korban sudah meninggal saat perkosaan itu masih berlangsung. Atas dasar itu, Y tampaknya bukan korban pembunuhan. Lebih tepat apabila ia dipandang sebagai korban penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia (manslaughter).
Mens rea (niat, intent ) dibedakan atas niat spesifik (specific intent) dan niat umum (general intent). Begitu juga di negara-negara yang memberlakukan pengaturan ketat terhadap minuman keras, hukum memerhatikan secara seksama keterkaitan antara tindak kriminalitas dan kondisi mabuk (intoxication) pelaku.
Pelaku pembunuhan di sejumlah yurisdiksi karena didahului specific intent dapat menggunakan kondisi mabuk sebagai alibi untuk meyakinkan hakim agar memberikan keringanan hukuman. Sebaliknya, pelaku penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya manusia, karena merupakan manifestasi general intent , tidak diperbolehkan berdalih mabuk untuk maksud serupa.
Demikian pula dalam kasus perkosaan; ketika mabuk menurunkan kapasitas mental yang ditandai hilangnya kesadaran tentang apa yang tengah dilakukannya, itu tetap bukan pemakluman yang membebaskan si pemerkosa dari tanggung jawab meski memungkinkannya untuk mendapat peringanan sanksi.
Ketentuan di atas kontras dengan keputusan kontroversial Mahkamah Agung Kanada pada 1994. Dalam perkara R melawan Daviault, mayoritas hakim agung berpendapat bahwa merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi apabila seseorang didakwa melakukan serangan seksual manakala ia dalam kondisi sangat mabuk sehingga tidak menyadari dan/atau kehilangan kontrol atas perilakunya sendiri. Aturan main tersebut berlaku bagi terdakwa yang berusia dewasa.
Tersangka Remaja
Undang-undang (UU) Perlindungan Anak mencantumkan batasan usia anak yakni sejak individu berada di dalam kandungan hingga sebelum berumur delapan belas tahun.
Karena beberapa tersangka masih berusia remaja (kanak-kanak), bagaimana kondisi mabuk tersebut berimplikasi terhadap pertanggungjawaban mereka secara hukum? Jawabannya lebih mendasar daripada sebatas bisa atau tidak kondisi di bawah pengaruh minuman keras digunakan sebagai unsur peringan hukuman.
Bagi remaja, kehadiran teman sebaya dan terlebih yang termasuk dalam kelompok teman dekat memiliki makna sangat nyata. Perasaan takut dijauhi teman dan, pada saat yang sama, kebutuhan untuk memiliki jati diri tertentu sebagai simbol eksklusif pertemanan mewarnai tindak-tanduk remaja dalam keseharian mereka. Pengaruh besar tersebut juga berlangsung dalam fenomena remaja yang berperilaku menyimpang dan berperilaku jahat.
Alhasil, dalam kejadian di Bengkulu, tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku yang masih berusia remaja (anak-anak) ikut-ikutan mengonsumsi minuman keras karena ada tekanan dari sesama remaja maupun dari para pelaku dewasa yang termasuk dalam lingkaran pertemanan tersebut.
Apabila itu yang terjadi, para tersangka berusia remaja (anak-anak) tersebut sesungguhnya merupakan korban. Karena anak-anak belum memasuki usia kehendak (age of consent), satu-satunya asumsi yang bisa ditegakkan dalam kasus Bengkulu adalah aksi minum minuman keras hingga mabuk dilakukan para tersangka remaja (anak-anak) karena ada tekanan atau paksaan dari tersangka-tersangka lain serta tanpa seizin orang tua anak-anak tersebut.
Itulah yang membedakan antara tersangka dewasa dan tersangka remaja (anak-anak) dalam kasus Bengkulu kendati mereka terlibat pada seluruh tahapan kejadian yang sama. Sejak awal, yakni pada aksi mabuk-mabukan, para tersangka dewasa sudah berstatus sebagai tersangka pelaku kejahatan.
Sedangkan pada tersangka remaja (anak-anak), keterlibatan mereka dalam peristiwa itu bermula dari status mereka selaku korban kejahatan, yaitu sebagai orang yang meminum minuman keras karena di bawah tekanan tersangka lain.
Walau secara hukum belum memasuki age of consent, terhadap tersangka remaja (anak-anak) itu tetap perlu diperiksa kondisi kesadaran mereka saat melakukan aksi jahat berikutnya. Seandainya mereka juga memerkosa dalam keadaan sadar, proses pemidanaan sesuai UU Peradilan Anak tetap harus dijalankan.
Sebaliknya, ketika kekejian itu mereka tampilkan dalam keadaan mabuk berat sehingga bahkan secara kognitif mereka sendiri pun benar-benar tidak tahu dan tidak memahami apa yang mereka lakukan (bahkan mungkin tidak dapat mengingat perbuatan mereka), ini kian menggenapkan status mereka selaku individu tanpa age of consent .
Tinggal lagi proses rehabilitasi perlu diselenggarakan guna mencegah mereka masuk dalam situasi serupa di waktu lain. Wallahualam.
(maf)