Reshuffle Kabinet

Rabu, 20 April 2016 - 16:01 WIB
Reshuffle Kabinet
Reshuffle Kabinet
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad

RESHUFFLE (perombakan) kabinet kembali terdengar santer. Sejumlah menteri direncanakan akan digeser, bahkan diberhentikan. Sejumlah partai politik (parpol) koalisi sudah gencar melakukan pendekatan ke Presiden dan Wakil Presiden. Namun, Presiden harus cermat dan cerdas menyikapinya agar kabinet tidak berisi tambal sulam menteri dan mengganggu pencapaian visi-misi Kabinet Kerja.

Pihak lain juga harus menempatkan fungsi menteri sebagai pembantu Presiden. Menempatkan loyalitasnya kepada Presiden harus menjadi prioritas ketimbang kepada kepentingan parpol yang disusupkan dalam jabatannya tersebut.

Menjadi benar jika pembantu haruslah profesional di bidangnya. Penentuannya tidak boleh berdasarkan bisikan kepentingan yang mengelilingi Presiden dan Wapres, namun berangkat dari kebutuhan untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian, para menteri menjadi fokus dalam pekerjaan yang ditugaskan dan tidak adu manis dengan menteri lain yang menimbulkan kegaduhan dalam kabinet. Boleh jadi langkah kabinet menjadi lamban dan menimbulkan kekecewaan publik.

Profesionalisme
Jika faktor koalisi masih tetap dipertahankan, kewajiban parpol menyodorkan kader yang profesional. Untuk itu, seleksi patut secara ketat dilakukan agar tidak memalukan parpol di mata publik. Bisa jadi fit and proper test pun dijalankan dengan menggunakan pihak ketiga yang mampu menyaring calon secara objektif. Bahkan mungkin seleksi kesehatan jiwa pun dilakukan untuk mendapatkan kepatutan jiwa calon yang dapat disodorkan kepada Presiden. Dengan demikian, spoil system dihindari, mengingat tugas yang dibebankan cukup besar untuk ditangani secara profesional.

Untuk memperoleh kader yang baik, pastilah kesepakatan elite parpol menjadi penting agar tidak saling rebutan kepentingan dalam menentukan calon menteri. Kompetensi teknis seperti Bowman (2010) patut dijaring lebih intensif agar dirinya diandalkan untuk mencapai tujuan dan strategi pencapaiannya.

Di samping itu, kompetensi ini juga dapat mengawal pelaksana di lapangan supaya tidak dijebak oleh prilaku asal bapak senang (ABS). Bila prilaku terakhir yang terjadi, seorang menteri akan merasa berhasil dengan mengeksploitasi bawahannya dan berbalik menyalahkan bawahannya jika program kerjanya gagal.
Kompetensi etika patut juga dimiliki seorang menteri agar tidak membuat gaduh kabinet. Sesama menteri akan saling menghargai tugas dan fungsinya masing-masing. Ketika ada persinggungan dalam pekerjaan, kehadiran menteri koordinator (menko) menjadi penting untuk mengoordinasikannya agar persinggungan tersebut tidak merebak menjadi perselisihan dan gontok-gontokan.

Bisa jadi persoalan etika menjadi penting untuk menghindari perlombaan mencari simpati dan perhatian dari Presiden atau Wapres. Bila hal itu terjadi, pekerjaannya akan terbengkalai sehingga bawahan tidak mendapatkan teladan yang baik dan kemudian berujung pada rapor merah dalam kinerjanya.

Kepemilikan kompetensi kepemimpinan (leadership) juga patut menjadi perhatian agar seorang menteri disukai bawahannya. Kompetensi ini dapat diwujudkan perhatiannya pada urusan human, di mana kebutuhan bawahan mendapat perhatian agar konsentrasi kerja dapat dibangun.

Moelyono (2004) menempatkan humor dan humble menjadi bagian penting. Dengan kemampuan tersebut, suasana kerja menjadi tambah bergairah karena menteri dapat menciptakan suasana segar dalam bekerja. Di samping itu, menteri juga senantiasa mendengarkan masukan dan kritikan bawahannya dengan rendah hati. Suasana ini dapat meningkatkan semangat kerja mengingat setiap bawahan level mana pun merasa didengar dan dihargai.

Dengan kekuatan yang dapat digalang secara internal, kinerja menteri akan semakin kokoh. Kekokohan kementerian pun memiliki nilai yang dapat dibanggakan untuk menjadi ciri kementeriannya dapat menjalankan tugas. Pantas jika kekokohan itu patut diikat dengan keberanian agar kinerja tetap cemerlang seperti Snyder (1994) tuliskan. Keberanian untuk menegakkan aturan yang dibuat Presiden sebagai atasannya menjadi penting dan sama urgennya dengan menjalankan tugas dan fungsinya yang telah digariskan.

Hal tersebut patut dibangun menteri dan ditularkan kepada bawahannya dalam menerima risiko yang ditimbulkan atas kebijakan yang diambilnya. Untuk itu, pemberian kewenangan teknis sesuai tugas menteri terkait menjadi penting. Karena itu, Nawacita yang Presiden buat diturunkan lebih teknis agar menjadi panduan menteri bekerja.

Perbedaan mungkin saja terjadi dalam menerjemahkan Nawacita yang dilakukan menteri. Untuk menekan perbedaan seperti itu, koordinasi yang dilakukan menko perlu terus dilakukan agar persinggungan tidak menimbulkan perselisihan antarmenteri.

Demikian hal dalam lingkup kementerian. Pengendalian menteri penting dilakukan intensif agar tidak terjadi beragam penafsiran atas tugas bawahan menteri sehingga memperlambat kinerja menteri. Meski berbagai upaya telah dilakukan secara intensif oleh Presiden/Wapres, masih saja ada kelambanan kinerja menteri. Bahkan ada menteri yang lebih loyal kepada parpolnya. Atas hal itu, menjadi kewenangan Presiden untuk menegur dan mempertimbangkan prilaku menteri tersebut.

Komunikator
Profesionalitas patut didukung dengan komunikasi. Transmisi, seperti Edward III (1980) tuliskan, menjadi penting secara struktural dijalankan dalam tubuh kementerian. Dengan cara seperti itu, pesan akan sampai hingga lini terbawah secara proporsional.

Persepsi yang beragam bisa disebabkan pola transmisi yang tidak andal serta transparansi yang tidak jelas. Untuk itu, menempatkan pejabat di bawahnya perlu menjadi penghantar komunikasi dengan aparat yang lebih bawah. Demikian hal dengan transparansi agar kejelasan apa yang harus dilakukan, kapan, dan oleh siapa menjadi penting supaya tidak ditafsirkan berbeda di berbagai lini.

Kondisi seperti itu mengganggu dan memperlambat kinerja organisasi secara keseluruhan. Dengan pola seperti itu, desentralisasi tugas bahkan menjadi penting sehingga beban tidak menumpuk di atas dan dapat dikerjakan secara cepat dan cerdas.

Konsistensi menjadi penting untuk dilakukan seorang menteri. Konteks ini berlaku agar apa yang telah dijadikan kebijakan tidak dilanggarnya kendati mendapat bisikan dari sejumlah pihak penting yang bermaksud merongrongnya. Dengan cara ini, wibawa menteri menjadi bersinar di kalangan bawahan serta koleganya. Sebab itu, mencari menteri yang konsisten menjadi penting agar diperoleh figur yang tahan banting dari berbagai tekanan yang datang silih berganti dan akan berujung perusakan kinerja kementerian secara keseluruhan.

Bisa jadi figur profesional dan konsisten menjadi penting dalam me-reshuffle menteri. Kerja keras Presiden pemilik otoritas patut dilakukan agar tidak lagi terjadi perombakan menteri sehingga mengganggu kinerja secara keseluruhan. Boleh jadi composure harus dimiliki dalam mengambil keputusan seperti Borsteins (1996) tuliskan. Dengan cara ini, penentuan menteri yang tepat bisa dilakukan tanpa dapat dirongrong oleh sejumlah pemilik kepentingan yang kelak akan merusak kinerjanya. Kehadiran kelompok independen menjadi penting untuk memberikan pertimbangan strategis dan teknis atas figur-figur yang akan disaring sebagai menteri.

Mungkin saja sejumlah parpol sudah mulai menyodorkan figur yang patut dipilih menjadi menteri. Namun, Presiden harus menelusuri pola seleksi di parpol agar tidak muncul calon yang tidak profesional dan tidak dapat konsisten dalam menjalankan tugasnya kelak.

Di samping itu, Presiden juga harus tetap composure menentukan pembantunya dalam persaingan antarparpol yang mencoba menyodorkan kadernya agar mendapat lirikan Presiden. Pastilah tidak mudah, tanpa dibantu komponen bangsa ini yang memiliki integritas terhadap negaranya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0818 seconds (0.1#10.140)