Melawan Kesenjangan Ekonomi
A
A
A
Berly Martawardaya
Dosen FEB-UI, Ekonom Indef, dan Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
SEJAK 2012 koefisien gini yang menyatakan kesenjangan ekonomi berada pada angka 0,41, jauh lebih tinggi dari tahun 1990 yang masih pada kisaran 0,3. Ini berarti terjadi kenaikan lebih dari sepertiga.
Lebih parah lagi, studi Bank Dunia (2015) menemukan bahwa pada periode 2001-2014 masyarakat yang merupakan 10% termiskin di Indonesia mengalami penurunan pendapatan sekitar 20%. Sementara 10% terkaya mengalami kenaikan pendapatan sekitar 60%, yang miskin menjadi kian miskin dan yang kaya makin kaya.
Kalau kita bandingkan dengan negara tetangga, secara nilai absolut kesenjangan di Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Filipina, dan Thailand. Namun, ketiga negara itu berhasil mengurangi kesenjangannya sejak dekade 1990-an. Indonesia dalam kategori yang sama dengan China, India, dan Laos, juga mengalami kenaikan kesenjangan di ASEAN pada periode yang sama.
Apakah kondisi ini normal? Pada 1955 Simon Kutznet memublikasikan temuannya yang masih diperdebatkan sampai sekarang tentang kesenjangan. Menurut Kutznet pada awal pembangunan dan ketika pendapatan per kapita masih rendah kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan naik maka kesenjangan naik, sampai pada satu titik di mana pendapatan naik tapi kesenjangan menurun.
Saat ini negara maju dan kaya seperti Swedia dan Norwegia memiliki tingkat kesenjangan lebih rendah dibanding Indonesia pada dekade 1990-an. Namun, apakah menurunnya kesenjangan sesuatu yang akan terjadi dengan sendirinya atau perlu ada kebijakan pemerintah secara eksplisit?
Kuasa 1%
Tahun-tahun muncul gejala menguatnya perhatian media, masyarakat, dan pembuat kebijakan pada kesenjangan ekonomi. Gerakan Occupy Wall Street dimulai tahun 2011 dengan slogan tajamnya "We are the 99%". Mereka secara efektif menunjukkan betapa 1% dari populasi menguasai sumber daya ekonomi secara sangat tidak proporsional.
Pada 2015 Oxfam (lembaga swadaya masyarakat terkemuka di Inggris), melakukan studi yang menemukan bahwa bila harta 62 orang terkaya di dunia dijumlahkan, maka masih lebih besar dibandingkan 50% kekayaan penduduk dunia. Sungguh timpang perekonomian global.
Thomas Piketty menulis karya besarnya pada 2013, Capital in the 21st Century , yang telah terjual 1,5 juta kopi. Argumen utama yang diajukan Piketty bahwa kesenjangan ekonomi adalah dampak dari kapitalisme yang hanya bisa dikurangi dengan kebijakan aktif negara. Apabila kesenjangan dibiarkan terus melebar, orang superkaya akan bisa memengaruhi kebijakan ekonomi untuk lebih menguntungkan kaum kaya dan demokrasi akan terancam.
Rumus yang diajukan Piketty adalah membandingkan pertumbuhan pendapatan dari berbagai bentuk kapital (bunga tabungan/obligasi, dividen saham, dan lain-lain) dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan dari gaji. Apabila yang pertama terus lebih tinggi daripada yang kedua, kesenjangan akan terus melebar.
Warren Buffet, salah satu orang terkaya dunia dengan aset USD66 miliar, menyatakan bahwa dirinya membayarkan pajak pada tingkat (tax rate) lebih rendah dari sekretarisnya. Karena pendapatannya berasal dari saham dan obligasi yang tingkat pajaknya lebih rendah dari gaji pegawai.
Melawan Kesenjangan
Ada mazhab ekonomi yang menyatakan bahwa masyarakat harus memilih apakah mendahulukan pertumbuhan ekonomi atau mengurangi kesenjangan. Namun, tidak sedikit studi yang menyatakan bahwa mengurangi kesenjangan juga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Jerman pada masa kepemimpinan Kanselir Biscmark secara sadar memberikan jaminan sosial dan memberikan pendidikan yang berkualitas pada warganya terlepas dari kemampuan ekonomi. Jerman menjadi negara yang tinggi produktivitas dan pendapatannya, sambil menjaga kesenjangan rendah. Strategi ini kemudian ditiru oleh beberapa negara.
Kondisi di Indonesia menghadapi kesenjangan tajam antara kota dan desa, khususnya di daerah terpencil, pegunungan, dan pulau kecil. Studi menemukan bahwa di kota terdapat 8% masyarakat yang sulit mengakses layanan kesehatan dan 7% untuk pendidikan. Namun, di perdesaan angkanya meloncat ke 41% dan 40%. Sangat jomplang.
Bayangkan bila kita tinggal di salah satu dari 2.519 desa terpencil yang belum tersambung listrik. Kelas di sekolah tanpa lampu dan anak kecil tidak bisa belajar di malam hari. Lantaran tanpa pompa air, banyak waktu akan dihabiskan untuk mengangkut air dari sungai terdekat yang belum tentu higienis.
Anak yang selama balita terjangkit penyakit infeksi akibat air tidak bersih terancam terganggu pertumbuhannya sehingga ketika dewasa sulit menjadi warga yang produktif. Saat ini proporsi anak di Indonesia yang terhambat pertumbuhannya lebih dari dua kali lipat Malaysia dan Thailand.
Bila tidak ada perubahan, kemiskinan itu diwariskan ke generasi berikutnya. Berkebalikan dengan itu, anak-anak di kota memiliki akses luas ke layanan pendidikan, kesehatan, dan internet sehingga lebih siap bersaing.
Mengurangi kesenjangan tidak bisa dipisahkan dari membangun desa sehingga lingkaran setan kemiskinan bisa diputus. Jangan lagi terulang anak dari keluarga miskin sering sakit karena kurang air bersih dan tidak bisa belajar dengan baik, serta tidak tinggi pendidikannya sehingga berpendapatan rendah.
Jaringan listrik yang saat ini masih hanya menjangkau 81,5% masyarakat menjadi sangat penting untuk menaikkan kesejahteraan dan kesempatan penduduk desa. Berikutnya adalah akses ke air bersih sehingga mengurangi kerentanan terhadap penyakit, khususnya bagi balita.
Diikuti berikutnya dengan akses terhadap pendidikan berkualitas sehingga bisa meningkatkan taraf hidup generasi mendatang. Keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk rakyat miskin perlu diprioritaskan, sehingga keluarganya tidak terbelit utang apabila suatu waktu sakit berat atau mengalami kecelakaan.
Program-program tersebut tidak murah dan tidak dapat ditutup hanya dari dana desa. Pemerintah perlu mengubah kebijakan di mana pendapatan dari simpanan bank, obligasi dan jual beli saham, serta jual beli tanah, dianggap sebagai pajak final dengan tarif yang lebih rendah dari pada tingkat pajak dari gaji sesuai saran Piketty dan Warren Buffet.
Mencapai pertumbuhan yang merata serta membalikkan kesenjangan dengan timpangnya posisi tawar rakyat miskin di Indonesia sungguh tidak mudah dan perlu waktu. Tapi pepatah mengatakan, runtuhnya negara karena diamnya orang-orang baik. Mumpung masih ada waktu, lawan!
Dosen FEB-UI, Ekonom Indef, dan Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
SEJAK 2012 koefisien gini yang menyatakan kesenjangan ekonomi berada pada angka 0,41, jauh lebih tinggi dari tahun 1990 yang masih pada kisaran 0,3. Ini berarti terjadi kenaikan lebih dari sepertiga.
Lebih parah lagi, studi Bank Dunia (2015) menemukan bahwa pada periode 2001-2014 masyarakat yang merupakan 10% termiskin di Indonesia mengalami penurunan pendapatan sekitar 20%. Sementara 10% terkaya mengalami kenaikan pendapatan sekitar 60%, yang miskin menjadi kian miskin dan yang kaya makin kaya.
Kalau kita bandingkan dengan negara tetangga, secara nilai absolut kesenjangan di Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Filipina, dan Thailand. Namun, ketiga negara itu berhasil mengurangi kesenjangannya sejak dekade 1990-an. Indonesia dalam kategori yang sama dengan China, India, dan Laos, juga mengalami kenaikan kesenjangan di ASEAN pada periode yang sama.
Apakah kondisi ini normal? Pada 1955 Simon Kutznet memublikasikan temuannya yang masih diperdebatkan sampai sekarang tentang kesenjangan. Menurut Kutznet pada awal pembangunan dan ketika pendapatan per kapita masih rendah kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan naik maka kesenjangan naik, sampai pada satu titik di mana pendapatan naik tapi kesenjangan menurun.
Saat ini negara maju dan kaya seperti Swedia dan Norwegia memiliki tingkat kesenjangan lebih rendah dibanding Indonesia pada dekade 1990-an. Namun, apakah menurunnya kesenjangan sesuatu yang akan terjadi dengan sendirinya atau perlu ada kebijakan pemerintah secara eksplisit?
Kuasa 1%
Tahun-tahun muncul gejala menguatnya perhatian media, masyarakat, dan pembuat kebijakan pada kesenjangan ekonomi. Gerakan Occupy Wall Street dimulai tahun 2011 dengan slogan tajamnya "We are the 99%". Mereka secara efektif menunjukkan betapa 1% dari populasi menguasai sumber daya ekonomi secara sangat tidak proporsional.
Pada 2015 Oxfam (lembaga swadaya masyarakat terkemuka di Inggris), melakukan studi yang menemukan bahwa bila harta 62 orang terkaya di dunia dijumlahkan, maka masih lebih besar dibandingkan 50% kekayaan penduduk dunia. Sungguh timpang perekonomian global.
Thomas Piketty menulis karya besarnya pada 2013, Capital in the 21st Century , yang telah terjual 1,5 juta kopi. Argumen utama yang diajukan Piketty bahwa kesenjangan ekonomi adalah dampak dari kapitalisme yang hanya bisa dikurangi dengan kebijakan aktif negara. Apabila kesenjangan dibiarkan terus melebar, orang superkaya akan bisa memengaruhi kebijakan ekonomi untuk lebih menguntungkan kaum kaya dan demokrasi akan terancam.
Rumus yang diajukan Piketty adalah membandingkan pertumbuhan pendapatan dari berbagai bentuk kapital (bunga tabungan/obligasi, dividen saham, dan lain-lain) dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan dari gaji. Apabila yang pertama terus lebih tinggi daripada yang kedua, kesenjangan akan terus melebar.
Warren Buffet, salah satu orang terkaya dunia dengan aset USD66 miliar, menyatakan bahwa dirinya membayarkan pajak pada tingkat (tax rate) lebih rendah dari sekretarisnya. Karena pendapatannya berasal dari saham dan obligasi yang tingkat pajaknya lebih rendah dari gaji pegawai.
Melawan Kesenjangan
Ada mazhab ekonomi yang menyatakan bahwa masyarakat harus memilih apakah mendahulukan pertumbuhan ekonomi atau mengurangi kesenjangan. Namun, tidak sedikit studi yang menyatakan bahwa mengurangi kesenjangan juga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Jerman pada masa kepemimpinan Kanselir Biscmark secara sadar memberikan jaminan sosial dan memberikan pendidikan yang berkualitas pada warganya terlepas dari kemampuan ekonomi. Jerman menjadi negara yang tinggi produktivitas dan pendapatannya, sambil menjaga kesenjangan rendah. Strategi ini kemudian ditiru oleh beberapa negara.
Kondisi di Indonesia menghadapi kesenjangan tajam antara kota dan desa, khususnya di daerah terpencil, pegunungan, dan pulau kecil. Studi menemukan bahwa di kota terdapat 8% masyarakat yang sulit mengakses layanan kesehatan dan 7% untuk pendidikan. Namun, di perdesaan angkanya meloncat ke 41% dan 40%. Sangat jomplang.
Bayangkan bila kita tinggal di salah satu dari 2.519 desa terpencil yang belum tersambung listrik. Kelas di sekolah tanpa lampu dan anak kecil tidak bisa belajar di malam hari. Lantaran tanpa pompa air, banyak waktu akan dihabiskan untuk mengangkut air dari sungai terdekat yang belum tentu higienis.
Anak yang selama balita terjangkit penyakit infeksi akibat air tidak bersih terancam terganggu pertumbuhannya sehingga ketika dewasa sulit menjadi warga yang produktif. Saat ini proporsi anak di Indonesia yang terhambat pertumbuhannya lebih dari dua kali lipat Malaysia dan Thailand.
Bila tidak ada perubahan, kemiskinan itu diwariskan ke generasi berikutnya. Berkebalikan dengan itu, anak-anak di kota memiliki akses luas ke layanan pendidikan, kesehatan, dan internet sehingga lebih siap bersaing.
Mengurangi kesenjangan tidak bisa dipisahkan dari membangun desa sehingga lingkaran setan kemiskinan bisa diputus. Jangan lagi terulang anak dari keluarga miskin sering sakit karena kurang air bersih dan tidak bisa belajar dengan baik, serta tidak tinggi pendidikannya sehingga berpendapatan rendah.
Jaringan listrik yang saat ini masih hanya menjangkau 81,5% masyarakat menjadi sangat penting untuk menaikkan kesejahteraan dan kesempatan penduduk desa. Berikutnya adalah akses ke air bersih sehingga mengurangi kerentanan terhadap penyakit, khususnya bagi balita.
Diikuti berikutnya dengan akses terhadap pendidikan berkualitas sehingga bisa meningkatkan taraf hidup generasi mendatang. Keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk rakyat miskin perlu diprioritaskan, sehingga keluarganya tidak terbelit utang apabila suatu waktu sakit berat atau mengalami kecelakaan.
Program-program tersebut tidak murah dan tidak dapat ditutup hanya dari dana desa. Pemerintah perlu mengubah kebijakan di mana pendapatan dari simpanan bank, obligasi dan jual beli saham, serta jual beli tanah, dianggap sebagai pajak final dengan tarif yang lebih rendah dari pada tingkat pajak dari gaji sesuai saran Piketty dan Warren Buffet.
Mencapai pertumbuhan yang merata serta membalikkan kesenjangan dengan timpangnya posisi tawar rakyat miskin di Indonesia sungguh tidak mudah dan perlu waktu. Tapi pepatah mengatakan, runtuhnya negara karena diamnya orang-orang baik. Mumpung masih ada waktu, lawan!
(poe)