Calon Perseorangan dan Independensi
A
A
A
Dr Mohammad Nasih MSi
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ
SEJAK 2015 keberadaan calon perseorangan menjadi semakin kuat. Hal itu karena calon perseorangan diakomodasi sebagai peserta pemilu kepala daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tujuan mengakomodasi keberadaan calon perseorangan dalam pilkada adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada siapa pun untuk menggunakan hak pilih.
Bukan hanya untuk memilih kepala daerah, tetapi juga untuk dipilih sebagai kepala daerah. Dengan kata lain, jalan bagi seseorang untuk bisa menjadi calon kepala daerah tidak lagi hanya melalui dukungan partai politik, melainkan juga bisa melalui dukungan rakyat secara langsung dengan besaran yang ditentukan oleh undang-undang (UU).
Biasanya calon perseorangan menjadikan posisinya sebagai calon perseorangan sebagai "bahan jualan". Calon perseorangan berusaha membangun pandangan masyarakat bahwa dengan ketiadaan dukungan partai politik, mereka tidak terikat komitmen dengan partai politik yang bisa mereduksi komitmen kepada rakyat.
Calon perseorangan seolah memiliki kesempatan untuk lebih meyakinkan bahwa jika terpilih menjadi kepala daerah, mereka akan benar-benar memperjuangkan rakyat. Entah karena sudah terdesain atau tidak, mungkin ada kaitan antara pembangunan image sebagai calon yang bebas dari partai politik tersebut dengan istilah calon independen.
Istilah ini membuat calon perseorangan seolah-olah benar-benar terbebas dari pihak mana pun. Calon yang didukung oleh partai politik akan membuat kepala daerah tersandera dalam membuat kebijakan-kebijakan politik. Terutama kebijakan yang terkait pembangunan daerah yang dapat memberikan kemakmuran kepada rakyat.
Sejatinya independensi seorang kepala daerah tidak melulu ditentukan oleh ada atau tidak dukungan partai politik. Independensi selama ini sering dipahami secara simplistis sebagai ketiadaan ketergantungan kepada pihak lain.
Makna hakiki independensi sesungguhnya kecenderungan atau keberpihakan kepada kebenaran. Karena itu, jika pihak lain yang mendukung justru terus memberikan dukungan agar orang yang didukung melakukan tindakan-tindakan yang benar dan berpihak kepada kebenaran, termasuk kebenaran yang berasal dari-dan berkaitan dengan rakyat, dukungan tersebut justru akan memperkuat independensi.
Singkatnya, independensi adalah sikap konsistensi untuk melakukan dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dalam konteks kepemimpinan, independensi bisa dipahami sebagai sikap yang menghasilkan kebijakan yang benar serta tidak menyelewengkan kekuasaan.
Jika independensi diartikan sebagai kebebasan dari pihak lain yang memengaruhi kebijakan politik kepala daerah, belum tentu juga seorang kepala daerah yang saat maju mencalonkan diri merupakan calon perseorangan adalah orang yang independen. Bahkan bisa jadi saat maju sebagai calon kepala daerah, yang bersangkutan didukung oleh para pihak yang memiliki berbagai kepentingan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada pilkada yang benar-benar bebas dari para bebotoh (penjahat/bajingan).
Dalam era politik yang kian liberal, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa biaya untuk maju sebagai calon apa pun, termasuk kepala daerah, biaya yang diperlukan tidaklah kecil. Berdasarkan penyelenggaraan pilkada yang telah terjadi, untuk ukuran daerah yang tidak terlalu besar, biaya yang diperlukan untuk pasangan calon yang maju berkisar belasan miliar.
Karena itu, bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang pun calon kepala daerah yang membiayai pencalonannya sendiri. Dipastikan ada pihak-pihak lain yang menjadi pendukung pembiayaan untuk pencalonan sebagai kepala daerah.
Inilah yang menjadi celah para bebotoh masuk dengan berbagai tujuan. Termasuk tujuan agar ketika calon yang mereka dukung menang dalam pilkada, mereka bisa mendapatkan bagian keuntungan material dengan terlibat dalam pelaksanaan berbagai proyek pemerintah daerah sebab pada era otonomi daerah, kepala daerah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengelola daerah.
Kewenangan yang besar itulah yang biasanya digunakan untuk mengatur pembagian kue sumber daya daerah. Itu sangat memungkinkan karena dalam pengelolaan daerah ada banyak pihak di luar pemerintahan yang harus dilibatkan. Tidak mungkin pemerintah daerah sendiri yang mengerjakannya.
Untuk mengoptimalkan pembangunan daerah, diperlukan pihak-pihak di luar struktur pemerintahan untuk turut serta. Namun, tidak sedikit pula orang yang mau berkorban memberikan dukungan finansial karena semata-mata ingin membantu kemenangan pasangan calon yang dianggap memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi untuk memajukan daerah.
Dalam konteks masuknya para bebotoh dengan niat buruk itulah penyelewengan kekuasaan oleh para kepala daerah biasanya terjadi. Lelang proyek misalnya diatur sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang dulunya berkontribusi dalam pemenangan pilkada bisa menang.
Di sinilah kongkalikong terjadi antara kepala daerah dan para bebotoh dalam pilkada. Karena itu, sesungguhnya yang terjadi adalah perpindahan ketergantungan kepala daerah yang sebelumnya kepada partai politik dengan institusi yang jelas, kepada pihak-pihak yang tidak tampak di permukaan.
Mereka tidak memiliki kontribusi sama sekali dalam pembangunan kehidupan politik di daerah. Tujuan mereka memang bukan itu, melainkan sekadar agar bisa memenangkan para calon yang bisa mengakomodasi kepentingan mereka untuk mendapatkan keuntungan material.
Posisi sebagai calon perseorangan juga bisa dijadikan sebagai kamuflase belaka untuk memunculkan image positif. Padahal, sesungguhnya tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lain yang berkontribusi dalam pilkada dengan harapan bisa ikut mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan sendiri.
Bahkan sudah menjadi rahasia umum juga bahwa satu bebotoh bisa berkontribusi kepada semua calon yang maju, baik calon perseorangan maupun dari partai politik. Tentu dengan tujuan agar siapa pun yang menang, bebotoh tersebut tetap mendapatkan kesempatan untuk bermain.
Karena itu, masyarakat sebaiknya tidak menjadi latah menilai bahwa calon perseorangan adalah calon yang benar-benar steril dari berbagai kepentingan yang bisa mengganggu komitmen kepala daerah kepada rakyat. Bahkan dengan tanpa dukungan partai politik yang memiliki kekuatan politik penyeimbang di lembaga legislatif, kepala daerah bisa mengalami kesulitan untuk kelancaran program yang telah dicanangkan.
Bisa saja program itu tidak mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Tidak bisa pula latah menilai bahwa sikap atau kebijakan politik yang tidak menyetujui kebijakan politik kepala daerah kemudian dianggap sebagai sikap politik yang tidak prorakyat. Wallahualam.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ
SEJAK 2015 keberadaan calon perseorangan menjadi semakin kuat. Hal itu karena calon perseorangan diakomodasi sebagai peserta pemilu kepala daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tujuan mengakomodasi keberadaan calon perseorangan dalam pilkada adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada siapa pun untuk menggunakan hak pilih.
Bukan hanya untuk memilih kepala daerah, tetapi juga untuk dipilih sebagai kepala daerah. Dengan kata lain, jalan bagi seseorang untuk bisa menjadi calon kepala daerah tidak lagi hanya melalui dukungan partai politik, melainkan juga bisa melalui dukungan rakyat secara langsung dengan besaran yang ditentukan oleh undang-undang (UU).
Biasanya calon perseorangan menjadikan posisinya sebagai calon perseorangan sebagai "bahan jualan". Calon perseorangan berusaha membangun pandangan masyarakat bahwa dengan ketiadaan dukungan partai politik, mereka tidak terikat komitmen dengan partai politik yang bisa mereduksi komitmen kepada rakyat.
Calon perseorangan seolah memiliki kesempatan untuk lebih meyakinkan bahwa jika terpilih menjadi kepala daerah, mereka akan benar-benar memperjuangkan rakyat. Entah karena sudah terdesain atau tidak, mungkin ada kaitan antara pembangunan image sebagai calon yang bebas dari partai politik tersebut dengan istilah calon independen.
Istilah ini membuat calon perseorangan seolah-olah benar-benar terbebas dari pihak mana pun. Calon yang didukung oleh partai politik akan membuat kepala daerah tersandera dalam membuat kebijakan-kebijakan politik. Terutama kebijakan yang terkait pembangunan daerah yang dapat memberikan kemakmuran kepada rakyat.
Sejatinya independensi seorang kepala daerah tidak melulu ditentukan oleh ada atau tidak dukungan partai politik. Independensi selama ini sering dipahami secara simplistis sebagai ketiadaan ketergantungan kepada pihak lain.
Makna hakiki independensi sesungguhnya kecenderungan atau keberpihakan kepada kebenaran. Karena itu, jika pihak lain yang mendukung justru terus memberikan dukungan agar orang yang didukung melakukan tindakan-tindakan yang benar dan berpihak kepada kebenaran, termasuk kebenaran yang berasal dari-dan berkaitan dengan rakyat, dukungan tersebut justru akan memperkuat independensi.
Singkatnya, independensi adalah sikap konsistensi untuk melakukan dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dalam konteks kepemimpinan, independensi bisa dipahami sebagai sikap yang menghasilkan kebijakan yang benar serta tidak menyelewengkan kekuasaan.
Jika independensi diartikan sebagai kebebasan dari pihak lain yang memengaruhi kebijakan politik kepala daerah, belum tentu juga seorang kepala daerah yang saat maju mencalonkan diri merupakan calon perseorangan adalah orang yang independen. Bahkan bisa jadi saat maju sebagai calon kepala daerah, yang bersangkutan didukung oleh para pihak yang memiliki berbagai kepentingan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada pilkada yang benar-benar bebas dari para bebotoh (penjahat/bajingan).
Dalam era politik yang kian liberal, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa biaya untuk maju sebagai calon apa pun, termasuk kepala daerah, biaya yang diperlukan tidaklah kecil. Berdasarkan penyelenggaraan pilkada yang telah terjadi, untuk ukuran daerah yang tidak terlalu besar, biaya yang diperlukan untuk pasangan calon yang maju berkisar belasan miliar.
Karena itu, bisa dikatakan bahwa tidak ada seorang pun calon kepala daerah yang membiayai pencalonannya sendiri. Dipastikan ada pihak-pihak lain yang menjadi pendukung pembiayaan untuk pencalonan sebagai kepala daerah.
Inilah yang menjadi celah para bebotoh masuk dengan berbagai tujuan. Termasuk tujuan agar ketika calon yang mereka dukung menang dalam pilkada, mereka bisa mendapatkan bagian keuntungan material dengan terlibat dalam pelaksanaan berbagai proyek pemerintah daerah sebab pada era otonomi daerah, kepala daerah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengelola daerah.
Kewenangan yang besar itulah yang biasanya digunakan untuk mengatur pembagian kue sumber daya daerah. Itu sangat memungkinkan karena dalam pengelolaan daerah ada banyak pihak di luar pemerintahan yang harus dilibatkan. Tidak mungkin pemerintah daerah sendiri yang mengerjakannya.
Untuk mengoptimalkan pembangunan daerah, diperlukan pihak-pihak di luar struktur pemerintahan untuk turut serta. Namun, tidak sedikit pula orang yang mau berkorban memberikan dukungan finansial karena semata-mata ingin membantu kemenangan pasangan calon yang dianggap memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi untuk memajukan daerah.
Dalam konteks masuknya para bebotoh dengan niat buruk itulah penyelewengan kekuasaan oleh para kepala daerah biasanya terjadi. Lelang proyek misalnya diatur sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang dulunya berkontribusi dalam pemenangan pilkada bisa menang.
Di sinilah kongkalikong terjadi antara kepala daerah dan para bebotoh dalam pilkada. Karena itu, sesungguhnya yang terjadi adalah perpindahan ketergantungan kepala daerah yang sebelumnya kepada partai politik dengan institusi yang jelas, kepada pihak-pihak yang tidak tampak di permukaan.
Mereka tidak memiliki kontribusi sama sekali dalam pembangunan kehidupan politik di daerah. Tujuan mereka memang bukan itu, melainkan sekadar agar bisa memenangkan para calon yang bisa mengakomodasi kepentingan mereka untuk mendapatkan keuntungan material.
Posisi sebagai calon perseorangan juga bisa dijadikan sebagai kamuflase belaka untuk memunculkan image positif. Padahal, sesungguhnya tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lain yang berkontribusi dalam pilkada dengan harapan bisa ikut mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan sendiri.
Bahkan sudah menjadi rahasia umum juga bahwa satu bebotoh bisa berkontribusi kepada semua calon yang maju, baik calon perseorangan maupun dari partai politik. Tentu dengan tujuan agar siapa pun yang menang, bebotoh tersebut tetap mendapatkan kesempatan untuk bermain.
Karena itu, masyarakat sebaiknya tidak menjadi latah menilai bahwa calon perseorangan adalah calon yang benar-benar steril dari berbagai kepentingan yang bisa mengganggu komitmen kepala daerah kepada rakyat. Bahkan dengan tanpa dukungan partai politik yang memiliki kekuatan politik penyeimbang di lembaga legislatif, kepala daerah bisa mengalami kesulitan untuk kelancaran program yang telah dicanangkan.
Bisa saja program itu tidak mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Tidak bisa pula latah menilai bahwa sikap atau kebijakan politik yang tidak menyetujui kebijakan politik kepala daerah kemudian dianggap sebagai sikap politik yang tidak prorakyat. Wallahualam.
(poe)