Etika Sosial dalam Bercanda

Kamis, 31 Maret 2016 - 16:02 WIB
Etika Sosial dalam Bercanda
Etika Sosial dalam Bercanda
A A A
Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

DI BARAT, 1 April diperingati sebagai April Mop atau April Fools’ Day. Pada hari itu setiap orang diperbolehkan bercanda, bersenda-gurau dengan kebohongan, kepalsuan, atau penipuan kepada pihak lain tanpa bisa dipersalahkan. Aspek historis maupun orientasi April Mop itu sampai sekarang masih simpang-siur, muncul dalam berbagai versi, dan sulit dilacak benang merah kebenarannya. Ada versi Spanyol, versi Prancis, versi Perang Salib, dan versi Islam. Memercayai satu versi dan menolak versi lain memang boleh, tetapi dapat berkonsekuensi negatif, yakni perpecahan bangsa, etnik atau perang agama.

April Mop merupakan bagian dari tradisi Barat. Untuk Indonesia tradisi demikian tidak perlu ditiru. Jalinan antarsesama warga negara agar tetap terajut dalam keakraban dan kehangatan, terhubung dalam suasana aman, nyaman, dan tenteram perlu didasarkan pada nilai-nilai sosial-budaya yang bersumber pada Pancasila.

Dalam perspektif Pancasila, bercanda itu boleh, sehat, dan mengasyikkan bila dilakukan secara proporsional, empan papan, dan duga prayoga. Bercanda itu fitrah manusia sebagai homo luden, yakni makhluk sosial yang gemar bermain (bercanda). Akan tetapi, kalau bercanda sudah kebablasan, dipastikan hal itu akan menuai masalah, bahkan bisa fatal. Karenanya, perhatikan etika sosialnya dan berhati-hatilah, utamanya untuk tiga hal berikut ini.

Pertama, bercanda tentang ideologi. Seorang artis harus berhadapan dengan aparat penegak hukum gara-gara dilaporkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena candaanya di televisi telah kebablasan, menghina Pancasila. Pancasila itu way of life, perlu dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Semua komponen bangsa mempunyai tanggung jawab moral untuk mengamalkannya dalam setiap kesempatan. Dalam desain acara maupun aksi-perilaku, semua pihak yang terlibat dalam tayangan televisi semestinya disemangati pengamalan Pancasila. Kalau komitmen ideologi ini kuat, dipastikan tidak ada lagi artis keseleo lidah ketika menghibur pemirsa.

Kedua, bercanda tentang keselamatan jiwa. Pernah terjadi, seorang calon penumpang pesawat udara bercanda soal bom, saat akan masuk ruang tunggu, atau sudah berada di dalam pesawat. Soal bom itu masalah serius. Lebih-lebih di saat negara berada dalam darurat terorisme. Keselamatan jiwa dalam penerbangan atau bencana tidak boleh dimain-mainkan. Tiada ampun bagi pecanda yang nekat, terpaksa harus diproses secara hukum.

Ketiga, jangan bercanda soal keimanan. Dahulu kala, ada orang-orang yang gemar bercanda dengan olok-olok. Ketika berjumpa orang-orang beriman, mereka berkata: “Kami telah beriman.” Tapi ketika kembali ke kelompoknya (orang kafir), mereka berkata: “Tadi saya hanya berolok-olok.” Awas, candaan tentang keimanan begini akan dilaknat Allah SWT.

***
Ketiga contoh di atas merupakan pelajaran berharga dan selayaknya diingat oleh siapa pun. Supaya fitrah manusia sebagai homo luden dapat terekspresikan dengan baik, kita diseyogiakan secara arif-bijaksana belajar dari beberapa candaan ala Indonesia. Di Yogyakarta dikenal guyon pari kena, yakni metode penyampaian kritik sosial melalui humor (guyon) tapi santun sehingga pesan moralnya sampai (kena) pada sasaran tanpa menyakitkan dikarenakan rasa hormat kepada sasaran terjaga.

Kritik sosial disampaikan dalam bingkai etika sosial, terangkum dalam ungkapan, kena iwake ning ora bhutek banyune, artinya didapat ikannya, tetapi airnya tidak keruh. Di situlah nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab terejawantahkan dalam pergaulan. Contoh klasik guyon pari kena gaya Yogya adalah "mung seket njaluk slamet", artinya hanya uang lima puluh rupiah, tetapi minta dijamin keselamatannya.

Candaan semacam ini diutarakan oleh tukang becak sebagai representasi wong cilik terhadap penumpang becak (orang kaya) yang pelit. Ketika dalam perjalanan becak menabrak (kecelakaan) dan penumpang marah, protes atas jaminan keselamatannya, maka candaan itulah yang keluar dari mulut tukang becak. Candaan demikian mestinya mengusik hati-sanubari orang kaya, pejabat, dan golongan ningrat agar peduli terhadap keselamatan lalu-lintas dan nasib kaum duafa.

Di tingkat nasional, Gur Dur tergolong manusia langka, piawai perihal candaan berkualitas. Ceritanya: ada tukang becak asal Madura kepergok polisi ketika memasuki kawasan "becak dilarang masuk". Tukang becak nyelonong dan polisi datang menyemprit. "Apa kamu tidak melihat gambar itu? Becak tak boleh masuk jalan ini," kata polisi membentak. "Oh saya lihat Pak, tapi itu kan gambarnya becak kosong tidak ada orangnya. Becak saya kan ada orangnya, berarti boleh masuk," jawab tukang becak. "Bodoh, apa kamu tidak bisa baca? Di bawah gambar kan ada tulisan becak dilarang masuk!" bentak pak polisi lagi. "Tidak Pak, saya tidak bisa baca. Kalau saya bisa baca ya saya pasti jadi polisi seperti sampeyan, bukan jadi tukang becak begini," jawab tukang becak cengengesan.

Dengan candaan itu kita disadarkan bahwa adagium "semua orang dianggap tahu hukum dan dapat baca tulis" ternyata secara sosiologis salah atau disikapi dengan licik sehingga dapat menimbulkan permasalahan hukum. Kritik semacam ini sehat dan mestinya diperhatikan pihak yang terkait.

Bercanda merupakan kebutuhan spiritual manusia untuk mencerahkan kehidupan bersama. Bagaimana mungkin perang dapat diubah menjadi damai bila hidup tanpa canda-tawa, senda-gurau, dan kasih-sayang. Mari, kita kembangkan budaya guyon pari kena dan canda gaya Indonesia sekaligus kita singkirkan tradisi April Mop dari negeri Pancasila ini. Wallahu a’lam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3607 seconds (0.1#10.140)