Pungli Hierarkis

Rabu, 16 Maret 2016 - 15:59 WIB
Pungli Hierarkis
Pungli Hierarkis
A A A
Prof Amzulian Rifai, PhD
Ketua Ombudsman Republik Indonesia

PUNGLI itu singkatan dari pungutan liar. Mungkin saja saking akrabnya istilah ini di telinga, yang seakan telah didengar seumur-umur, sebagian kita tidak ingat lagi singkatan dari apa kata yang populer tersebut. Nekat juga saya jika berani menyatakan ”berani bertaruh” bahwa praktik pungli di masyarakat kita hampir merata dalam banyak aspek kehidupan. Hanya soal besarannya dan keterselubungannya saja yang mungkin membedakan.

Memang terkadang agak susah juga membedakan antara pungli dengan pemberian tips, ungkapan terima kasih sebagai kontra prestasi yang dikategorikan sebagai jasa. Di antara kota-kota di dunia menuntut para pengguna jasa untuk memberikan sejumlah tips. Oleh karena itu, malah terjadi pemberi jasa tanpa sungkan ”terang-terangan” meminta uang tips itu karena memandang sebagai haknya.

Jika ingatan saya bagus, New York, AS adalah salah satu kota di dunia yang terang-terangan mengingatkan tamunya atas tradisi tips untuk setiap jasa yang diberikan. Jangan heran apabila seorang petugas hotel yang hanya membuka-tutup pintu mobil tamu, tangannya penuh uang kertas pecahan satu dolar. Namun banyak juga uang tips itu jika seharian berdiri, silakan menebak sendiri total hasilnya.

Suatu waktu saya mampir ke restoran menikmati American Grill yang terkenal itu. Sederhananya restoran itu menyajikan daging bakar (steak). Pelayannya seorang ibu paruh baya. Semula senang dan takjub juga atas keramahannya. Melayani dengan sangat baik dan ramah. Namun di penghujung menyantap hidangan, dia terang-terangan bercerita tentang aturan di New York yang mewajibkan pemberian tips. Termasuk tips kepadanya tentu saja. Walhasil saya terkena tips sekitar USD10.

Bagaimana dengan di Indonesia? Inilah yang terkadang menjadi soal. Pemberian tips tidak umum, tetapi justru melahirkan praktik pungli (pungutan liar) yang luar biasa. Pungli seakan-akan sudah menjadi bagian dari kultur sebagian (besar) masyarakat kita. Macam-macam saja ragam pungli tersebut, terutama ketika berurusan dengan birokrasi pemerintah. Walaupun apresiasi tetap kita berikan kepada penyelenggara negara dan pemerintahan yang terus berbenah.

Pelayanan publik di Indonesia paling banyak pungutan liarnya, kadang-kadang secara terang-terangan. Tengok saja di setiap terminal angkutan darat di banyak daerah. Menurut ketentuan semua kendaraan umum wajib masuk ke terminal. Namun faktanya, itu tidak terjadi. Biasanya sudah ada petugas yang berdiri di pinggir jalan memungut uang yang terkadang dilemparkan oleh sopir kendaraan umum.

Uang lemparan itu dianggap sebagai retribusi terminal. Jangan tanyakan tanda terimanya. Tentu saja sulit memastikan berapa sesungguhnya pemasukan negara dalam sehari dari pungutan yang dikategorikan sebagai retribusi terminal itu.

Siapa yang mengontrol pemasukannya? Bagaimana akuntabilitasnya? Paling utama, kendaraan umum tidak masuk ke terminal saja sudah menjadi soal. Patut dapat diduga, ada mekanisme pungutan ini secara sistematis dan hierarkis. Potongan dan setorannya juga berjenjang mulai dari lini terluar, sang tukang pungut. Sudah menjadi public knowledge jembatan timbang juga sejak lama ”terlibat” pungli hierarkis.

Pungli hierarkis juga kentara di bidang pertanahan. Di antara mereka yang pernah mengurus sertifikat tanah mungkin pernah mengalaminya. Oknum ketua RT mesti disogok jika ingin minta tanda tangan. Terkadang orang yang sama ”sekalian” minta tanda tangan lurah dan camat. Semua itu tidak dengan tangan kosong. Kemudian jika pemberkasan ingin segera, harus juga kasak-kusuk di kantor pertanahan. Cobalah mengikuti alur yang ada maka dijamin tidak terjamin prosesnya.

Setelah berkas awal selesai, maka ada berkas lagi sebagai dokumen yang bersifat final untuk mengajukan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional setempat. Harus ada tanda tangan lurah dan camat lagi. Saya mengalami langsung di Kota Palembang, ada lurah yang mematok ongkos tanda tangannya sejumlah jutaan rupiah, demikian juga dengan camatnya.

Dalam praktik birokrasi di Indonesia, pastilah pungli hierarkis itu terjadi di banyak institusi termasuk di institusi hukum. Ada suatu ungkapan yang mungkin saja salah, jika ingin menguruskan badan, diet yang paling ampuh adalah dengan terlibat masalah hukum. Berurusan dengan hukum maka dijamin (badannya) kurus.

Pungli hierarkis itu terjadi mulai dari urusan pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan hingga vonis. Konon penangguhan penahanan juga rentan dengan pungutan liar. Memang terkadang terselubung juga siapa yang terlibat. Namun selalu saja mereka yang terlibat menunjukkan adanya setoran berjenjang ”dari bawah hingga ke atas.” Hebatnya, semua tidak mengakuinya dan semuanya dengan lantang serta percaya diri meminta adanya bukti tertulis, jangan asal menuduh saja.

Tentu saja yang namanya ”pungutan liar” sudah pasti tidak disertai dengan tanda terima. Agaknya paham benar para penerima uang tak jelas itu. Hukum kita memang sangat legalistik yang mensyaratkan segala sesuatu itu dengan bukti-bukti tertulis. Kelemahan ini yang menjadi kekuatan para outlaws itu.

Pembiaran terhadap pungli juga semakin menjadi dalam masyarakat kita. Enteng saja mereka yang melakukan pungli kepada setiap pengendara yang memerlukan jasa agar lancar memutar, berbelok di tengah keramaian. Pungli ini menjadi biasa dan acceptable karena terjadi hubungan mutualisme antara pengendara dengan para ”polisi cepek” yang nyata-nyata ilegal tersebut.

Pungli di bidang perparkiran juga membuat kita mengurut dada. Di mayoritas kota di Indonesia ada pungutan uang parkir illegal, tanpa izin, tanpa tiket. Biasanya ada freeman sebagai backing-nya. Konon ada oknum secara hierarkis menerima setoran. Itu juga yang membuat praktik pungli ini rapi-jali dan lancar-lancar saja.

Pungli tidak hierarkis saja mestinya tidak boleh ada di negeri ini. Sementara negara lain pada tahapan penguasaan planet selain Bumi, topik kita masih soal pungli oleh oknum camat, lurah, bahkan oknum ketua RT. Academic guess saya, jika ada pungli hierarkis pastilah ada pula korupsi anarkis. Memang sulit juga melakukan korupsi sendirian, tanpa teman yang diajak bekerja sama (walau saya sungkan menggunakan istilah korupsi berjemaah).

Pungutan liar juga merefleksikan corak suatu masyarakat. Semakin tinggi praktik punglinya, semakin lemah pula wajah penegakan hukumnya. Sangat mungkin institusi hukumnya juga ”kacau balau” jauh dari profesionalisme sesungguhnya (di atas kertas dan pengakuan pejabatnya mungkin saja sebaliknya). Sudah pasti pula pelayanan publiknya di bawah standar negara maju. Starting point segalanya, ya itu tadi, pungli yang memang dilakukan secara berjenjang (hierarkis).
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0821 seconds (0.1#10.140)