Hentikan Dramatisasi Penguatan KPK

Rabu, 02 Maret 2016 - 14:51 WIB
Hentikan Dramatisasi...
Hentikan Dramatisasi Penguatan KPK
A A A
Andreas Lako
Guru Besar Akuntansi, Kepala LPPM
Unika Soegijapranata Semarang

KESEPAKATAN antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR menunda sementara waktu pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mengecewakan masyarakat luas meskipun diapresiasi sejumlah kalangan karena merupakan strategi win-win solution untuk ”save the face ” sejumlah pihak. Masyarakat luas sesungguhnya meminta Presiden Jokowi agar menggunakan kewenangannya untuk menghentikan atau menolak revisi UU KPK yang diusulkan DPR, bukan bersepakat dengan DPR menunda pembahasannya! Alasannya, revisi UU KPK yang sedang dilakukan DPR bermotif melemahkan KPK dan telah menimbulkan kegaduhan nasional.

Saya mencermati, kesepakatan Presiden Jokowi dan DPR tersebut sesungguhnya tidaklah mengejutkan. Kesepakatan tersebut sesungguhnya merupakan episode lanjutan dari skenario pementasan ”dramatisasi penguatan KPK” yang (mungkin) telah didesain oleh DPR dan pemerintahan Jokowi-JK dengan sejumlah fraksi di DPR. Tujuan akhirnya, bukanlah untuk menguatkan KPK, melainkan justru sebaliknya. Mengapa begitu?

Dramatisasi Penguatan KPK
Sumber pemicu polemik terkait revisi UU KPK berawal dari inisiasi pemerintahan Jokowi-JK. Meski telah diingatkan masyarakat luas agar pemerintah jangan mengajukan draf usulan revisi UU KPK ke DPR karena bisa menjadi bola liar yang melemahkan KPK dan menimbulkan kegaduhan politik, Presiden Jokowi tetap bersikeras melakukannya.

Alasannya, revisi tersebut bertujuan menguatkan KPK. Inisiasi tersebut ternyata direspons secara cepat oleh DPR. Fraksi-fraksi di DPR dari partai-partai pendukung pemerintahan maupun yang berkeinginan bergabung dengan pemerintahan sangat antusias menyambutnya. Mereka bahkan kemudian menambahkan sejumlah pasal baru dan juga menghilangkan sejumlah pasal atau ayat dalam draf revisi UU KPK yang diajukan pemerintah. Dalihnya, juga untuk semakin memperkuat posisi dan peran KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Meski publik menolak keras karena menilai usulan revisi tersebut justru malah semakin melemahkan KPK, DPR tetap bersikeras dengan revisi.

Drama penguatan KPK episode selanjutnya adalah munculnya penolakan revisi UU KPK dari para anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra dan kemudian disusul Fraksi Demokrat. Dua fraksi dari partai Koalisi Merah Putih (KMP) ini secara tegas menolak usulan revisi UU KPK karena menilai usulan revisi yang diajukan pemerintah maupun DPR justru sama-sama melemahkan KPK. Dua fraksi tersebut pun membela KPK dari segala upaya pelemahan. Padahal, sebelumnya mereka gencar mengkritik keras sepak terjang KPK. Meski dibuat bingung, publik mengapresiasi ”peran penyelamat” yang dimainkan anggota DPR dari dua fraksi tersebut.

Drama penguatan KPK pada episode berikutnya adalah tampilnya Presiden Jokowi sebagai pereda konflik dengan melakukan kesepakatan politik dengan DPR untuk menunda pembahasan revisi UU KPK. Peran ini telah dimainkan secara baik pada 22 Februari 2016. Dalam perspektif teori drama politik anggaran (Bryant, 2003), kesepakatan Presiden dan DPR tersebut bisa jadi merupakan extraordinary strategy untuk mengulur waktu. Sangat mungkin juga strategi tersebut terpaksa ditempuh karena begitu kuatnya konflik dan resistensi dari masyarakat luas terhadap skenario pelemahan KPK yang telah dipersiapkan.

Dalam teori konflik kepentingan keuangan (Lako, 2007), strategi ”gencatan senjata” tersebut bisa jadi memang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berpikir kembali secara jernih, lalu berkompromi. Namun, bisa juga sebaliknya, yaitu bertujuan untuk mengulur-ulur waktu untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang mulai terdesak posisinya untuk bisa menyusun kembali strategi dan kekuatan-kekuatan baru agar bisa kembali bertarung di arena konflik dan memenangkan pertarungan.

Apabila motif kedualah yang sesungguhnya melatarbelakangi terjadi kesepakatan antara Presiden Jokowi dan DPR pada 22 Februari lalu, kegaduhan politik nasional terkait revisi UU KPK dipastikan akan kembali terjadi dengan eskalasi yang semakin meningkat dan meluas. Inilah yang patut diwaspadai dan dicegah karena konsekuensi dan efek negatifnya akan sangat besar dan kompleks.

Hentikan Dramatisasi
Mencermati polemik pembahasan revisi UU KPK yang sedang terjadi di DPR dan kesepakatan antara Presiden dan DPR untuk menunda pembahasannya, saya berkesimpulan bahwa polemik tersebut sesungguhnya hanyalah suatu permainan ”sandiwara politik” yang sengaja dimainkan para pihak yang berkepentingan dengan skenario yang sudah jelas dirancang sang sutradara. Para pihak tersebut adalah Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla (pemerintah), fraksi-fraksi DPR pendukung revisi UU KPK, dan fraksi-fraksi DPR penolak revisi UU KPK. Sementara para pihak pendukung dan penolak revisi UU KPK yang ikut berpolemik bisa jadi telah diskenariokan untuk berperan sebagai pemeran pendamping. Masing-masing pihak diminta memainkan peran protagonis atau peran antagonis.

Apa tujuannya? Tujuannya, bukan untuk menghibur dan memuaskan hasrat publik agar posisi dan peran KPK semakin diperkuat dalam upaya pemberantasan korupsi yang sudah membudaya dan tersistematis. Tapi, tujuannya adalah untuk memuaskan hasrat dan keinginan mereka masing-masing. Hasrat mereka adalah untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi dari masing-masing pihak dalam jangka pendek, atau untuk meraih apresiasi dan dukungan politik dari masyarakat luas dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Masing-masing pemeran sesungguhnya telah mengalkulasi semua untung-rugi atau dampak positif-negatif yang bakal dihadapi sebelum tampil sebagai pemeran protagonis atau antagonis.

Menurut Bryant (2003), dalam permainan drama politik tersebut, masing-masing pihak akan memilih untuk memainkan peran sebagai pemeran kolaborasi atau pemeran konfrontasi. Masing-masing pihak tentu saja akan menghadapi dilema dan segala konsekuensinya. Bagi para pihak yang memilih memainkan peran konfrontasi, mereka berisiko menghadapi dilema ancaman, dilema penolakan, dilema positioning, dan dilema persuasif. Sebaliknya, kelompok yang memilih peran kolaborasi bakal menghadapi dilema kepercayaan, dilema kerja sama, dan juga dilema penolakan (Effendi, 2016).

Saya yakin, semua pihak yang sedang berperan dalam dramatisasi penguatan KPK akan menghadapi sejumlah dilema di atas yang justru bakal merugikan masing-masing pihak yang berkolaborasi atau berkonfrontasi. Harus juga disadari oleh para pihak yang sedang berdramatisasi bahwa saat ini masyarakat luas bukan bodoh dan tidak paham terhadap motif-motif terselubung (unspoken motives ) di balik permainan drama politik penguatan vs pelemahan KPK. Masyarakat sejatinya sangat paham! Dan, harus juga diingat, kesabaran masyarakat dalam menyaksikan ”dramatisasi penguatan KPK” ada batasnya. Jika kesabaran masyarakat telah mencapai titik nadir, mereka akan menghukum para pihak yang sedang berupaya melemahkan KPK.

Karena itu, saya sangat mengharapkan agar Presiden Jokowi, fraksi-fraksi di DPR dan para pihak berkepentingan segera menghentikan dramatisasi penguatan KPK agar tidak menimbulkan komplikasi masalah yang lebih serius lagi. Tidak ada manfaatnya memperpanjang lagi dramatisasi tersebut karena justru bisa menjadi bumerang buat masing-masing pihak.

Satu pelajaran penting yang patut dicamkan oleh semua pihak adalah selama berlangsungnya polemik revisi UU KPK, masyarakat luas ternyata bersikap tegas menolak revisi UU KPK. Masyarakat menginginkan agar KPK harus diperkuat posisi dan kewenangannya, bukan diperlemah! Setiap upaya memperlemah KPK pasti akan ditolak dan dilawan oleh rakyat! Maka, jangan coba-coba berupaya melemahkan KPK! *
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0714 seconds (0.1#10.140)