Memperebutkan DKI-1
A
A
A
DEDI PURWANA ES
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
BEBERAPA pekan terakhir media elektronik dan media cetak ramai menayangkan berita Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017. Berbagai survei elektabilitas -entah pesanan atau murni inisiatif lembaga survei- berlomba mempromosikan hasil jejak pendapat. Muncul wajah-wajah lama maupun baru selain tentu calon gubernur petahana.
Dari mantan pejabat, politikus, pengusaha, hingga penyanyi, mengklaim dirinya layak memimpin Ibu Kota. Meski belum satu pun secara resmi menyatakan maju dalam pilkada, genderang perang antarkandidat pun mulai ditabuh.
Partai politik mulai berlomba mengklaim dukungan secara terang-terangan maupun malu-malu. Bahkan ada yang belum bersikap sambil menunggu arah angin. Calon dari jalur independen pun mulai bermunculan. Mereka yang menjajal peruntungan melalui jalur independen mulai sibuk mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) warga sebagai persyaratan untuk maju.
Memimpin Jakarta tidaklah mudah. Jakarta bukanlah sekadar pusat pemerintahan, namun juga berfungsi sebagai pusat perdagangan, investasi, industri, pariwisata, hiburan, dan pusat segala aktivitas ekonomi lainnya. Kemajemukan masyarakat dan kekhasannya sebagai kota metropolitan menjadi tantangan tersendiri bagi siapa pun pemimpin yang terpilih nanti. Mulai persoalan gusur-menggusur, maraknya prostitusi dan perjudian, hingga urusan banjir serta kemacetan.
Bijak Memilih
Perhelatan Pilkada DKI Jakarta menjadi menarik karena warga dihadapkan pada pilihan untuk menentukan apakah bakal calon gubernur berasal dari jalur independen atau usungan partai politik. Bak buah simalakama, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Apa pun jalurnya, warga hanya ingin pemimpin yang bekerja untuk kepentingan mereka. Bukan sekadar piawai beretorika saat kampanye.
Calon gubernur dari jalur independen misalnya sejak reformasi bergulir belum ada dalam catatan sejarah yang berhasil memenangi pertarungan. Meski belum bisa dibuktikan, calon gubernur dari jalur independen manakala terpilih memiliki keleluasaan dalam memimpin daerah ini. Politik balas budi tentu tidak ada dalam setiap kebijakan yang akan diambilnya.
Kendati demikian, jalur independen tidak berarti bebas hambatan. Komunikasi politik dengan pihak legislatif seringkali tidak lancar. Tentu ini akan menghambat program kerja yang akan dijalankan.
Berbeda dengan jalur independen, saluran komunikasi politik dengan DPRD akan berjalan lancar bagi kandidat usungan partai politik. Namun, politik transaksional akan dihadapi kandidat tersebut. Ini tak terhindarkan karena memang biaya politik di Tanah Air sangat tinggi. Kandidat harus membayar mahar politik sebelum pinangan dijatuhkan. Jika pun kandidat terpilih, kebijakan-kebijakan sang kepala daerah terinterupsi kepentingan partai politik pendukungnya.
Meski dilematis, warga yang baik sejatinya tetap berpartisipasi aktif dalam pilkada. Tidak ikut memilih (golput) bukan pilihan yang bijak dalam alam demokrasi. Pilihan warga terhadap pemimpinnya menentukan arah pembangunan kota ini. Bijaklah memilih pemimpin daerah yang mampu memenuhi keinginan dan harapan warganya.
Harapan Warga
Semua yang maju untuk menjadi DKI-1 harus sadar beberapa tantangan yang dihadapi. Selain harus memiliki karakter pemimpin yang mumpuni, juga harus mampu menyelesaikan permasalahan klasik Jakarta sebagai kota metropolitan. Setidaknya persoalan-persoalan berikut mencerminkan harapan warga kepada siapa pun calon gubernur yang akan bertarung.
Pertama, mengatasi banjir. Banjir merupakan ritual tahunan kota ini. Menjamurnya gedung-gedung pencakar langit membuat ruang terbuka semakin sempit. Hutan beton tentu membuat daya serap air menjadi rendah. Penyempitan sungai akibat daerah aliran sungai (DAS) yang dihuni warga ikut memperparah banjir.
Karena itu, pembangunan waduk penampung air harus segera direalisasikan, baik dalam kota maupun luar kota selaku penyangga. Relokasi warga penghuni DAS harus terus-menerus diintensifkan. Tentu strategi relokasi sejatinya menerapkan dengan pendekatan kemanusiaan.
Kedua, mengatasi kemacetan. Kerugian ekonomi akibat kemacetan sungguh luar biasa. Waktu, emosi, dan biaya menjadi ukuran ekses dari kemacetan parah di Ibu Kota. Solusinya antara lain memperbanyak transportasi massal dan murah sehingga pengendara motor dan mobil pribadi mau beralih ke moda transportasi umum.
Penerapan biaya parkir tinggi dan penerapan electronic road pricing (ERP) menjadi alternatif solusi lainnya. Pembatasan usia kendaraan yang diizinkan memasuki pusat kota, juga dapat menekan kemacetan sekaligus mengurangi polusi udara yang semakin parah.
Ketiga, meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). IPM DKI Jakarta tertinggi di antara provinsi lainnya. Keunggulan komparatif kota ini terletak pada sumber daya manusianya. Pendidikan, kesehatan, dan perekonomian patut menjadi perhatian serius dalam upaya meningkatkan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Pemerintah provinsi sudah saatnya turut membantu peningkatan kualitas perguruan tinggi (PT) yang ada meski pembinaan PT bukan kewenangannya. Namun, perlu disadari, lulusan PT di Jakarta nanti pasti berkontribusi terhadap pembangunan daerah.
Selain pendidikan, dimensi kesehatan warga pun perlu mendapatkan perhatian serius. Layanan puskesmas di setiap kelurahan harus diperkuat sebagai upaya pemerataan hak mendapatkan jaminan kesehatan bagi warganya. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi harus terus-menerus ditingkatkan. Hak akses warga terhadap sumber daya ekonomi seyogianya juga dapat diperluas.
Keempat, meningkatkan kualitas layanan publik. Saat ini sebagian warga masih merasakan pelayanan publik di Jakarta lambat, berbelit-belit, dan korup. Pelayanan terpadu satu pintu harus direalisasikan dan bukan sekadar wacana. Information, communication, technology (ICT) harus dioptimalkan untuk membantu layanan publik.
Selain efisien, model layanan online ini dapat mencegah perilaku koruptif aparatur di lapangan. Layanan administrasi kependudukan, perizinan, hingga pembayaran pajak daerah sudah seharusnya dipermudah dan dipercepat, tentu dengan tetap menjaga kualitas.
Kelima, mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif. Penopang utama perekonomian daerah ini adalah industri jasa. Dengan luas wilayah yang sempit, tentu tidak mungkin mengandalkan industri manufaktur. Karena itu, ekonomi kreatif harus didorong, dan sektor pariwisata perlu dikembangkan. Kepala daerah terpilih harus mampu menjadikan Jakarta sebagai destinasi favorit wisatawan asing. Kekuatan infrastruktur ICT yang dimiliki sejatinya dijadikan modal menumbuhkembangkan industri kreatif.
Akhirnya, warga tidak peduli apakah calon gubernur di pilkada nanti berasal dari kalangan politikus, mantan pejabat publik, tokoh agama, akademisi, pengusaha, atau artis sekalipun. Mereka hanya berharap memiliki sosok DKI-1 yang visioner, jujur, amanah, humanis, dan mampu menyejahterakan warganya. Semoga.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
BEBERAPA pekan terakhir media elektronik dan media cetak ramai menayangkan berita Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017. Berbagai survei elektabilitas -entah pesanan atau murni inisiatif lembaga survei- berlomba mempromosikan hasil jejak pendapat. Muncul wajah-wajah lama maupun baru selain tentu calon gubernur petahana.
Dari mantan pejabat, politikus, pengusaha, hingga penyanyi, mengklaim dirinya layak memimpin Ibu Kota. Meski belum satu pun secara resmi menyatakan maju dalam pilkada, genderang perang antarkandidat pun mulai ditabuh.
Partai politik mulai berlomba mengklaim dukungan secara terang-terangan maupun malu-malu. Bahkan ada yang belum bersikap sambil menunggu arah angin. Calon dari jalur independen pun mulai bermunculan. Mereka yang menjajal peruntungan melalui jalur independen mulai sibuk mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) warga sebagai persyaratan untuk maju.
Memimpin Jakarta tidaklah mudah. Jakarta bukanlah sekadar pusat pemerintahan, namun juga berfungsi sebagai pusat perdagangan, investasi, industri, pariwisata, hiburan, dan pusat segala aktivitas ekonomi lainnya. Kemajemukan masyarakat dan kekhasannya sebagai kota metropolitan menjadi tantangan tersendiri bagi siapa pun pemimpin yang terpilih nanti. Mulai persoalan gusur-menggusur, maraknya prostitusi dan perjudian, hingga urusan banjir serta kemacetan.
Bijak Memilih
Perhelatan Pilkada DKI Jakarta menjadi menarik karena warga dihadapkan pada pilihan untuk menentukan apakah bakal calon gubernur berasal dari jalur independen atau usungan partai politik. Bak buah simalakama, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Apa pun jalurnya, warga hanya ingin pemimpin yang bekerja untuk kepentingan mereka. Bukan sekadar piawai beretorika saat kampanye.
Calon gubernur dari jalur independen misalnya sejak reformasi bergulir belum ada dalam catatan sejarah yang berhasil memenangi pertarungan. Meski belum bisa dibuktikan, calon gubernur dari jalur independen manakala terpilih memiliki keleluasaan dalam memimpin daerah ini. Politik balas budi tentu tidak ada dalam setiap kebijakan yang akan diambilnya.
Kendati demikian, jalur independen tidak berarti bebas hambatan. Komunikasi politik dengan pihak legislatif seringkali tidak lancar. Tentu ini akan menghambat program kerja yang akan dijalankan.
Berbeda dengan jalur independen, saluran komunikasi politik dengan DPRD akan berjalan lancar bagi kandidat usungan partai politik. Namun, politik transaksional akan dihadapi kandidat tersebut. Ini tak terhindarkan karena memang biaya politik di Tanah Air sangat tinggi. Kandidat harus membayar mahar politik sebelum pinangan dijatuhkan. Jika pun kandidat terpilih, kebijakan-kebijakan sang kepala daerah terinterupsi kepentingan partai politik pendukungnya.
Meski dilematis, warga yang baik sejatinya tetap berpartisipasi aktif dalam pilkada. Tidak ikut memilih (golput) bukan pilihan yang bijak dalam alam demokrasi. Pilihan warga terhadap pemimpinnya menentukan arah pembangunan kota ini. Bijaklah memilih pemimpin daerah yang mampu memenuhi keinginan dan harapan warganya.
Harapan Warga
Semua yang maju untuk menjadi DKI-1 harus sadar beberapa tantangan yang dihadapi. Selain harus memiliki karakter pemimpin yang mumpuni, juga harus mampu menyelesaikan permasalahan klasik Jakarta sebagai kota metropolitan. Setidaknya persoalan-persoalan berikut mencerminkan harapan warga kepada siapa pun calon gubernur yang akan bertarung.
Pertama, mengatasi banjir. Banjir merupakan ritual tahunan kota ini. Menjamurnya gedung-gedung pencakar langit membuat ruang terbuka semakin sempit. Hutan beton tentu membuat daya serap air menjadi rendah. Penyempitan sungai akibat daerah aliran sungai (DAS) yang dihuni warga ikut memperparah banjir.
Karena itu, pembangunan waduk penampung air harus segera direalisasikan, baik dalam kota maupun luar kota selaku penyangga. Relokasi warga penghuni DAS harus terus-menerus diintensifkan. Tentu strategi relokasi sejatinya menerapkan dengan pendekatan kemanusiaan.
Kedua, mengatasi kemacetan. Kerugian ekonomi akibat kemacetan sungguh luar biasa. Waktu, emosi, dan biaya menjadi ukuran ekses dari kemacetan parah di Ibu Kota. Solusinya antara lain memperbanyak transportasi massal dan murah sehingga pengendara motor dan mobil pribadi mau beralih ke moda transportasi umum.
Penerapan biaya parkir tinggi dan penerapan electronic road pricing (ERP) menjadi alternatif solusi lainnya. Pembatasan usia kendaraan yang diizinkan memasuki pusat kota, juga dapat menekan kemacetan sekaligus mengurangi polusi udara yang semakin parah.
Ketiga, meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). IPM DKI Jakarta tertinggi di antara provinsi lainnya. Keunggulan komparatif kota ini terletak pada sumber daya manusianya. Pendidikan, kesehatan, dan perekonomian patut menjadi perhatian serius dalam upaya meningkatkan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Pemerintah provinsi sudah saatnya turut membantu peningkatan kualitas perguruan tinggi (PT) yang ada meski pembinaan PT bukan kewenangannya. Namun, perlu disadari, lulusan PT di Jakarta nanti pasti berkontribusi terhadap pembangunan daerah.
Selain pendidikan, dimensi kesehatan warga pun perlu mendapatkan perhatian serius. Layanan puskesmas di setiap kelurahan harus diperkuat sebagai upaya pemerataan hak mendapatkan jaminan kesehatan bagi warganya. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi harus terus-menerus ditingkatkan. Hak akses warga terhadap sumber daya ekonomi seyogianya juga dapat diperluas.
Keempat, meningkatkan kualitas layanan publik. Saat ini sebagian warga masih merasakan pelayanan publik di Jakarta lambat, berbelit-belit, dan korup. Pelayanan terpadu satu pintu harus direalisasikan dan bukan sekadar wacana. Information, communication, technology (ICT) harus dioptimalkan untuk membantu layanan publik.
Selain efisien, model layanan online ini dapat mencegah perilaku koruptif aparatur di lapangan. Layanan administrasi kependudukan, perizinan, hingga pembayaran pajak daerah sudah seharusnya dipermudah dan dipercepat, tentu dengan tetap menjaga kualitas.
Kelima, mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif. Penopang utama perekonomian daerah ini adalah industri jasa. Dengan luas wilayah yang sempit, tentu tidak mungkin mengandalkan industri manufaktur. Karena itu, ekonomi kreatif harus didorong, dan sektor pariwisata perlu dikembangkan. Kepala daerah terpilih harus mampu menjadikan Jakarta sebagai destinasi favorit wisatawan asing. Kekuatan infrastruktur ICT yang dimiliki sejatinya dijadikan modal menumbuhkembangkan industri kreatif.
Akhirnya, warga tidak peduli apakah calon gubernur di pilkada nanti berasal dari kalangan politikus, mantan pejabat publik, tokoh agama, akademisi, pengusaha, atau artis sekalipun. Mereka hanya berharap memiliki sosok DKI-1 yang visioner, jujur, amanah, humanis, dan mampu menyejahterakan warganya. Semoga.
(hyk)