Daun Pintu Melayang
A
A
A
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) mungkin juga tahu, ketika krisis melanda akibat perekonomian memburuk, banyak warga desa terpaksa melihat daun pintu melayang. Artinya, mereka terpaksa menjual daun pintu rumahnya untuk makan. Dan jika daun pintu terpaksa dijual, berbagai benda lain di rumah mereka sudah habis terjual untuk makan.
Begitulah fenomena kemiskinan di negeri ini. Banyak rakyat terpaksa menjual apa saja yang bisa dijual agar bisa makan ketika sedang dilanda krisis berkepanjangan. Mereka yang jadi petani tidak bisa bertani karena sawah kekeringan tak bisa ditanami. Mereka yang jadi buruh pabrik sudah lama diliburkan karena pabrik nyaris bangkrut. Bahkan, karena terkena imbas kritis, mereka yang menjadi pekerja seks komersial pun tidak laku karena pelanggan juga sedang dilanda krisis pula.
Fenomena tersebut juga muncul menjelang Pak Harto lengser. Ketika pekik reformasi semakin merebak di berbagai kota dan nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot, diam-diam banyak rakyat di desa yang menjual daun pintu. Saat itu bisnis daun pintu dan berbagai benda lain yang terbuat dari kayu jati yang tergolong kuno pun merebak di mana-mana.
Bahkan, karena harganya cukup tinggi, banyak juga rakyat di desa yang menjual dipan, dingklik, luku, lesung, dan alu. Benda-benda yang terbuat dari kayu jati kuno tersebut kemudian menumpuk di gudang milik kolektor dalam negeri dan ada pula yang melayang ke luar negeri.
Sekarang, setelah Badan Pusat Statistik merilis kabar buruk tentang bertambahnya jumlah rakyat miskin, fenomena daun pintu melayang tampaknya kembali terjadi. Dalam hal ini, ketika jumlah rakyat miskin bertambah, rakyat yang semula miskin pasti semakin miskin.
Layak diingat, sebelum muncul kabar buruk tersebut, pernah ada kabar buruk lain tentang hilangnya sekian persen petani kita. Dan jika sekian persen petani hilang, artinya sekian persen sawah di seluruh pelosok negeri kita pasti mengalami alih fungsi lahan. Misalnya sawah disulap menjadi kompleks perumahan, pertokoan atau menjadi lahan tidur karena telah dibeli untuk investasi jangka panjang.
Paradoks
Namun, anehnya, ketika jumlah rakyat miskin bertambah dan sekian persen petani hilang, antrean jamaah calon haji semakin panjang. Paradoks tersebut bisa jadi menyimpan rahasia. Misalnya, bisa jadi sekian persen petani yang menjual sawahnya untuk biaya ibadah haji. Maklumlah, sekarang memang semakin banyak mubalig yang suka menyarankan petani-petani tua yang belum mampu beribadah haji untuk segera menjual sawah atau kebunnya untuk biaya haji. ”Sudah tua, cepatlah sawah atau kebun dijual agar rukun agama bisa disempurnakan. Jangan sampai keduluan menyandang gelar almarhum.”
Paradoks tersebut layak menjadi kajian serius. Jangan biarkan paradoks tersebut berkembang memasifkan krisis agar tidak semakin banyak daun pintu melayang ketika calon jamaah haji makin panjang dalam antrean. Jangan sampai program swasembada pangan hanya isapan jempol belaka karena sawah dan kebun terus menyusut dan jumlah petani terus berkurang.
Paradoks tersebut bisa jadi akan makin masif jika banyak mubalig terus menyarankan umat untuk berkali-kali ke Tanah Suci. Misalnya, ke Tanah Suci yang pertama untuk beribadah haji bagi diri sendiri, yang kedua dan ketiga bagi kedua orang tua yang dulu keduluan almarhum sebelum beribadah haji, yang keempat dan kelima bagi kakek dan neneknya yang dulu juga keduluan wafat sebelum beribadah haji.
Begitulah, dari daftar panjang calon haji, ternyata memang tidak sedikit yang sudah pernah haji tapi ingin menghajikan ayah, ibu, kakek, dan neneknya dengan menjual sawah sebagai ongkosnya. Mereka belum makmur atau kelebihan uang, melainkan justru semakin miskin karena harta pusaka warisan berupa sawah dan kebun harus dijual.
Dengan kata lain, mereka calon haji dan yang sudah berkali-kali haji untuk diri sendiri, ayah, ibu, kakek, dan neneknya dengan menjual sawah warisan yang seharusnya sebagai harta pusaka keluarga, mungkin, memang layak disebut sebagai rakyat yang semakin miskin. Jika jumlah mereka terus bertambah, wajar saja jika jumlah rakyat miskin di negeri ini juga bertambah.
Begitulah fenomena kemiskinan di negeri ini. Banyak rakyat terpaksa menjual apa saja yang bisa dijual agar bisa makan ketika sedang dilanda krisis berkepanjangan. Mereka yang jadi petani tidak bisa bertani karena sawah kekeringan tak bisa ditanami. Mereka yang jadi buruh pabrik sudah lama diliburkan karena pabrik nyaris bangkrut. Bahkan, karena terkena imbas kritis, mereka yang menjadi pekerja seks komersial pun tidak laku karena pelanggan juga sedang dilanda krisis pula.
Fenomena tersebut juga muncul menjelang Pak Harto lengser. Ketika pekik reformasi semakin merebak di berbagai kota dan nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot, diam-diam banyak rakyat di desa yang menjual daun pintu. Saat itu bisnis daun pintu dan berbagai benda lain yang terbuat dari kayu jati yang tergolong kuno pun merebak di mana-mana.
Bahkan, karena harganya cukup tinggi, banyak juga rakyat di desa yang menjual dipan, dingklik, luku, lesung, dan alu. Benda-benda yang terbuat dari kayu jati kuno tersebut kemudian menumpuk di gudang milik kolektor dalam negeri dan ada pula yang melayang ke luar negeri.
Sekarang, setelah Badan Pusat Statistik merilis kabar buruk tentang bertambahnya jumlah rakyat miskin, fenomena daun pintu melayang tampaknya kembali terjadi. Dalam hal ini, ketika jumlah rakyat miskin bertambah, rakyat yang semula miskin pasti semakin miskin.
Layak diingat, sebelum muncul kabar buruk tersebut, pernah ada kabar buruk lain tentang hilangnya sekian persen petani kita. Dan jika sekian persen petani hilang, artinya sekian persen sawah di seluruh pelosok negeri kita pasti mengalami alih fungsi lahan. Misalnya sawah disulap menjadi kompleks perumahan, pertokoan atau menjadi lahan tidur karena telah dibeli untuk investasi jangka panjang.
Paradoks
Namun, anehnya, ketika jumlah rakyat miskin bertambah dan sekian persen petani hilang, antrean jamaah calon haji semakin panjang. Paradoks tersebut bisa jadi menyimpan rahasia. Misalnya, bisa jadi sekian persen petani yang menjual sawahnya untuk biaya ibadah haji. Maklumlah, sekarang memang semakin banyak mubalig yang suka menyarankan petani-petani tua yang belum mampu beribadah haji untuk segera menjual sawah atau kebunnya untuk biaya haji. ”Sudah tua, cepatlah sawah atau kebun dijual agar rukun agama bisa disempurnakan. Jangan sampai keduluan menyandang gelar almarhum.”
Paradoks tersebut layak menjadi kajian serius. Jangan biarkan paradoks tersebut berkembang memasifkan krisis agar tidak semakin banyak daun pintu melayang ketika calon jamaah haji makin panjang dalam antrean. Jangan sampai program swasembada pangan hanya isapan jempol belaka karena sawah dan kebun terus menyusut dan jumlah petani terus berkurang.
Paradoks tersebut bisa jadi akan makin masif jika banyak mubalig terus menyarankan umat untuk berkali-kali ke Tanah Suci. Misalnya, ke Tanah Suci yang pertama untuk beribadah haji bagi diri sendiri, yang kedua dan ketiga bagi kedua orang tua yang dulu keduluan almarhum sebelum beribadah haji, yang keempat dan kelima bagi kakek dan neneknya yang dulu juga keduluan wafat sebelum beribadah haji.
Begitulah, dari daftar panjang calon haji, ternyata memang tidak sedikit yang sudah pernah haji tapi ingin menghajikan ayah, ibu, kakek, dan neneknya dengan menjual sawah sebagai ongkosnya. Mereka belum makmur atau kelebihan uang, melainkan justru semakin miskin karena harta pusaka warisan berupa sawah dan kebun harus dijual.
Dengan kata lain, mereka calon haji dan yang sudah berkali-kali haji untuk diri sendiri, ayah, ibu, kakek, dan neneknya dengan menjual sawah warisan yang seharusnya sebagai harta pusaka keluarga, mungkin, memang layak disebut sebagai rakyat yang semakin miskin. Jika jumlah mereka terus bertambah, wajar saja jika jumlah rakyat miskin di negeri ini juga bertambah.
(hyk)