Freeport di Panggung Konstitusi
A
A
A
PT Freeport Indonesia, sebuah badan hukum dalam pergaulan hukum perdata di Indonesia, kini menghebohkan dunia hukum, politik, dan ekonomi. Salah satu sumbernya adalah akan segera berakhirnya masa berlaku kontrak karya perusahaan ini, dan ada, nampaknya kehendak Freeport memperpanjangnya. James R Moffett, CEO Freeport McMoran, untuk kepentingan itu beberapa waktu lalu, terbang jauh dari Amerika ke Indonesia untuk bertemu dengan yang terhormat Bapak Presiden.
Kekeliruan
Menariknya, kehendak itu berlangsung di tengah kenyataan hukum yang berbeda. Perubahan lingkungan hukum, begitulah maksimnya, bermakna hukum berubahnya konsekuensi hukum. Sifat hak, begitu juga prosedur perolehan hak, termasuk syarat-syaratnya, tentu harus dipenuhi, dengan sendirinya telah berubah.
Pada saat Freeport memperoleh hak penambangan kekayaan alam di dalam bumi, yang di Papua itu, Pasal 33 UUD 1945, pasal yang dijadikan dasar pembentukan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, belum diubah. Berbeda dengan keadaan saat itu, saat ini Pasal 33 UUD 1945, telah diubah. Tetapi perubahan itu berbentuk addendum, suatu cara pengubahan yang lazim dalam hukum konstitusi Amerika.
Bentuk konkret perubahan pasal 33 itu adalah penambahan dua ayat baru; ayat 4 dan ayat 5. Hasil akhirnya adalah pasal 33 yang dahulu hanya tiga ayat, kini berubah menjadi 4 ayat. Ayat (1) sampai dengan ayat (3) pasal 33 UUD 1945, yang dahulu dijadikan dasar oleh pemerintah dan DPR membentuk UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, menariknya, tidak diubah.
Bukan izin usaha, melainkan konsep ”kontrak karya” yang digunakan pemerintah bersama DPR dan dituangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1967. Konsep itu, Kontrak Karya, menimbulkan akibat status pemerintah sebagai organ pengatur, berubah menjadi sekadar subyek hukum perdata, yang memiliki benda yang dapat digunakan oleh pihak lain menurut hukum kontrak.
Konsekuensinya, hal-ikhwal yang melahirkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, harus dirundingkan. Jangka waktu, royalti, dividen, tenaga kerja, bahan baku dalam negeri, dan lainnya yang lahir atau melekat dalam hak dan kewajiban kedua belah pihak, mau atau tidak, harus dijadikan isu dalam perundingan kedua belah pihak. Begitulah hukum pertambangan menurut UU Nomor 1 Tahun 1967.
Tidak Bisa Dirundingkan
Tetapi konsep itu, ”kontrak karya,” juga ”negosiasi dan renegosiasi” telah berlalu, menjadi sekadar kenangan, tentu hitam, karena inkonstitusional, kala ditilik dari sudut hukum konstitusi, setidaknya menurut Pasal 33 UUD 1945. Bukan semata perkara kedaulatan nasional, identitas nasional, atau kebanggaan nasional, yang menjadi sebab perubahan konsep itu harus didukung, tetapi lebih dari itu.
Menyepelekan konstitusi, harus diakui, tercatat dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa dalam bernegara, klasik maupun modern, adalah cara termudah mengundang, kalau bukan kematian, kehancuran, mungkin pelan-pelan bangsa itu. Berkonstitusi, memang bukan sekadar ”bertaat ria” pada huruf-huruf pasal dalam UUD dan UU yang dilahirkannya, tetapi mengenali, untuk kelak mengagungkannya, impian ideologis dari huruf dan ayat-ayat konstitusi.
Pemerintah, karena kapasitas dan status konstitusionalnya sebagai organ, satu-satunya, pemegang kewenangan mengatur, memunculkan, dengan sendirinya, serangkaian konsekuensi. Salah satunya, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah mengatur tata cara tentang kekayaan alam, yang karena sifat hukumnya, bukan kodrat alamiahnya sebagai sesuatu yang terlarang, untuk dapat diusahakan oleh pihak lain, siapa pun pihak lain itu.
Maknanya, kekayaan alam menurut terminologi Pasal 33 UUD 1945, bukan tak bisa diusahakan, melainkan dapat diusahakanuntuk, semata-mata memakmurkan rakyat. Pertalian antara kapasitas dan status pemerintah di satu sisi dengan tujuan mengusahakan kekayaan alam di sisi lain, yakni hanya untuk memakmurkan rakyat, memunculkan satu-satunya cara konstitusional sebagai sarananya, yaitu; Izindari pemerintah. Titik.
Bukan izin namanya, bila tak digantungkan pada serangkaian syarat, baik syarat yang menyebabkan muncul, lahir, timbulnya izin itu atau syarat yang mengakhiri izin itu. Mengizinkan bermakna hukum memberikan hak, yang sesuai sifatnya, sementara. Itulah hukum pertambangan yang berlaku saat ini. Hukum itulah yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, berikut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perusahaan, seperti diakui oleh Noam Chomsky, tentu yang berskala besar, selalu lebih berkuasa dibanding pemerintah. Tetapi hukum pertambangan Indonesia saat ini, jelas. Pemerintah tidak diberi kewenangan bernegosiasi, dengan, tentu bukan hanya Freeport, tetapi perusahaan lain, apa pun perusahaan itu, yang hendak mengusahakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. Menyalahi hukum, bila pemerintah bernegosiasi dengan Freeport.
Kekeliruan
Menariknya, kehendak itu berlangsung di tengah kenyataan hukum yang berbeda. Perubahan lingkungan hukum, begitulah maksimnya, bermakna hukum berubahnya konsekuensi hukum. Sifat hak, begitu juga prosedur perolehan hak, termasuk syarat-syaratnya, tentu harus dipenuhi, dengan sendirinya telah berubah.
Pada saat Freeport memperoleh hak penambangan kekayaan alam di dalam bumi, yang di Papua itu, Pasal 33 UUD 1945, pasal yang dijadikan dasar pembentukan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, belum diubah. Berbeda dengan keadaan saat itu, saat ini Pasal 33 UUD 1945, telah diubah. Tetapi perubahan itu berbentuk addendum, suatu cara pengubahan yang lazim dalam hukum konstitusi Amerika.
Bentuk konkret perubahan pasal 33 itu adalah penambahan dua ayat baru; ayat 4 dan ayat 5. Hasil akhirnya adalah pasal 33 yang dahulu hanya tiga ayat, kini berubah menjadi 4 ayat. Ayat (1) sampai dengan ayat (3) pasal 33 UUD 1945, yang dahulu dijadikan dasar oleh pemerintah dan DPR membentuk UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, menariknya, tidak diubah.
Bukan izin usaha, melainkan konsep ”kontrak karya” yang digunakan pemerintah bersama DPR dan dituangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1967. Konsep itu, Kontrak Karya, menimbulkan akibat status pemerintah sebagai organ pengatur, berubah menjadi sekadar subyek hukum perdata, yang memiliki benda yang dapat digunakan oleh pihak lain menurut hukum kontrak.
Konsekuensinya, hal-ikhwal yang melahirkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, harus dirundingkan. Jangka waktu, royalti, dividen, tenaga kerja, bahan baku dalam negeri, dan lainnya yang lahir atau melekat dalam hak dan kewajiban kedua belah pihak, mau atau tidak, harus dijadikan isu dalam perundingan kedua belah pihak. Begitulah hukum pertambangan menurut UU Nomor 1 Tahun 1967.
Tidak Bisa Dirundingkan
Tetapi konsep itu, ”kontrak karya,” juga ”negosiasi dan renegosiasi” telah berlalu, menjadi sekadar kenangan, tentu hitam, karena inkonstitusional, kala ditilik dari sudut hukum konstitusi, setidaknya menurut Pasal 33 UUD 1945. Bukan semata perkara kedaulatan nasional, identitas nasional, atau kebanggaan nasional, yang menjadi sebab perubahan konsep itu harus didukung, tetapi lebih dari itu.
Menyepelekan konstitusi, harus diakui, tercatat dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa dalam bernegara, klasik maupun modern, adalah cara termudah mengundang, kalau bukan kematian, kehancuran, mungkin pelan-pelan bangsa itu. Berkonstitusi, memang bukan sekadar ”bertaat ria” pada huruf-huruf pasal dalam UUD dan UU yang dilahirkannya, tetapi mengenali, untuk kelak mengagungkannya, impian ideologis dari huruf dan ayat-ayat konstitusi.
Pemerintah, karena kapasitas dan status konstitusionalnya sebagai organ, satu-satunya, pemegang kewenangan mengatur, memunculkan, dengan sendirinya, serangkaian konsekuensi. Salah satunya, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah mengatur tata cara tentang kekayaan alam, yang karena sifat hukumnya, bukan kodrat alamiahnya sebagai sesuatu yang terlarang, untuk dapat diusahakan oleh pihak lain, siapa pun pihak lain itu.
Maknanya, kekayaan alam menurut terminologi Pasal 33 UUD 1945, bukan tak bisa diusahakan, melainkan dapat diusahakanuntuk, semata-mata memakmurkan rakyat. Pertalian antara kapasitas dan status pemerintah di satu sisi dengan tujuan mengusahakan kekayaan alam di sisi lain, yakni hanya untuk memakmurkan rakyat, memunculkan satu-satunya cara konstitusional sebagai sarananya, yaitu; Izindari pemerintah. Titik.
Bukan izin namanya, bila tak digantungkan pada serangkaian syarat, baik syarat yang menyebabkan muncul, lahir, timbulnya izin itu atau syarat yang mengakhiri izin itu. Mengizinkan bermakna hukum memberikan hak, yang sesuai sifatnya, sementara. Itulah hukum pertambangan yang berlaku saat ini. Hukum itulah yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, berikut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perusahaan, seperti diakui oleh Noam Chomsky, tentu yang berskala besar, selalu lebih berkuasa dibanding pemerintah. Tetapi hukum pertambangan Indonesia saat ini, jelas. Pemerintah tidak diberi kewenangan bernegosiasi, dengan, tentu bukan hanya Freeport, tetapi perusahaan lain, apa pun perusahaan itu, yang hendak mengusahakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. Menyalahi hukum, bila pemerintah bernegosiasi dengan Freeport.
(hyk)