Sampah, dari Masalah Menjadi Berkah
A
A
A
GUBERNUR Ahok kembali mengumbar amarah, kali ini masalah sampah yang menjadi penyebabnya. Sampah memang telah menjadi persoalan sejak lama bagi pengelola kota-kota besar di Indonesia, bahkan bagi Pemerintah Kota Jakarta sekalipun, sampah menjadi persoalan yang tidak ada habisnya.
Bagaimana tidak menjadi masalah jika setiap hari Jakarta dibanjiri oleh sekitar 6.000 ton sampah atau 180.000 ton dalam sebulan! Bantargebang adalah satu-satunya lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini. Apabila lokasi itu ditutup maka dalam beberapa bulan saja sampah di Jakarta sudah cukup untuk menutupi lapangan Monas yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Mengapa kita seperti terbelenggu dengan persoalan ini, tidak adakah cara yang lebih cerdas dalam mengelola dan memanfaatkan sampah, sehingga sampah yang selama ini menjadi masalah bisa diatasi dengan pengelolaan yang lebih baik dan bermanfaat.
Di tingkat mikro sudah banyak kita melihat kreativitas yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Mereka terutama memanfaatkan sampah-sampah anorganik seperti besi, alumunium, kaca dan plastik untuk didaur ulang menjadi bijih plastik, bijih besi, dan lainlain untuk keperluan industri, sebagian lagi mengolahnya menjadi barang kerajinan. Adapun sampah organik sebagian dimanfaatkan menjadi pupuk, kompos dan sebagainya.
Sebagian sudah mampu memanfaatkan sampah menjadi sumber energi dengan teknologi insenerasi. Namun jika semua dikerjakan dalam skala kecil, dampaknya pun tidak akan terasa. Perlu keterlibatan pemerintah agar pengelolaan sampah bisa memberikan manfaat yang jauh lebih besar.
Sampah Kota Menjadi Energi
Insenerasi adalah teknologi pembakaran sampah yang sudah lama kita kenal, sederhananya alat ini membakar sampah di ruang tertutup dan ampasnya bisa digunakan untuk pupuk. Dengan sedikit tambahan teknologi, panas yang dihasilkan bisa dikonversi menjadi uap yang dapat digunakan untuk menggerakkan turbin dari mesin pembangkit listrik. Bergantung pada besaran kapasitas insenerasi, listrik yang dihasilkan bisa mencapai 1 MW per unit instalasi.
Dengan menggunakan teknologi gasifier, prosesnya akan lebih sederhana lagi. Karena teknologi ini mampu mengonversi sampah langsung menjadi gas (gasifikasi) yang dapat langsung digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Teknologi ini mampu menghasilkan tenaga listrik yang lebih besar, kira-kira dengan suplai 300 ton sampah per hari mampu menghasilkan sekitar 10 MW tenaga listrik. Anda bisa hitung sendiri kurang lebih listrik yang dihasilkan dari sampah Jakarta yang berjumlah 6.000 ton per hari.
Beberapa tahun lalu saat Pertamina masih dipimpin Karen Agustiawan pernah ada upaya untuk memanfaatkan sampah Jakarta (Bantargebang) menjadi sumber energi dengan menggunakan teknologi tersebut. Sayang, upaya tersebut hanya berhenti sampai kepada feasibility study (FS) saja dan belum ada kejelasan akan kelanjutannya hingga saat ini.
Di lain pihak sudah banyak negara yang sukses dalam memanfaatkan sampah menjadi energi, seperti Amerika Serikat, Afrika Selatan, Kanada, India. Bahkan di Inggris, mereka bisa mengonversi sampah kota menjadi bahan bakar pesawat terbang (avtur) yang digunakan oleh British Airways.
Dalam beberapa kesempatan, saya juga pernah bertemu dengan pejabat pemerintah daerah di beberapa wilayah di Indonesia yang mengurusi masalah sampah dan melihat bagaimana pengelolaan sampah yang mereka lakukan dan ternyata semua masih dilakukan secara konvensional (open dumping) sehingga kebutuhan lahan untuk pembuangan sampah selalu meningkat dari tahun ke tahun, belum lagi dengan masalah kesehatan dan lingkungan yang ditimbulkannya sehingga belum memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan dalam UU No 18 Tahun 2008.
Saat ini sampah juga masih menjadi beban anggaran bagi pemerintah daerah, karena mereka harus mengeluarkan biaya (tipping fee) untuk pihak ketiga yang ditunjuk untuk mengelola sampah tersebut. Persoalan klasik yang selalu muncul untuk menggunakan teknologi dalam penanganan sampah adalah keterbatasan anggaran.
Jikapun ada pihak swasta yang tertarik untuk berinvestasi, persoalan kedua yang muncul adalah birokrasi. Pasalnya, belum adanya mekanisme dan aturan main yang jelas untuk kerja sama antara swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sampah sebagai sumber energi.
Manfaat
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan baku energi di antaranya; pertama, sampah kota akan terserap habis untuk dikonversi menjadi energi. Kedua, masyarakat tetap dapat memanfaatkan sampah-sampah anorganik untuk daur ulang industri, karena yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah sampah organik, sehingga dampak sosial ekonomi masyarakat tidak terganggu.
Ketiga, kebutuhan lahan untuk pembuangan akhir sampah tidak akan bertambah, bahkan dapat berkurang setiap tahunnya. Keempat, energi yang dihasilkan bisa dimanfaatkan baik untuk skala kecil maupun besar, bergantung suplai sampah dan energi listrik yang dihasilkan. Kelima, mengurangi beban anggaran pemerintah daerah, bahkan energi listrik yang dihasilkan dapat menjadi sumber pendapatan baru.
Keenam, mengatasi masalah kesehatan dan lingkungan hidup. Ketujuh, mendapatkan sumber-sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan.
Jika begitu banyak manfaat yang akan diperoleh, lalu kenapa pemerintah seperti menutup mata dan telinga terhadap peluang ini? Seharusnya hal ini tidak luput dari perhatian pemerintah, karena masalah energi adalah masalah nasional bahkan sudah menjadi masalah dunia terutama penggunaan energi yang ramah lingkungan. Pemerintah juga sangat tahu jika sampah masih menjadi persoalan krusial bagi sebagian besar kota-kota di Indonesia.
Terobosan Birokrasi
Diperlukan terobosan dan cara untuk mempercepat pelaksanaan inisiatif ini, beberapa di antaranya; pertama, mempermudah jalan atau birokrasi bagi swasta yang akan melakukan investasi di bidang ini. Kedua, memberikan keringanan fiskal dan pajak untuk barang- barang atau teknologi yang masih perlu diimpor dari luar negeri. Ketiga, menerapkan kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk teknologi yang dipakai.
Keempat, kewajiban merekrut mitra lokal dan proses alih teknologi. Kelima, kerja sama operasi (KSO) yang saling menguntungkan. Keenam, pelaksanaan Permen ESDM No. 19/2013 Pasal 2 tentang Kewajiban PLN untuk membeli tenaga listrik dari pembangkit listrik berbasis sampah kota. Ketujuh, kebijakan tarif untuk energi listrik yang bersumber dari teknologi ramah lingkungan yang mendapatkan apresiasi lebih tinggi dibandingkan dengan energi listrik yang bersumber dari energi tak terbarukan (non-renewable).
Jika saja hal ini bisa benar-benar dijalankan dengan baik, bukan hal yang mustahil jika sampah yang selama ini menjadi masalah bisa menjadi berkah yang banyak memberikan manfaat untuk kita semua.
* Redaksi KORAN SINDO menerima artikel dari pembaca untuk mengisi rubrik Opini. Panjang artikel 800–1.000 kata (5.000–6.500 karakter) dan bisa dikirimkan ke email [email protected]. Harap mencantumkan curriculum vitae, foto terbaru, serta nomor rekening.
Jika setelah seminggu sejak tanggal pengiriman artikel belum ada konfirmasi langsung dari Redaksi, artikel yang dikirim dianggap dikembalikan ke penulis.
Bagaimana tidak menjadi masalah jika setiap hari Jakarta dibanjiri oleh sekitar 6.000 ton sampah atau 180.000 ton dalam sebulan! Bantargebang adalah satu-satunya lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini. Apabila lokasi itu ditutup maka dalam beberapa bulan saja sampah di Jakarta sudah cukup untuk menutupi lapangan Monas yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Mengapa kita seperti terbelenggu dengan persoalan ini, tidak adakah cara yang lebih cerdas dalam mengelola dan memanfaatkan sampah, sehingga sampah yang selama ini menjadi masalah bisa diatasi dengan pengelolaan yang lebih baik dan bermanfaat.
Di tingkat mikro sudah banyak kita melihat kreativitas yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Mereka terutama memanfaatkan sampah-sampah anorganik seperti besi, alumunium, kaca dan plastik untuk didaur ulang menjadi bijih plastik, bijih besi, dan lainlain untuk keperluan industri, sebagian lagi mengolahnya menjadi barang kerajinan. Adapun sampah organik sebagian dimanfaatkan menjadi pupuk, kompos dan sebagainya.
Sebagian sudah mampu memanfaatkan sampah menjadi sumber energi dengan teknologi insenerasi. Namun jika semua dikerjakan dalam skala kecil, dampaknya pun tidak akan terasa. Perlu keterlibatan pemerintah agar pengelolaan sampah bisa memberikan manfaat yang jauh lebih besar.
Sampah Kota Menjadi Energi
Insenerasi adalah teknologi pembakaran sampah yang sudah lama kita kenal, sederhananya alat ini membakar sampah di ruang tertutup dan ampasnya bisa digunakan untuk pupuk. Dengan sedikit tambahan teknologi, panas yang dihasilkan bisa dikonversi menjadi uap yang dapat digunakan untuk menggerakkan turbin dari mesin pembangkit listrik. Bergantung pada besaran kapasitas insenerasi, listrik yang dihasilkan bisa mencapai 1 MW per unit instalasi.
Dengan menggunakan teknologi gasifier, prosesnya akan lebih sederhana lagi. Karena teknologi ini mampu mengonversi sampah langsung menjadi gas (gasifikasi) yang dapat langsung digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Teknologi ini mampu menghasilkan tenaga listrik yang lebih besar, kira-kira dengan suplai 300 ton sampah per hari mampu menghasilkan sekitar 10 MW tenaga listrik. Anda bisa hitung sendiri kurang lebih listrik yang dihasilkan dari sampah Jakarta yang berjumlah 6.000 ton per hari.
Beberapa tahun lalu saat Pertamina masih dipimpin Karen Agustiawan pernah ada upaya untuk memanfaatkan sampah Jakarta (Bantargebang) menjadi sumber energi dengan menggunakan teknologi tersebut. Sayang, upaya tersebut hanya berhenti sampai kepada feasibility study (FS) saja dan belum ada kejelasan akan kelanjutannya hingga saat ini.
Di lain pihak sudah banyak negara yang sukses dalam memanfaatkan sampah menjadi energi, seperti Amerika Serikat, Afrika Selatan, Kanada, India. Bahkan di Inggris, mereka bisa mengonversi sampah kota menjadi bahan bakar pesawat terbang (avtur) yang digunakan oleh British Airways.
Dalam beberapa kesempatan, saya juga pernah bertemu dengan pejabat pemerintah daerah di beberapa wilayah di Indonesia yang mengurusi masalah sampah dan melihat bagaimana pengelolaan sampah yang mereka lakukan dan ternyata semua masih dilakukan secara konvensional (open dumping) sehingga kebutuhan lahan untuk pembuangan sampah selalu meningkat dari tahun ke tahun, belum lagi dengan masalah kesehatan dan lingkungan yang ditimbulkannya sehingga belum memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan dalam UU No 18 Tahun 2008.
Saat ini sampah juga masih menjadi beban anggaran bagi pemerintah daerah, karena mereka harus mengeluarkan biaya (tipping fee) untuk pihak ketiga yang ditunjuk untuk mengelola sampah tersebut. Persoalan klasik yang selalu muncul untuk menggunakan teknologi dalam penanganan sampah adalah keterbatasan anggaran.
Jikapun ada pihak swasta yang tertarik untuk berinvestasi, persoalan kedua yang muncul adalah birokrasi. Pasalnya, belum adanya mekanisme dan aturan main yang jelas untuk kerja sama antara swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sampah sebagai sumber energi.
Manfaat
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan baku energi di antaranya; pertama, sampah kota akan terserap habis untuk dikonversi menjadi energi. Kedua, masyarakat tetap dapat memanfaatkan sampah-sampah anorganik untuk daur ulang industri, karena yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah sampah organik, sehingga dampak sosial ekonomi masyarakat tidak terganggu.
Ketiga, kebutuhan lahan untuk pembuangan akhir sampah tidak akan bertambah, bahkan dapat berkurang setiap tahunnya. Keempat, energi yang dihasilkan bisa dimanfaatkan baik untuk skala kecil maupun besar, bergantung suplai sampah dan energi listrik yang dihasilkan. Kelima, mengurangi beban anggaran pemerintah daerah, bahkan energi listrik yang dihasilkan dapat menjadi sumber pendapatan baru.
Keenam, mengatasi masalah kesehatan dan lingkungan hidup. Ketujuh, mendapatkan sumber-sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan.
Jika begitu banyak manfaat yang akan diperoleh, lalu kenapa pemerintah seperti menutup mata dan telinga terhadap peluang ini? Seharusnya hal ini tidak luput dari perhatian pemerintah, karena masalah energi adalah masalah nasional bahkan sudah menjadi masalah dunia terutama penggunaan energi yang ramah lingkungan. Pemerintah juga sangat tahu jika sampah masih menjadi persoalan krusial bagi sebagian besar kota-kota di Indonesia.
Terobosan Birokrasi
Diperlukan terobosan dan cara untuk mempercepat pelaksanaan inisiatif ini, beberapa di antaranya; pertama, mempermudah jalan atau birokrasi bagi swasta yang akan melakukan investasi di bidang ini. Kedua, memberikan keringanan fiskal dan pajak untuk barang- barang atau teknologi yang masih perlu diimpor dari luar negeri. Ketiga, menerapkan kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk teknologi yang dipakai.
Keempat, kewajiban merekrut mitra lokal dan proses alih teknologi. Kelima, kerja sama operasi (KSO) yang saling menguntungkan. Keenam, pelaksanaan Permen ESDM No. 19/2013 Pasal 2 tentang Kewajiban PLN untuk membeli tenaga listrik dari pembangkit listrik berbasis sampah kota. Ketujuh, kebijakan tarif untuk energi listrik yang bersumber dari teknologi ramah lingkungan yang mendapatkan apresiasi lebih tinggi dibandingkan dengan energi listrik yang bersumber dari energi tak terbarukan (non-renewable).
Jika saja hal ini bisa benar-benar dijalankan dengan baik, bukan hal yang mustahil jika sampah yang selama ini menjadi masalah bisa menjadi berkah yang banyak memberikan manfaat untuk kita semua.
* Redaksi KORAN SINDO menerima artikel dari pembaca untuk mengisi rubrik Opini. Panjang artikel 800–1.000 kata (5.000–6.500 karakter) dan bisa dikirimkan ke email [email protected]. Harap mencantumkan curriculum vitae, foto terbaru, serta nomor rekening.
Jika setelah seminggu sejak tanggal pengiriman artikel belum ada konfirmasi langsung dari Redaksi, artikel yang dikirim dianggap dikembalikan ke penulis.
(hyk)