Keberagamaan Kosmopolit di Muhammadiyah
A
A
A
APAKAH Muhammadiyah masih cenderung menampilkan Islam konservatif? Tahun 2005 yang lalu, terutama pascamuktamar ke-45 di Malang, Muhammadiyah dianggap mengalami pergeseran menjadi gerakan keagamaan bercorak konservatif.
Seperti tertulis dalam buku yang diedit Martin van Bruinessen, Contemporary Development in Indonesian Islam: Explaining the ”Conservative Turn” (ISEAS 2013), munculnya konservatisme itu ditandai dengan keterlibatan beberapa aktivis organisasi ini dalam kegiatan Islam simbolis, seperti islamisasi negara melalui partai politik atau perundangan, penolakan inovasi pemikiran keagamaan, dan penentangan keberadaan kelompok yang dianggap sesat.
Dalam Religious Diversity in Muslim-majority States in Southeast Asia (ISEAS 2014), Robin Bush dan Budhy Munawar-Rachman meneguhkan anggapan itu dengan menyebutkan bahwa dibandingkan dengan NU, Muhammadiyah itu lebih konservatif dalam isu pluralisme dan kebebasan beragama. Namun, mereka melanjutkan bahwa dalam kaitannya dengan demokrasi dan kesetaraan gender, Muhammadiyah menunjukkan dukungan lebih kuat daripada NU.
***
Sejak 2005, banyak perubahan yang terjadi di Muhammadiyah yang kadang luput dari pengamatan orang asing. Ada gerakan konsolidasi ideologi, di antaranya dengan upaya membendung politisasi Muhammadiyah dan menolak infiltrasi partai politik ke dalam gerakan Muhammadiyah. Upaya lainnya adalah menjembatani antara kubu ”Islam murni” (konservatif) dan kubu ”Islam progresif”.
Hasil dari upaya ini terlihat pada Muktamar Yogyakarta tahun 2010 ketika konflik liberal vs konservatif sudah hilang, infiltrasi partai politik sudah dibersihkan, dan nuansa muktamar menjadi sangat kultural dengan nuansa lokal hadir di setiap sudut acara. Gending Jawa terdengar mengiringi kegiatan muktamar dan para penerima tamu pun menggunakan pakaian adat Yogya lengkap. Bahkan, Din Syamsuddin, sebagai ketua umum, tampil dalam pertunjukan ketoprak berjudul ”Pletheking Suryo Ndadari".
Program kegiatan yang dijalankan tahun 2010 - 2015 pun tak lagi mencerminkan pertentangan ideologis dalam Muhammadiyah. Hal yang cukup menonjol justru berbagai upaya mendialogkan Islam dengan globalisasi, seperti terwujud dalam program internasionalisasi Muhammadiyah sebagai perlawanan terhadap Islam bercorak Timur Tengah; jihad konstitusi untuk melawan kapitalisme global, oligarki, dan neokapitalisme; serta berperan aktif dalam resolusi konflik dan penciptaan perdamaian dunia.
***
Perubahan itu terus berlangsung hingga Muktamar Makassar, Agustus 2015 lalu. Melihat komposisi pimpinan Muhammadiyah yang baru, sangat sulit untuk mempertahankan tesis yang menyatakan bahwa Muhammadiyah mengalami ”conservative turn” atau bergeser menjadi gerakan konservatif.
Ketua umum dan sekretaris umum yang baru, Haedar Nashir dan Abdul Mukti, sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari kelompok konservatif. Namun yang pasti, mereka juga bukan orang liberal. Meminjam kalimat dari Haedar Nashir yang dikutip oleh Luthfi Assyaukanie, salah satu pendiri JIL (Jaringan Islam Liberal), ”Di Muhammadiyah, saya dianggap orang paling liberal, tapi di depan teman-teman JIL, saya merasa sangat konservatif” (2015).
Abdul Mukti juga memiliki pembelaan yang tegas terhadap Ahmadiyah yang disesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berkali-kali ia menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari masyarakat Islam.
Muhammadiyah sendiri sejak 2009 lalu kembali menegaskan dirinya sebagai ”Islam yang berkemajuan”. Berbeda dari Islam Nusantara, Yunahar Ilyas, tokoh Muhammadiyah yang sering disebut mewakili kelompok ”Islam murni”, menegaskan bahwa Islam berkemajuan adalah konsep keislaman yang tidak terikat ruang dan waktu. Berkemajuan adalah etos untuk terus maju dan selangkah di depan dalam hal pemikiran dan terobosan.
Tentu ada beberapa definisi tentang konsep Islam berkemajuan ini, namun untuk memudahkan, makna dari istilah ini bisa dilihat dalam beberapa rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang secara lengkap tertuang dalam buku Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (2015).
Ada beberapa rekomendasi yang bertolak belakang dengan tuduhan bahwa Muhammadiyah cenderung konservatif, di antaranya adalah: Keberagamaan yang Moderat, Membangun Dialog Sunni-Syiah, Keberagamaan yang Toleran, dan Perlindungan Kelompok Minoritas.
Dalam rekomendasi nomor satu yang berkaitan dengan ”Keberagamaan yang Moderat”, Muhammadiyah menganjurkan warganya untuk ikut serta membendung perkembangan kelompok takfiri, yakni mereka yang dengan mudah menuduh orang lain sebagai kafir hanya karena perbedaan pandangan dan sikap. Dalam rekomendasi itu, sikap takfiri dipandang sebagai penolakan terhadap kemajemukan dan menunjukkan keangkuhan dalam beragama.
Dalam kaitannya dengan konflik Sunni-Syiah, Muhammadiyah merekomendasikan agar warga gerakan ini dan umat Islam Indonesia tak terbawa dalam pertentangan politik di Timur Tengah yang memperhadapkan antara Sunni dan Syiah. Sebagai kelanjutan Muktamar, Muhammadiyah akan menyusun Fiqh Khilaf yang mendialogkan berbagai perbedaan dalam Islam, termasuk Sunni-Syiah.
Dalam kaitannya dengan isu berbagai kelompok minoritas di tengah pluralitas Indonesia, Muhammadiyah merekomendasikan agar semua orang menghentikan diskriminasi terhadap kelompok ini. ”Muhammadiyah menganjurkan kepada seluruh institusi yang ada di bawahnya untuk selalu menjadi pelindung terhadap kelompok minoritas yang tertindas.”
Minoritas yang dimaksudkan dalam rekomendasi itu tidak hanya minoritas agama, tapi mereka yang termarjinalkan dan mengalami subordinasi secara sosial seperti buruh, gelandangan, dan difabel.
***
Berbagai rekomendasi dan program baru Muhammadiyah itumenunjukkan bahwa gerakan ini melangkah menuju gerakan Islam yang kosmopolit, siap berdialog dan berkontribusi dengan berbagai peradaban, bukan gerakan konservatif. Tentu saja berbagai rekomendasi itu masih perlu implementasi hingga akar dan ranting Muhammadiyah.
Namun, apa yang dilakukan organisasi modernis terbesar di Indonesia sudah memberikan angin segar bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Muhammadiyah, tentu saja bersama NU, masih tetap bisa diharapkan menjadi pilar dari kebinekaan Indonesia dan menangkis tuduhan bahwa mereka telah dikuasai oleh kelompok yang antikemajemukan.
Seperti tertulis dalam buku yang diedit Martin van Bruinessen, Contemporary Development in Indonesian Islam: Explaining the ”Conservative Turn” (ISEAS 2013), munculnya konservatisme itu ditandai dengan keterlibatan beberapa aktivis organisasi ini dalam kegiatan Islam simbolis, seperti islamisasi negara melalui partai politik atau perundangan, penolakan inovasi pemikiran keagamaan, dan penentangan keberadaan kelompok yang dianggap sesat.
Dalam Religious Diversity in Muslim-majority States in Southeast Asia (ISEAS 2014), Robin Bush dan Budhy Munawar-Rachman meneguhkan anggapan itu dengan menyebutkan bahwa dibandingkan dengan NU, Muhammadiyah itu lebih konservatif dalam isu pluralisme dan kebebasan beragama. Namun, mereka melanjutkan bahwa dalam kaitannya dengan demokrasi dan kesetaraan gender, Muhammadiyah menunjukkan dukungan lebih kuat daripada NU.
***
Sejak 2005, banyak perubahan yang terjadi di Muhammadiyah yang kadang luput dari pengamatan orang asing. Ada gerakan konsolidasi ideologi, di antaranya dengan upaya membendung politisasi Muhammadiyah dan menolak infiltrasi partai politik ke dalam gerakan Muhammadiyah. Upaya lainnya adalah menjembatani antara kubu ”Islam murni” (konservatif) dan kubu ”Islam progresif”.
Hasil dari upaya ini terlihat pada Muktamar Yogyakarta tahun 2010 ketika konflik liberal vs konservatif sudah hilang, infiltrasi partai politik sudah dibersihkan, dan nuansa muktamar menjadi sangat kultural dengan nuansa lokal hadir di setiap sudut acara. Gending Jawa terdengar mengiringi kegiatan muktamar dan para penerima tamu pun menggunakan pakaian adat Yogya lengkap. Bahkan, Din Syamsuddin, sebagai ketua umum, tampil dalam pertunjukan ketoprak berjudul ”Pletheking Suryo Ndadari".
Program kegiatan yang dijalankan tahun 2010 - 2015 pun tak lagi mencerminkan pertentangan ideologis dalam Muhammadiyah. Hal yang cukup menonjol justru berbagai upaya mendialogkan Islam dengan globalisasi, seperti terwujud dalam program internasionalisasi Muhammadiyah sebagai perlawanan terhadap Islam bercorak Timur Tengah; jihad konstitusi untuk melawan kapitalisme global, oligarki, dan neokapitalisme; serta berperan aktif dalam resolusi konflik dan penciptaan perdamaian dunia.
***
Perubahan itu terus berlangsung hingga Muktamar Makassar, Agustus 2015 lalu. Melihat komposisi pimpinan Muhammadiyah yang baru, sangat sulit untuk mempertahankan tesis yang menyatakan bahwa Muhammadiyah mengalami ”conservative turn” atau bergeser menjadi gerakan konservatif.
Ketua umum dan sekretaris umum yang baru, Haedar Nashir dan Abdul Mukti, sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari kelompok konservatif. Namun yang pasti, mereka juga bukan orang liberal. Meminjam kalimat dari Haedar Nashir yang dikutip oleh Luthfi Assyaukanie, salah satu pendiri JIL (Jaringan Islam Liberal), ”Di Muhammadiyah, saya dianggap orang paling liberal, tapi di depan teman-teman JIL, saya merasa sangat konservatif” (2015).
Abdul Mukti juga memiliki pembelaan yang tegas terhadap Ahmadiyah yang disesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berkali-kali ia menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari masyarakat Islam.
Muhammadiyah sendiri sejak 2009 lalu kembali menegaskan dirinya sebagai ”Islam yang berkemajuan”. Berbeda dari Islam Nusantara, Yunahar Ilyas, tokoh Muhammadiyah yang sering disebut mewakili kelompok ”Islam murni”, menegaskan bahwa Islam berkemajuan adalah konsep keislaman yang tidak terikat ruang dan waktu. Berkemajuan adalah etos untuk terus maju dan selangkah di depan dalam hal pemikiran dan terobosan.
Tentu ada beberapa definisi tentang konsep Islam berkemajuan ini, namun untuk memudahkan, makna dari istilah ini bisa dilihat dalam beberapa rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang secara lengkap tertuang dalam buku Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (2015).
Ada beberapa rekomendasi yang bertolak belakang dengan tuduhan bahwa Muhammadiyah cenderung konservatif, di antaranya adalah: Keberagamaan yang Moderat, Membangun Dialog Sunni-Syiah, Keberagamaan yang Toleran, dan Perlindungan Kelompok Minoritas.
Dalam rekomendasi nomor satu yang berkaitan dengan ”Keberagamaan yang Moderat”, Muhammadiyah menganjurkan warganya untuk ikut serta membendung perkembangan kelompok takfiri, yakni mereka yang dengan mudah menuduh orang lain sebagai kafir hanya karena perbedaan pandangan dan sikap. Dalam rekomendasi itu, sikap takfiri dipandang sebagai penolakan terhadap kemajemukan dan menunjukkan keangkuhan dalam beragama.
Dalam kaitannya dengan konflik Sunni-Syiah, Muhammadiyah merekomendasikan agar warga gerakan ini dan umat Islam Indonesia tak terbawa dalam pertentangan politik di Timur Tengah yang memperhadapkan antara Sunni dan Syiah. Sebagai kelanjutan Muktamar, Muhammadiyah akan menyusun Fiqh Khilaf yang mendialogkan berbagai perbedaan dalam Islam, termasuk Sunni-Syiah.
Dalam kaitannya dengan isu berbagai kelompok minoritas di tengah pluralitas Indonesia, Muhammadiyah merekomendasikan agar semua orang menghentikan diskriminasi terhadap kelompok ini. ”Muhammadiyah menganjurkan kepada seluruh institusi yang ada di bawahnya untuk selalu menjadi pelindung terhadap kelompok minoritas yang tertindas.”
Minoritas yang dimaksudkan dalam rekomendasi itu tidak hanya minoritas agama, tapi mereka yang termarjinalkan dan mengalami subordinasi secara sosial seperti buruh, gelandangan, dan difabel.
***
Berbagai rekomendasi dan program baru Muhammadiyah itumenunjukkan bahwa gerakan ini melangkah menuju gerakan Islam yang kosmopolit, siap berdialog dan berkontribusi dengan berbagai peradaban, bukan gerakan konservatif. Tentu saja berbagai rekomendasi itu masih perlu implementasi hingga akar dan ranting Muhammadiyah.
Namun, apa yang dilakukan organisasi modernis terbesar di Indonesia sudah memberikan angin segar bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia. Muhammadiyah, tentu saja bersama NU, masih tetap bisa diharapkan menjadi pilar dari kebinekaan Indonesia dan menangkis tuduhan bahwa mereka telah dikuasai oleh kelompok yang antikemajemukan.
(hyk)