Horor Takokak 1948: Sejarah yang Terlupakan
A
A
A
BEBERAPA hari lalu kita merayakan Hari Pahlawan dengan khidmat. Kita mengenang betapa para pahlawan telah mengantarkan kita dalam kondisi saat ini sebagai bangsa yang besar, terutama dalam perang melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan kita rebut dan pertahankan terutama selama era Perang Kemerdekaan. Dalam pelajaran-pelajaransejarahdi Indonesia, era Perang Kemerdekaan (1945-1949) kerap dikenang sebagai masa-masa berjayanya kaum bersenjata menghalau Belanda yang ingin kembali menguasai republik ini. Dengan mitos senjata bambu runcing, generasi yang dikenal sebagai Angkatan 45 dimunculkan sebagai bagian sejarah terbaik sekaligus heroik. Tiap tahun bangsa ini selalu mengakbarkan ihwal tersebut dalam setiap seremoni peringatan Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan.
Tentunya tidak ada yang keliru dari upaya mengenang tentang cerita kejayaan itu. Namun, eloknya, kebanggaan tersebut harus pula diiringi kesadaran bawa kemerdekaan itu tidak melulu berisi kisah-kisah tentang kejayaan dan kemenangan. Di sisi lain, ada juga cerita-cerita menyedihkan yang malah selalu terlupakan untuk dikenang sebagai ekses buruk dari adanya perang yang pernah melanda negeri kita.
Horor Takokak 1948 adalah salah satu dari kisah sedih yang masih menjadi misteri hingga hari ini. Tidak banyak orang tahu, di kawasan perkebunan teh yang masuk dalam wilayah Cianjur bagian selatan tersebut, 67 tahun lalu telah terjadi pembantaian besar-besaran yang pernah dilakukan oleh militer Belanda terhadap kaum republiken. Bagaimana bisa peristiwa itu terjadi?
Ekses Perjanjian Renville
Pada 8 Desember 1947, bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat), dilangsungkanlah perundingan antara Belanda dan Indonesia yang ditengahi oleh Komisi Jasa-Jasa Baik (beranggotakan Amerika Serikat, Belgia, dan Australia). Dalam perundingan itu, banyak poin kesepakatan yang dinilai berbagai pihak sangat merugikan Indonesia. Salah satunya keputusan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus mengosongkan Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur dan memindahkan pasukannya ke daerah republik yang diklaim Belanda hanya meliputi kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.
Sebagaimana ditulis dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968), hasil kesepakatan Perjanjian Renville diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri (lewat Letnan Kolonel Soetoko) telah mememerintahkan pucuk pimpinan Divisi Siliwangi untuk tetap mengoordinasikan perlawanan bersenjata di Tanah Pasundan.
Untuk mengelabui pihak Belanda, tentu saja pasukan-pasukan ini beraksi tidak mengatasnamakan Divisi Siliwangi. Mereka bergerak sebagai “pasukan liar” yang seolah-olah tidak berkoordinasi dengan pihak republik. Sebut saja salah satunya adalah Kesatuan Djaja Pangrerot di Cililin yang tadinya berasal dari Yon Sugiharto.
Pembersihan di Daerah Pendudukan
Namun, aksi rahasia yang dilakukan TNI itu bukannya tidak tercium oleh pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi.
Salah satu kawasan di Jawa Barat yang dinilai “corak republik”- nya masih kental adalah Sukabumi. Di daerah itu bukan saja propaganda-propaganda prorepublik sering berlangsung, namun juga penyerangan pos-pos militer Belanda sering terjadi pula. Kadang-kadang terjadi secara sporadis.
Kekacauan-kekacauan itu tentu saja menimbulkan kemarahan pihak militer Belanda. Menurut seorang saksi sejarah bernama Atjep Abidin, 90, tidak jarang seusai terjadi penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda, operasi pembersihan langsung dilakukan beberapa jam setelah kejadian penyerangan.
“Rakyat sipil dikumpulkan, setelah diintimidasi beberapa kaum lelaki dari mereka diambil dan dimasukkan ke penjara militer van Helden, yang terletak di Sukabumi,” ungkap anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Takokak ini.
Menurut Atjep, operasi pembersihan yang paling sering dilakukan yaitu di kawasan Nyalindung dan Sagaranten. Itu bisa saja terjadi, mengingat dua tempat tersebut memang dikenal sebagai basis fanatik kaum republik.
Selanjutnya, dari van Helden, secara berkala, orang-orang yang dinilai militer Belanda sebagai kaum republik itu dibawa ke wilayah Takokak. Itu adalah nama suatu kawasan yang terletak kira-kira 75 km di selatan Cianjur. Sejak zaman Hindia Belanda, kawasan yang berbatasan langsung dengan wilayah Sukabumi itu merupakan daerah perkebunan teh yang memiliki kontur pegunungan serta dipenuhi hutan dan jurang.
Seorang mantan gerilyawan di Sukabumi, Yusuf Soepardi, 91, mengakui bahwa saat itu nama Takokak sebagai tempat eksekusi mati kaum republik sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Sukabumi dan Cianjur. “Kalau ada orang Sukabumi atau Cianjur dibawa oleh tentara Belanda ke sana, ya jangan berharap ia bisa pulang lagi ke rumah...,” ujar lelaki sepuh yang meniti karier militernya dari laskar rakyat tersebut.
Kawasan Pembantaian
Yusuf adalah saksi dari pembantaian itu. Ia sangat ingat, pada suatu hari di pertengahan 1948, bersama sejumlah kawan bergerilyanya, Yusuf pernah ditugaskan oleh sang komandan untuk mengambil sejumlah mayat korban eksekusi di Takokak.
Semua jasad yang ditemukan, tangannya masih dililit tali yang terbuat dari daun nanas gunung. Yang paling menyedihkan, ujar Yusuf, tubuh mereka yang sudah mengembung itu dihiasi luka tembak sebesar buah duku di tengkuk masing-masing. “Saya pastikan mereka tewas karena tembakan jarak dekat langsung ke mulut,” katanya.
Saksi lain yang sempat menyaksikan proses pembantaian di Takokak itu adalah Andin Soebandi, 83. Sebagai bocah penjaja buras (lontong yang berisi oncom), dengan mata kepala sendiri ia sempat menyaksikan rombongan tawanan diangkut sebuah truk tertutup yang disopiri dan dijaga beberapa tentara Belanda totok bergerak pelan melintas di depannya. Mereka lantas dibawa ke suatu dataran tinggi bernama Puncak Bungah dan kemudian dieksekusi secara bersamaan. Mayat mereka kemudian dilempar ke jurang.
Namun, Puncak Bungah bukanlah satu-satunya tempat horor di Takokak. Ada beberapa tempat lain yang dijadikan ladang pembantaian kaum republiken. Sebut saja Ciwangi (tempat Yusup dan kawan-kawan menemukan lima jasad), Pal I Cienggang, Jalan Lima, Gamblok, Cikawung, dan Pasirtulang. Di tempat terakhir bahkan diperkirakan jumlah kaum republiken yang dieksekusi paling banyak dibanding tempat-tempat lainnya di Takokak.
Westerlling Terlibat?
Hingga kini belum ditemukan keterangan dari kesatuan manakah tentara-tentara Belanda yang melakukan pembantaian di Takokak itu berasal. Namun, menurut Atjep, ia sempat mengetahui salah satu pemimpin grup para pembantai tersebut bernama Werling.
Apakah Si Werling yang dimaksud adalah Kapiten Raymond Pierre Paul Westerling, Si Jagal Pimpinan Pasukan Khusus AD Belanda (DST/KST) yang terkenal sadis itu? Saya sendiri belum bisa memastikan itu karena tentunya harus ada riset khusus untuk mengungkap soal ini.
Namun, yang jelas dalam catatan saya, pada 17 April 1948, Mayor KL R F Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya, sempat membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M H P J Paulissen Schill merasa gerah terhadap ulah pasukan elite anak buah Westerling di Korps Speciaale Troepen (KST) yang pada 13 dan 16 April 1948 membantai 10 penduduk sipil di Tasikmalaya dan Ciamis. Mayat mereka kemudian dibiarkan tergeletak begitu saja di jalanan. Kebrutalan KST dan komandannya itu lantas bocor ke media dan menimbulkan protes keras di dalam negeri Belanda. Pada 16 November 1948, setelah dua setengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciaale Troepen (DST) (kemudian diganti menjadi KST), Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL W C A van Beek.
Usai resmi dipecat, Westerling lantas banting setir menjadi pengusaha sayur-mayur di Pacet, suatu wilayah yang jaraknya hanya sekitar 90 km dari Takokak. Mungkinkah beberapa bulan sebelum menjadi bandar sayur-mayur, ia menyempatkan diri terlebih dahulu menjadi seorang jagal di wilayah Takokak? Soal ini tentunya harus terus ditelusuri lebih jauh.
Yang jelas belum ada angka pasti mengenai jumlah korban kegilaan militer Belanda di Takokak tersebut. Adapun 70 kerangka yang saat ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Takokak sesungguhnya baru sebagian yang ditemukan. Tiga saksi pembantaian yang masih hidup bahkan meyakini jumlah korban sejatinya bisa sampai angka ratusan. Apakah soal ini akan terus terkubur seiring berlalunya waktu? Jawabannya diserahkan kepada kita, orang-orang yang katanya mewarisi buah perjuangan mereka saat ini.
Tentunya tidak ada yang keliru dari upaya mengenang tentang cerita kejayaan itu. Namun, eloknya, kebanggaan tersebut harus pula diiringi kesadaran bawa kemerdekaan itu tidak melulu berisi kisah-kisah tentang kejayaan dan kemenangan. Di sisi lain, ada juga cerita-cerita menyedihkan yang malah selalu terlupakan untuk dikenang sebagai ekses buruk dari adanya perang yang pernah melanda negeri kita.
Horor Takokak 1948 adalah salah satu dari kisah sedih yang masih menjadi misteri hingga hari ini. Tidak banyak orang tahu, di kawasan perkebunan teh yang masuk dalam wilayah Cianjur bagian selatan tersebut, 67 tahun lalu telah terjadi pembantaian besar-besaran yang pernah dilakukan oleh militer Belanda terhadap kaum republiken. Bagaimana bisa peristiwa itu terjadi?
Ekses Perjanjian Renville
Pada 8 Desember 1947, bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat), dilangsungkanlah perundingan antara Belanda dan Indonesia yang ditengahi oleh Komisi Jasa-Jasa Baik (beranggotakan Amerika Serikat, Belgia, dan Australia). Dalam perundingan itu, banyak poin kesepakatan yang dinilai berbagai pihak sangat merugikan Indonesia. Salah satunya keputusan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus mengosongkan Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur dan memindahkan pasukannya ke daerah republik yang diklaim Belanda hanya meliputi kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.
Sebagaimana ditulis dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968), hasil kesepakatan Perjanjian Renville diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman sendiri (lewat Letnan Kolonel Soetoko) telah mememerintahkan pucuk pimpinan Divisi Siliwangi untuk tetap mengoordinasikan perlawanan bersenjata di Tanah Pasundan.
Untuk mengelabui pihak Belanda, tentu saja pasukan-pasukan ini beraksi tidak mengatasnamakan Divisi Siliwangi. Mereka bergerak sebagai “pasukan liar” yang seolah-olah tidak berkoordinasi dengan pihak republik. Sebut saja salah satunya adalah Kesatuan Djaja Pangrerot di Cililin yang tadinya berasal dari Yon Sugiharto.
Pembersihan di Daerah Pendudukan
Namun, aksi rahasia yang dilakukan TNI itu bukannya tidak tercium oleh pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi.
Salah satu kawasan di Jawa Barat yang dinilai “corak republik”- nya masih kental adalah Sukabumi. Di daerah itu bukan saja propaganda-propaganda prorepublik sering berlangsung, namun juga penyerangan pos-pos militer Belanda sering terjadi pula. Kadang-kadang terjadi secara sporadis.
Kekacauan-kekacauan itu tentu saja menimbulkan kemarahan pihak militer Belanda. Menurut seorang saksi sejarah bernama Atjep Abidin, 90, tidak jarang seusai terjadi penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda, operasi pembersihan langsung dilakukan beberapa jam setelah kejadian penyerangan.
“Rakyat sipil dikumpulkan, setelah diintimidasi beberapa kaum lelaki dari mereka diambil dan dimasukkan ke penjara militer van Helden, yang terletak di Sukabumi,” ungkap anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Takokak ini.
Menurut Atjep, operasi pembersihan yang paling sering dilakukan yaitu di kawasan Nyalindung dan Sagaranten. Itu bisa saja terjadi, mengingat dua tempat tersebut memang dikenal sebagai basis fanatik kaum republik.
Selanjutnya, dari van Helden, secara berkala, orang-orang yang dinilai militer Belanda sebagai kaum republik itu dibawa ke wilayah Takokak. Itu adalah nama suatu kawasan yang terletak kira-kira 75 km di selatan Cianjur. Sejak zaman Hindia Belanda, kawasan yang berbatasan langsung dengan wilayah Sukabumi itu merupakan daerah perkebunan teh yang memiliki kontur pegunungan serta dipenuhi hutan dan jurang.
Seorang mantan gerilyawan di Sukabumi, Yusuf Soepardi, 91, mengakui bahwa saat itu nama Takokak sebagai tempat eksekusi mati kaum republik sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Sukabumi dan Cianjur. “Kalau ada orang Sukabumi atau Cianjur dibawa oleh tentara Belanda ke sana, ya jangan berharap ia bisa pulang lagi ke rumah...,” ujar lelaki sepuh yang meniti karier militernya dari laskar rakyat tersebut.
Kawasan Pembantaian
Yusuf adalah saksi dari pembantaian itu. Ia sangat ingat, pada suatu hari di pertengahan 1948, bersama sejumlah kawan bergerilyanya, Yusuf pernah ditugaskan oleh sang komandan untuk mengambil sejumlah mayat korban eksekusi di Takokak.
Semua jasad yang ditemukan, tangannya masih dililit tali yang terbuat dari daun nanas gunung. Yang paling menyedihkan, ujar Yusuf, tubuh mereka yang sudah mengembung itu dihiasi luka tembak sebesar buah duku di tengkuk masing-masing. “Saya pastikan mereka tewas karena tembakan jarak dekat langsung ke mulut,” katanya.
Saksi lain yang sempat menyaksikan proses pembantaian di Takokak itu adalah Andin Soebandi, 83. Sebagai bocah penjaja buras (lontong yang berisi oncom), dengan mata kepala sendiri ia sempat menyaksikan rombongan tawanan diangkut sebuah truk tertutup yang disopiri dan dijaga beberapa tentara Belanda totok bergerak pelan melintas di depannya. Mereka lantas dibawa ke suatu dataran tinggi bernama Puncak Bungah dan kemudian dieksekusi secara bersamaan. Mayat mereka kemudian dilempar ke jurang.
Namun, Puncak Bungah bukanlah satu-satunya tempat horor di Takokak. Ada beberapa tempat lain yang dijadikan ladang pembantaian kaum republiken. Sebut saja Ciwangi (tempat Yusup dan kawan-kawan menemukan lima jasad), Pal I Cienggang, Jalan Lima, Gamblok, Cikawung, dan Pasirtulang. Di tempat terakhir bahkan diperkirakan jumlah kaum republiken yang dieksekusi paling banyak dibanding tempat-tempat lainnya di Takokak.
Westerlling Terlibat?
Hingga kini belum ditemukan keterangan dari kesatuan manakah tentara-tentara Belanda yang melakukan pembantaian di Takokak itu berasal. Namun, menurut Atjep, ia sempat mengetahui salah satu pemimpin grup para pembantai tersebut bernama Werling.
Apakah Si Werling yang dimaksud adalah Kapiten Raymond Pierre Paul Westerling, Si Jagal Pimpinan Pasukan Khusus AD Belanda (DST/KST) yang terkenal sadis itu? Saya sendiri belum bisa memastikan itu karena tentunya harus ada riset khusus untuk mengungkap soal ini.
Namun, yang jelas dalam catatan saya, pada 17 April 1948, Mayor KL R F Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya, sempat membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M H P J Paulissen Schill merasa gerah terhadap ulah pasukan elite anak buah Westerling di Korps Speciaale Troepen (KST) yang pada 13 dan 16 April 1948 membantai 10 penduduk sipil di Tasikmalaya dan Ciamis. Mayat mereka kemudian dibiarkan tergeletak begitu saja di jalanan. Kebrutalan KST dan komandannya itu lantas bocor ke media dan menimbulkan protes keras di dalam negeri Belanda. Pada 16 November 1948, setelah dua setengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciaale Troepen (DST) (kemudian diganti menjadi KST), Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL W C A van Beek.
Usai resmi dipecat, Westerling lantas banting setir menjadi pengusaha sayur-mayur di Pacet, suatu wilayah yang jaraknya hanya sekitar 90 km dari Takokak. Mungkinkah beberapa bulan sebelum menjadi bandar sayur-mayur, ia menyempatkan diri terlebih dahulu menjadi seorang jagal di wilayah Takokak? Soal ini tentunya harus terus ditelusuri lebih jauh.
Yang jelas belum ada angka pasti mengenai jumlah korban kegilaan militer Belanda di Takokak tersebut. Adapun 70 kerangka yang saat ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Takokak sesungguhnya baru sebagian yang ditemukan. Tiga saksi pembantaian yang masih hidup bahkan meyakini jumlah korban sejatinya bisa sampai angka ratusan. Apakah soal ini akan terus terkubur seiring berlalunya waktu? Jawabannya diserahkan kepada kita, orang-orang yang katanya mewarisi buah perjuangan mereka saat ini.
(hyk)