Pahlawanku Susi, Kamu?

Selasa, 10 November 2015 - 07:20 WIB
Pahlawanku Susi, Kamu?
Pahlawanku Susi, Kamu?
A A A
IMAM NAHRAWI
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora)


SENIN
kemarin (9/10), atau sehari sebelum peringatan Hari Pahlawan Nasional hari ini, saya menyempatkan diri membuat jajak pendapat via akun Twitter saya, @imam_nahrawi dengan pertanyaan terbuka tentang siapa orang yang layak disebut pahlawan menurut para pengguna media sosial. Saya sendiri mengajukan nama Susi Susanti, mantan atlet bulu tangkis Indonesia sebagai pahlawan, lebih tepatnya Pahlawan Olahraga. Tak perlu kiranya saya sebutkan alasan-alasan saya mengapa saya mengajukan Susi Susanti. Empat kali menjuarai All England, 1990, 1991, 1993, 1994 dan puncaknya saat menyumbangkan medali emas di Oliampade Barcelona tahun 1992.

Bersamanya, berkali-kali bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya dikibarkan dan dikumandangkan di negara lain disaksikan jutaan pasang mata seluruh dunia. Ketika Susi Susanti menyumbangkan medali emas di Olimpiade 1992, saya masih berumur 19 tahun, masih berstatus mahasiswa dan sedang giat-giatnya terlibat dalam gerakan mahasiswa melawan rezim Orde Baru saat itu.

Melalui pertandingan yang disiarkan langsung oleh RCTI itu, Susi Susanti berhasil mengalahkan tunggal putri dari Korea Selatan, Bang Soo-hyun dengan rubber set. Susi sempat ketinggalan di set pertama, namun berhasil membalikkan keadaan di set kedua dan ketiga. Inilah medali emas pertama Indonesia di ajang Olimpiade. Momen terindah tentu saja saat bendera merah putih dikerek naik dan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di layar kaca, saya melihat dengan jelas air mata haru tak terbendung meleleh di pipi Susi Susanti. Begitu pun dengan penonton di stadion. Dan, tak tahu entah kenapa tiba-tiba saya pun merasakan pipi saya basah. Saya pun bergumam saat itu juga, dia pahlawan!

Dalam hal ini, sangat mungkin, saya subjektif. Menurut saya, tidak ada masalah. Semua orang memiliki kriteria tersendiri tentang pahlawan. Setiap orang memiliki sosok istimewa untuk dinobatkan menjadi pahlawan. Itulah mengapa saya sangat senang membaca respons beragam dari para pengguna Twitter yang mention ke saya tentang siapa sosok yang layak mereka nobatkan sebagai pahlawan. Ada yang menyebut Gubernur DKI Jakarta Ahok, ada yang menyebut Gus Dur, Ada yang menyebut Andik Firmansyah, bahkan ada juga yang menyebut Jose Mourinho, pelatih klub sepak bola Inggris, Chelsea. Kita tidak boleh mengecilkannya karena kita tidak tahu, mungkin saja Jose Mourinho pernah memberikan pengalaman hidup yang berharga dan membuat yang bersangkutan meneteskan air mata haru dan bangga.

***

Per definisi, istilah pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), berasal dari bahasa Sanskerta: phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Dengan definisi ini, siapa pun orangnya yang berkontribusi bagi bangsa dan negara, entah kecil atau besar, entah skalanya lokal atau nasional, entah sektoral maupun lintas sektor, semuanya bisa dinobatkan menjadi pahlawan.

Tak terkecuali di lingkungan keluarga. Seorang ayah dan ibu yang hebat yang berhasil mendidik dan membesarkan putra-putrinya dengan segala keterbatasannya sehingga menjadi orang yang hebat di kemudian hari, dia adalah Pahlawan. Seorang petugas kebersihan yang rela bangun pagi demi membersihkan jalanan yang kita lalui sebelum ke kantor, adalah pahlawan. Para penjaga perlintasan kereta api, anggota pemadam kebakaran, petugas SAR dalam bencana, mereka semuanya adalah pahlawan.

Seorang pemuda yang rela bertugas di daerah terpencil, yang jauh dari pusat keramaian, mal bahkan sinyal handphone, mereka juga pahlawan. Para kiai dan guru mengaji di kampung-kampung yang menyediakan waktunya 24 jam mendampingi dan mendengarkan keluh kesah masyarakat, adalah pahlawan.

Pejabat negara yang memilih hidup sederhana, bersih dan melayani, adalah pahlawan. Aparat penegak hukum yang memilih bersikap adil dalam memutuskan perkara, adalah pahlawan. Para politisi yang memilih menjauhkan diri dari politik uang, adalah pahlawan. Para awak media yang dengan gigih bersikap profesional dan menjunjung tinggi etika jurnalisme, adalah pahlawan. Seorang wasit olahraga yang dengan tegas menolak suap dan pengaturan skor, adalah pahlawan. Dan, siapa pun orangnya yang rela menahan lapar, dahaga dan menunda bahagia demi keberlangsungan generasi yang akan datang, dia adalah pahlawan.

***

Terdapat begitu banyak orang dengan beragam profesinya layak kita nobatkan sebagai pahlawan. Sudah saatnya cakrawala kita tentang definisi pahlawan kita buka seluas-luasnya. Siapa pun boleh mengajukan pahlawan sehingga dengan begitu kita akan lebih banyak belajar bagaimana menghargai jerih payah orang lain dan menghindarkan diri kita dari caci maki tak berarti.

Jangan sampai kita dianggap sebagai bangsa yang tidak tahu terima kasih, karena hal itu akan sangat berbahaya bagi republik ini. Ketika setiap jasa sekecil apa pun itu tak lagi dihargai, dampak sosialnya akan sangat besar. Tidak akan ada lagi orang yang mau berbuat baik. Untuk apa berbuat baik, sementara tidak ada insentif sosial bagi mereka yang berbuat baik. Orang jujur justru dikucilkan, orang taat hukum diasingkan, orang bertindak adil justru dikerdilkan.

Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa pahlawannya? Artinya, semakin banyak kita menghadirkan pahlawan dan memberikan penghargaan kepadanya, maka semakin besar pulalah bangsa ini. Tidak ada orang yang sempurna dalam hidupnya. Tidak ada orang 100% benar-benar baik hidupnya, pun sebaliknya tidak ada orang yang 100% jahat dalam hidupnya. Siapa pun orangnya yang telah berhasil meneteskan air mata haru dan bangga bagimu serta bisa membangun spiritmu untuk berbuat lebih baik bagi bangsa dan negara ini, saya pastikan dia adalah pahlawan, dialah Susi Susanti meski dengan nama yang berbeda, ajang kompetisi yang berbeda dan jenis medali yang berbeda.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7478 seconds (0.1#10.140)