Kebakaran Hutan Gambut & Global Warming

Rabu, 04 November 2015 - 07:52 WIB
Kebakaran Hutan Gambut & Global Warming
Kebakaran Hutan Gambut & Global Warming
A A A
Wapres Jusuf Kalla di Jakarta menyatakan, pemerintah tengah membahas upaya restorasi gambut yang terbakar secara masif dalam beberapa bulan terakhir ini (27/10/15). Restorasi ini diprediksi akan menelan biaya puluhan triliun rupiah. Apa boleh buat. Kebakaran hutan gambut yang telah berlangsung hampir tiga bulan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua ini telah menimbulkan dampak yang luar biasa. Ratusan orang tewas dan jutaan orang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat asap kebakaran tersebut.

Kebakaran hutan sepanjang 2015 ini, menurut Menko Polhukam Luhut Panjaitan, sebagai kebakaran paling besar yang pernah terjadi di Indonesia. Menurut Luhut, salah satu penyebabnya justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. ”Inilah kesalahan kebijakan yang kita buat, bukan maksud menyalahkan pemerintahan yang lalu, dengan membagi-bagikan tanah gambut,” katanya dalam pidato pembukaan Rakor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Hotel Aryaduta, Jalan Prapatan, Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2015). Ia menjelaskan, tanah gambut memiliki kedalaman 5-6 meter. Jika lahan tersebut terbakar, lalu dipadamkan di bagian permukaan, maka api di bagian bawah masih belum padam. Hal itulah yang menyebabkan pemadaman sulit dilakukan.

Upaya pemadaman yang tidak tuntas itu lantas menimbulkan asap dan mengepung udara di sekitar kawasan kebakaran. Ditambah angin yang bertiup kencang, dampak asap semakin meluas, dirasakan hingga ke negara-negara tetangga. Apa yang dikatakan Pak JK dan Pak Luhut benar. Kabut asap yang menerjang beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan sebagian besar kalau tak bisa dikatakan seluruhnya berasal dari kebakaran lahan gambut. Ratusan bahkan ribuan titik api menebar ”teror” di berbagai kawasan lahan gambut di kedua pulau tersebut.

Terornya tak hanya berupa asap beracun yang bisa menimbulkan ISPA dan pneumonia yang menimbulkan kematian manusia, tapi juga gelapnya udara yang bisa menimbulkan kecelakaan kendaraan bermotor dan pesawat terbang serta terlepasnya karbon dioksida dalam jumlah yang amat besar ke atmosfer sehingga meningkatkan suhu bumi.

***
Gambut terbentuk dari material organik seperti dedaunan, cabang, batang, dan akar tumbuh-tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, keasaman tinggi, dan sedikit oksigen di suatu areal dalam jangka waktu yang lama, ratusan sampai ribuan tahun. Lahan gambut secara global menyimpan setidaknya 550 gigaton karbon, setara dengan seluruh biomas terestrial lainnya (hutan, rerumputan, perdu, dan lainnya) dan dua kali lipat dari seluruh karbon yang tersimpan di hutan secara global. Lahan gambut di wilayah sub (kutub), memiliki simpanan karbon rata-rata 3,5 kali lipat, di wilayah boreal (tundra) 7 kali lipat, dan di wilayah tropis bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat dari jumlah karbon yang tersimpan di atas permukaan tanah mineral.

Dengan demikian, peran gambut terkait isu pemanasan global adalah sangat penting, karena kerusakan lahan gambut menyebabkan fungsinya sebagai penyimpan karbon menjadi terganggu. Itulah sebabnya, sejumlah pakar lingkungan menganggap lahan gambut sebagai ”pendingin netto ” iklim bumi (CKPP, 2008). Masalahnya, lahan gambut sangat ”labil”. Jika terganggu (karena land clearing, drainase, dibakar, dll), lahan gambut fungsinya berubah total. Dari semula sebagai penyerap karbon (carbon sink), berubah menjadi pelepas karbon (carbon emitter). Ketika berfungsi sebagai pelepas karbon, lahan gambut menjadi kontributor besar dalam kenaikan suhu bumi (global warming ).

Luas lahan gambut di Asia Tenggara sekitar 27 juta hektare atau sekitar 12% dari luas keseluruhan kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki sekitar 20,6 juta hektare, Malaysia 2 juta hektare, dan Papua Nugini sekitar 2,6 juta hektare. Ketebalan gambut di Indonesia diperkirakan rata-rata 3-5 meter di Indonesia bagian barat, sementara di Indonesia bagian timur mencapai 1-2 meter. Di Malaysia dan Brunei, ketebalan rata-rata 3 meter, sedangkan di Papua Nugini sekitar 1,5 meter.

Lahan gambut Asia Tenggara memiliki kepentingan khusus untuk kelangsungan hidup berbagai jenis satwa, seperti orangutan, harimau sumatera, badak sumatera, serta jenis-jenis lain yang sudah terancam punah secara global, seperti mentok rimba dan buaya senyulong yang memiliki populasi kecil dan terbatas pada ekosistem hutan rawa gambut. Di samping itu, habitat air hitam (gambut) tropis memiliki keanekaragaman hayati ikan dan satwa aquatik lain yang me miliki tingkat keunikan tinggi. Sebagai contoh, di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, diketahui ada 25 jenis ikan baru (bagi ilmu pengetahuan).

Sementara itu, di Selangor Utara ditemukan sekitar 100 jenis ikan, di mana 50% di antaranya hanya ditemukan di ekosistem air hitam. Di tempat yang sama juga ditemukan setidaknya 173 jenis burung, di mana 145 jenis di antaranya merupakan jenis-jenis endemik.

Hutan rawa gambut juga merupakan tempat hidup penting bagi berbagai jenis tumbuhan. Penelitian menunjukkan tidak kurang dari 800 jenis tumbuhan telah teridentifikasi di hutan rawa gambut Malaysia Barat, sedangkan di Sumatera tidak kurang dari 300 jenis tumbuhan telah teridentifikasi di hutan rawa gambutnya. Beberapa di antaranya memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti ramin (Gonystylus Bancanus), jelutung (Dyera lowii), meranti (Shorea spp), dan geronggang (Cratoxylun glaucum). Di Taman Nasional Berbak, Jambi, yang merupakan salah satu habitat hutan rawa gambut alami yang masih tersisa, juga ditemukan tidak kurang dari 260 jenis tumbuhan. (CKPP, 2008).

***
Gambaran di atas sekadar menunjukkan betapa pentingnya lahan gambut dalam menyangga ekosistem bumi. Lahan gambut yang selama ini terabaikan karena dianggap tak punya nilai, juga berperan besar dalam menyangga emisi karbon. Karena itu, merusak lahan gambut (baik yang berupa hutan maupun lahan), sama artinya dengan merusak ekosistem bumi yang amat besar pengaruhnya pada perubahan iklim global.

Saat ini hampir 90% hutan rawa gambut di Asia Tenggara berada dalam ancaman drainase, konversi, dan pembalakan. Antara tahun 1985 dan 2005, lahan gambut dibalaki hingga rata-rata 1,3% per tahun; dengan catatan tertinggi di Kalimantan Timur (2,8%) dan terendah di Papua (0,5%). Sejauh ini diperkirakan 45% areal hutan gambut di Asia Tenggara telah rusak akibat pembangunan perkebunan, drainase, deforestasi, dan pembalakan. Sebanyak 45% lainnya juga rusak akibat kegiatan pembalakan selektif dan drainase.

Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan survei Wahyunto (2005), luas lahan gambut di Indonesia sekitar 20,6 juta hektare atau 10,8% luas daratan Indonesia. Sebagian besar lahan gambut terdapat di Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Sayangnya, lahan gambut tersebut kini sedang ”dirusak” secara besar-besaran untuk perkebunan, persawahan, dan lain-lain. Dengan demikian, alih-alih lahan gambut menjadi pendingin neto iklim bumi, yang terjadi adalah kebalikannya: menjadi pemanas iklim bumi.

Bila saat ini kita menyaksikan gumpalan asap dari lahan dan hutan gambut yang terbakar di Sumatera dan Kalimantan yang menyengsarakan rakyat, percayalah kesengsaraan rakyat akan bertambah lagi di masa depan karena besarnya emisi karbon yang keluar dari lahan gambut yang terbakar tersebut.

Tercatat, di Asia Tenggara lebih dari 2.000 juta ton karbon dioksida diemisikan per tahun akibat kerusakan lahan gambut, 90% di antaranya dari lahan gambut Indonesia. Dengan banyaknya lahan gambut yang rusak (terbakar, konversi, drainase, dan lain-lain), komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sampai 26% tahun 2020 (seperti dijanjikan SBY) sulit tercapai. Bagaimana strategi Jokowi untuk merealisasikan komitmen Indonesia tersebut.

Pemerintah sudah tahu siapa saja para pembakar hutan gambut tersebut, juga sudah tahu siapa yang merusak ekosistem gambut tersebut. Sekarang tinggal keberanian pemerintah untuk menindaknya secara tegas. Indonesia perlu membuktikan bahwa komitmen mengurangi emisi karbon 20% tahun 2020 tetap konsisten!

NYOTO SANTOSO

Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4149 seconds (0.1#10.140)