Demokrasi Berlaksa Epos
A
A
A
Alkisah pada satu ketika, para sultan di Maluku Utara dan Sultan Nusaina Pulau Seram menyepakati sebuah perjanjian. Barang siapa di antara keduanya memenangkan pertempuran yang dihelat dalam selang tak lama lagi, ia berhak atas hadiah paling besar yang mungkin dibayangkan kerajaan- kerajaan sekitar pada saat itu.Nusaina sekaligus Maluku Utara akan menjadi wilayahnya. Tetapi, menghadapi kerajaan- kerajaan Maluku Utara yang disegani lantaran kekuatan militernya, pihak Nusaina tidak datang tanpa siasat. Raja Sangkamani Kayila, yang menerima titah Sultan Nusaina untuk mengirimkan keputusan perang, setidaknya, paham bahwa mereka datang bukan untuk berperang dalam pengertian yang lazim.Sebelum peperangan, Sangkamani Kayila menceritakan kepada sultan-sultan di Maluku Utara bahwa pihaknya sudah menyiapkan tujuh pendekar. Ketujuhnya mempunyai kesaktian merekayasa bencana alam dan sanggup menenggelamkan pulau-pulau di Maluku Utara. Para sultan Maluku Utara, dalam kisah ini, gentar mendengarnya.Mereka tidak melanjutkan rencana untuk berperang serta menyepakati bahwa masyarakat Nusaina boleh tinggal di Maluku Utara dan demikian juga sebaliknya. Dan, memang, inilah yang sejak awal merupakan politik Sangkamani Kayila. Epik yang kami peroleh dari sebuah negeri petuanan Seram Utara ini, mungkin, pembaca akan menduga, kami dapati dari wejangan lisan tetua-tetua adat.Namun, faktanya, ia kami dapati dari tempat yang mungkin tidak diduga-duga: dokumen yang dirapatkan panitia pemilihan pemerintahan setempat. Pemilihan raja butuh dilaksanakan dalam waktu dekat. Mereka harus lekas-lekas memastikan marga mana saja yang memiliki hak dipilih sebagai pemerintah atas warga-warga lainnya.Masing-masing marga yang dirujuk sebagai otoritas adat pun menyusun silsilah untuk meyakinkan panitia maupun publik bahwa, dari peran dan kontribusi yang pernah disumbangkan pendahulunya kepada negerinya, mereka berhak menjadi raja. Marga Rumah Salakit, melalui silsilah yang secuplik telah dibacakan di atas, ingin menegaskan bahwa mereka adalah keturunan raja yang dengan kecerdikannya mendatangkan kemaslahatan untuk masyarakatnya.Mereka kehilangan haknya sebagai pemerintah yang arif sejak Belanda mengangkat marga lain yang dekat dengannya menjadi raja. Apa yang mereka kehendaki adalah apa yang sejak awal seharusnya tak pernah berpindah dari tangan mereka, kembali ke tangan mereka.Menyemai EpikKisah semacam bukanlah fenomena yang jarang kita temukan apabila kita menyelusuri desa-desa adat selepas otonomi daerah. Desa-desa diperkenankan mengatur negeri dengan adat-istiadatnya sendiri dan, yang terjadi, tak sedikit yang memilih untuk kembali dipimpin oleh keturunan para raja terdahulu alih-alih pejabat yang ditunjuk melalui suara populer.Semua ini, ironisnya meski saya tak tahu apakah lema ironis benar- benar tepat atau tidak berlangsung saat demokratisasi lantang-lantangnya diteriakkan di ruang-ruang pemerintahan makro. Namun, tentu saja naif apabila kita berpikir kepentingan-kepentingan lantas terbenam di bawah kepemimpinan sosok yang sekaligus dianggap kehendak dari masyarakatnya; desadesa adat menjadi kesatuan damai sentosa di bawah tatanan yang dianggap asali.Apa yang terjadi adalah ruang kontestasi politik perlahan-lahan menampakkan bentuk barunya di mana persaingan lumrah dimulai dengan mengungkit sejarah yang terlupakan, dan dalam sejarah ini terungkap kelompok lain pun mempunyai sumbangsih tak tergantikan untuk negerinya. Kelompok-kelompok, yang biasanya berbasis marga, menggalang dukungan dengan mereka cipta narasi dari penggalan- penggalan epos yang sudah terlebih dahulu akrab dipahami.Epos-epos, dengan sendirinya, mengalami proliferasi dalam skala yang janggal untuk kita temukan pada era yang kita sebut modern; apalagi apa yang menjadi rujukan untuk merekonstruksi kejayaan masa lalu marga-marga ini bukanlah sumber sejarah yang bisa dipastikan keterandalannya. Terkadang, cerita yang menjadi tumpuan untuk melakukan mobilisasi politik bahkan datang dari seseorang yang dirasuki oleh roh nenek moyang.Apabila ada yang memprihatinkan situasi ini, sayangnya, ia tampaknya masih harus menanggung kecewa untuk beberapa waktu ke depan. Narasinarasi tersebut masih akan terus menjadi sangat nyata untuk para pengusungnya, pasalnya ia adalah pertaruhan mereka untuk piala yang luar biasa. Pemerintahan desa berwenang memiliki rumah tangganya serta mengelola anggaran, bantuan, dana yang dikucurkan pusat dan hal ini sendiri yang mungkin baru sebagian dari keuntungannya merupakan piala yang cukup memikat.Dengan kenyataan perekonomian tak sedikit desa masih bertumpu pada pekerjaan-pekerjaan dari pemerintahan, sang pemenang artinya tak sekadar memperoleh jabatan. Ia akan memperoleh perkakas-perkakas yang dibutuhkan untuk menggerakkan geliat desa dan, bila cukup lihai, menggulirkannya untuk memantapkan kedudukan kulturalnya.Mungkin, sebagian tak akan sampai secakap itu memanfaatkannya. Namun, intinya, siapa yang tak tertarik dengan kedudukan sebagai pengatur kehidupan desa yang disediakan dan dijamin pemerintah? Dan, yang kini bisa kita coba mulai bayangkan adalah jawaban untuk pertanyaan, apa yang akan terjadi apabila dana desa dengan nilai sebesar Rp1 miliar mulai dikucurkan pada 2016?Saya curiga, pada hari-hari di mana privilese mengelola uang sebesar itu aman berada di tangan para raja terpilih, dinamika politik tak akan bergulir lagi dengan wujud yang akrab kita kenali. Di atas sana di Ibu Kota politik boleh jadi masih akan disibukkan dengan platform yang tampak molek dan, tentu saja, citra pribadi.Tapi, di bawah sini, mungkin masa depan politik terletak pada sagasaga para raja dan pendahulunya. Mungkin saja. *) Tulisan ini terinspirasi dari penelitian bersama tim, ”Relasi Lintas Budaya Masyarakat Pendatang dan Masyarakat Setempat di Seram Utara,” dengan hibah Dikti. Nama figur historis dan marga disamarkan.Sosiolog, Peneliti LabSosio FISIP UI,Bergiat di Koperasi Riset Purusha
(bhr)