Pemberdayaan Petani

Jum'at, 23 Oktober 2015 - 12:33 WIB
Pemberdayaan Petani
Pemberdayaan Petani
A A A
Hari Pangan Sedunia (HPS) yang dimulai sejak tahun 1981 memilih tanggal peringatannya setiap 16 Oktober, bertepatan dengan hari lahirnya FAO.Seluruh negara anggota FAO termasuk Indonesia memperingati HPS dalam rangka menurunkan angka kelaparan yang saat ini jumlahnya mencapai 900 juta jiwa di seluruh dunia. Fokus perhatian peringatan HPS 2015 ialah kedaulatan pangan. Perayaan secara nasional yang mengangkat tema ”Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan” diharapkan, sektor pertanian dapat menggerakkan ekonomi kerakyatan lewat kepedulian warga terhadap nasib pangan berbasis sumber daya lokal.Di tengah kemiskinan petani, kita lebih memihak pada pangan impor dengan sejumlah alasan kepraktisan yang pada gilirannya petani sebagai penggerak ekonomi semakin tidak berdaya di tengah era perdagangan bebas ini.TerlupakanImplikasi tema HPS 2015 sejalan dengan pertambahan penduduk yang masih tinggi. Jumlah mulut yang perlu diberi makan meningkat sekitar 4 juta jiwa setiap tahun. Pertambahan ini juga harus diikuti perbaikan produksi pangan dari sektor pertanian. Sayangnya, perdebatan tentang cara meningkatkan produksi pangan terbagi dan terbelah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung pertanian modern dengan perdagangan bebasnya dan pertanian konvensional dengan pengembangan pangan lokal dan pertanian organik.Pihak yang mendukung pertanian modern berpendapat bahwa mekanisasi, teknik pengairan, pupuk pabrikasi dan perbaikan genetika dapat meningkatkan produksi pangan untuk membantu memenuhi permintaan yang bertambah setiap tahun. Sementara, pendukung pertanian lokal dan organik dapat menaikkan hasil secara signifikan dan mengentaskan diri dari kemiskinan, dengan memakai teknikteknik yang lebih menyuburkan tanah tanpa pupuk sintetik dan pestisida.Mencermati kedua pandangan di atas, pemerintah harus memiliki strategi induk pembangunan pertanian yang memberi arah pengembangan ke bioindustri mulai dari hulu hingga hilir. Pertanian bioindustri menempatkan ruang pemanfaatan biomassa untuk penyediaan energi, pupuk dan pestisida. Pendekatannya butuh pola pengelolaan terpadu yang bisa meningkatkan produktivitas, perbaikan teknologi pengolahan pasca panen dan pengembangan produk pangan baru guna mengatrol daya saing dan nilai tambah.Diharapkan, dengan arah yang jelas seperti ini petani akan menjadi manajer di usaha taninya, sekaligus dapat menggerakkan ekonomi kerakyatan berbasis wilayah. Namun jika ditelisik tentang seberapa maju sektor pertanian di negeri agraris ini dalam 10 tahun terakhir, dapat disebut sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar ini terkesan dilupakan di tengah perkembangan sektor industri dan teknologi informasi dalam perjalanan kemajuan bangsa.Kontribusi sektor pertanian semakin menurun terhadap PDB. Pada 2010 kontribusinya masih sebesar 15,3%, kemudian menurun menjadi 14,4% pada tahun 2013. Hal ini disebabkan kian tingginya alih fungsi lahan pertanian dan menurunnya tingkat produktivitas lahan. Sekedar contoh, produktivitas padi dua tahun terakhir trennya makin melandai meski sudah menggunakan teknologi modern. Pada tahun 2012 masih bertengger pada angka 51,36 ku/ha lalu pada tahun 2013 peningkatannya relatif stagnan pada posisi 51,52 ku/ ha (BPS, 2014).Stagnasi produksi seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk mendorong petani meningkatkan kapasitas produksinya. Memberikan ruang lebih besar bagi penciptaan tenaga kerja di sektor pengolahan (hilir) untuk mendongkrak pendapatan petani lebih baik. Selama ini produk pertanian berhenti pada komoditas primer. Kalaupun diolah, tidak sampai memberikan nilai tambah yang tinggi. Signifikansinya untuk mengatrol kesejahteraan petani masih rendah.Konsekwensi logisnya ruang gerak usaha petani terbatas. Mereka terkonsentrasi hanya di sektor hulu atau budi daya. Tingkat kesejahteraan petani yang jumlahnya sekitar 38 juta angkatan kerja-satu kepala keluarga petani menanggung lima anggota keluarga- masih jalan di tempat. Hal ini membuat sulit menekan angka kemiskinan di Indonesia. Apalagi sebagian besar petani sudah berusia lanjut dan berpendidikan rendah. Mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian ratarata berusia 49-50 tahun.Mereka sebagian tamat SD dan tidak tamat SD, sehingga kemampuannya bercocok tanam mengandalkan naluri. Dari hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (2013) ternyata sektor pertanian secara nasional rata-rata hanya menyumbang pendapatan rumah tangga petani 47%. Pendapatan petani dari sektor pertanian per tahun hanya Rp12,50 juta per rumah tangga petani.Apabila dihitung rata-rata pendapatan bulanan, tingkat pendapatan petani masih lebih rendah daripada upah minimum daerah terendah di Indonesia, sebesar Rp1,2 juta per bulan. Tingkat pendapatan petani yang makin menurun dari tahun ke tahun mendorong petani mulai meninggalkan usaha di sektor pertanian dan beralih ke sektor lain.Fenomena perpindahan ini sesuai dengan hasil sensus pertanian 2013, jumlah petani gurem dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013) berkurang 5,1 juta rumah tangga petani, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013. Mereka terpaksa menjual lahan dan beralih profesi karena hidup dan kehidupannya semakin termarginalkan. Jika situasi demikian terus berlangsung, itu artinya pengawal kedaulatan pangan di negeri ini akan semakin defisit jumlahnya dan Indonesia akan masuk ke dalam kondisi darurat pertanian.Harus ada program khusus menggalakkan pertanian agar diminati kaum muda. Generasi muda sekarang tidak tertarik lagi bekerja di sektor pertanian, ini harus diubah sehingga mereka senang bertani. Pemerintahan Jokowi-JK harus mampu memotivasi generasi muda agar terjun ke dunia petani, dengan memberi insentif untuk membuka usaha di bidang pertanian.Ekonomi KerakyatanPembangunan pertanian yang mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan harus terintegrasi dengan pengembangan produk pangan baru yang memiliki kualitas hasil yang baik, nilai tambah dan memiliki daya saing saat memasuki pasar MEA 2015. Pengintegrasian ini diharapkan dapat mengurangi beban sektor pertanian yang kian berat. Sektor ini tidak hanya menanggung surplus tenaga kerja, tetapi juga beban kemiskinan.Selama 10 tahun terakhir pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat makin melemah. Pangan impor terus membanjiri pasar domestik yang berdampak pada kesejahteraan petani lokal yang makin menurun. Indonesia semakin terperangkap masuk ke dalam jaring pangan impor berbiaya mahal.Revitalisasi pertanian ternyata tidak membawa perubahan dalam cara kita mengelola pembangunan ketahanan pangan. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor pangan strategis seperti beras, daging sapi, gula, jagung dan kedelai. Para elite politik dan ekonomi terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan pangan warga. Sungguh ironis ketika Indonesia sudah merdeka 70 tahun dan memiliki kekayaan sumber daya pangan lokal tetapi masih mengandalkan pangan impor untuk memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat.Guna menciptakan daya tarik di sektor pertanian, pemerintah harus mendorong hilirisasi pertanian secara terencana dan lebih baik. Hilirisasi akan memberi nilai tambah produk pertanian, meningkatkan daya saing dan membuka lapangan kerja melalui industrialisasi hasil pertanian. Tugas mulia ini menjadi kewajiban pemerintahan Jokowi-JK untuk lima tahun ke depan. Indonesia butuh pertanian untuk memenuhi kecukupan pangan rakyatnya.Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan program hilirisasi pangan nonberas berbasis umbi-umbian dan kacang-kacangan sebagai bentuk keprihatinan terhadap tingginya impor bahan baku tepung terigu dan kedelai. Fasilitas berlebihan selama puluhan tahun untuk importir gandum, seperti bea masuk 0 persen dan pelabuhan khusus gandum, telah menghambat upaya bangsa Indonesia membangun kemandirian pangan.Gandum juga telah membuat rakyat Indonesia terjebak pada produk turunannya sehingga abai meningkatkan produksi pangan yang bisa dihasilkan di Tanah Air sendiri. Hilirisasi pangan lokal untuk memproduksi beras analog berbasis umbi-umbian dan sagu misalnya akan dapat mengurangi tingkat konsumsi beras secara signifikan dan mereduksi ketergantungan yang tinggi terhadap beras impor dan terigu sebagai bahan baku roti.Berjalannya program hilirisasi pertanian harus dibarengi suplai bahan baku di dalam negeri. Jika tidak akan berpotensi meningkatkan impor bahan baku. Untuk itu, koordinasi lintas kementerian mutlak dilakukan untuk percepatan pemberdayaan petani yang mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan menuju kedaulatan pangan.Jika pemberdayaan petani berhasil lima tahun ke depan, maka Indonesia tidak perlu lagi mengimpor beras dan berbagai pangan lainnya.Posman SibueaGuru Besar Ilmu Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0627 seconds (0.1#10.140)