Rupiah dan Defisit Migas

Kamis, 15 Oktober 2015 - 12:38 WIB
Rupiah dan Defisit Migas
Rupiah dan Defisit Migas
A A A
Seperti dibelai angin surga, kesegaran sesaat menghampiri perekonomian negeri ini pada pekan silam. Selama 7 hingga 9 Oktober 2015 rupiah menunjukkan penguatan berarti.Jumat (9/10) sore, Bloomberg melaporkan, perdagangan rupiah ditutup di level Rp13.412/ USD. Level tersebut merupakan kenaikan 475 poin dibanding penutupan perdagangan sehari sebelumnya, di posisi Rp13.887/ USD. Jika dihitung selama sepekan, sampaiSenin(12/10) rupiah mengalami penguatan tertinggi di dunia, senilai 8,16%.Padahal, sebelumnya rupiah ambruk dan menyentuh level Rp14.700/ USD–melemah 15,30% sejak awal tahun–dan merupakan pelemahan terdalam sejak 1998. Terang saja penguatan rupiah patut disyukuri kendati itu tidak berarti banyak. Penguatan jelas lebih disebabkan faktor eksternal. Rilis data perekonomian Amerika Serikat, medio pekan silam, yang menunjukkan masih tingginya pengangguran disana, menyiratkan belum pulihnya ekonomi Amerika.Pasar lantas meyakini, suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika) masih belum akan dinaikkan hingga waktu lebih lama dari perkiraan. Maka itu, dolar bertebaran kembali dari kandangnya menuju pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Rupiah pun lantas menguat. Sentimen eksternal ini rupanya lebih mujarab ketimbang aksi Bank Indonesia (BI) yang melakukan operasi pasar untuk stabilisasi rupiah.BI melaporkan cadangan devisa pada akhir September tercatat tinggal USD101,7 miliar. Turun dari posisi sebulan sebelumnya yang mencapai USD105,3 miliar. Penurunan tersebut, selain ditujukan untuk pembayaran utang, juga dipakai untuk stabilisasi rupiah. Namun, sepanjang kurun September 2015 rupiah malah melemah hampir 4%. Untungnya, BI terus menggelontorkan cadangan dolar hingga lewat pekan pertama Oktober 2015.Kali ini aksi BI bersambut dengan rilis data ekonomi Amerika tadi sehingga dampaknya lebih signifikan. Rupiah pun seketika berotot. Di Bursa Efek Indonesia (BEI) harga saham sejumlah emiten yang sudah mulai murah juga membuat banyak investor asing– yang terpengaruh sentimen di Amerika–tertarik untuk kembali melantai di Jakarta.Maka itu, saham-saham seperti Astra Agro Lestari (AALI), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), dan Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) mencatatkan kenaikan harga yang berarti. Ada pula aksi korporasi oleh PT HM Sampoerna yang mencatatkan right issue senilai Rp21 triliun. Gongnya adalah pengumuman Paket Kebijakan Ekonomi III oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kendatibelumbisadipastikan efeknya dan masih punya timelag yang cukup panjang, pengumuman ini dianggap turut mendorong sentimen positif atas penguatan mata uang republik.Memasuki awal pekan yang baru, situasi sepertinya sudah kembali ”normal”. Data Bloomberg mencatat, pada Senin (12/10) pagi rupiah dibuka melemah 20 poin atau 0,15% ke posisi Rp13.432/USD. Pada sore harinya, Bloomberg mencatat, rupiah memang kembali menguat. Tapi, sudah seadanya– hanya 0,03%– ke level Rp13.408/ USD. Pada Selasa sore rupiah kembalim melemah ke angka Rp13.638/USD.Alhasil, ibarat prajurit di medan perang, perekonomian Indonesia harus siap-siap kembali tiarap, bertahan menghindari desingan peluru lawan. Amunisi kita terbatas. Di depan mata saja sudah akan ada dua kali pertemuan Federal Open Market Committee The Fed pada Oktober dan Desember 2015. Dari situ ada kemungkinan suku bunga The Fed akan dinaikkan. Rupiah tetap dalam ancaman.*** Fundamental rupiah memang rentan. Rupiah sudah melemah lebih dari empat tahun. Pada 2 Agustus 2011 rupiah mencatatkan penguatan di level Rp8.460/USD. Setelahnya mata uang kita terus lunglai hingga posisi saat ini. Pelemahan yang berlangsung selama lebih dari empat tahun jelas menyiratkan masalah besar.Iman Sugema, dalam sebuah konferensi pers oleh INDEF pekan silam, menyebutkan, depresiasi berkepanjangan biasanya terkait dengan memburuknya fundamental nilai tukar yaitu neraca pembayaran alias balance of payment (BOP). Faktor eksternal berperan membuat keadaan menjadi lebih buruk belaka. BOPmencerminkanpasokan dan permintaan valuta asing di sebuah negara.Bruno Solnik (2000) menyatakan, BOP merupakan variabel utama untuk menyusun pemodelan ekonomi atas nilai tukar. Kita tahu, BOP meliputi neraca transaksi berjalan plus neraca transaksi modal dan finansial. Selama empat tahun terakhir tekanan muncul pada neraca transaksi berjalan. Pada 2013 defisit neraca transaksi berjalan mencapai USD29,11 miliar. BOP kala itu minus USD7,36 miliar.Pada kuartal kedua 2015 defisit transaksi berjalan mencapai USD4,48 miliar atau 2,05% atas PDB. Lantas, BOP pada Q2-2015 terhitung defisit USD2,93 miliar. Defisit BOP dipengaruhi kuat oleh defisit perdagangan migas, utamanya minyak. Sejak September 2011 transaksi migas kita tekor sehingga menekan BOP. Pada kuartal kedua 2015 defisit migas tercatat USD2,12 miliar. Angka ini setara dengan 47,32% defisit neraca transaksi berjalan. Defisit migas pada Q2-2015 juga mencapai 72,35% defisit BOP.Alhasil, untuk membuat BOP surplus lantas mendorong penguatan nilai tukar rupiah sehingga keseimbangan BOP tercipta pada posisi kurs yang lebih baik, diperlukan upaya menghentikan defisit migas. Selama ini defisit migaslah yang membuat permintaan valas menjadi sangat tinggi. Toshiki Kanamori dan Zhijun Zhao (2006) menegaskan, jika permintaan valas lebih tinggi dari pasokannya, BOP akan defisit dan harga mata uang domestik akan melemah.Untuk mengatasi defisit migas, tak ada cara lain, kita harus mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Usulan mengembangkan kilang minyak di dalam negeri demi mengurangi impor BBM sepertinya tidak akan cukup mengurangi defisit migas secara signifikan karena konsumsi BBM tidak akan terkoreksi. Begitupun upaya menaikkan harga BBM yang selama ini terbukti tidak cukup memangkas konsumsi BBM.Pemerintah harus ”memaksa” konsumen untuk mengubah konsumsi energinya dari BBM ke jenis energi lain seperti gas atau batu bara yang lebih murah dari BBM, banyak terdapat di dalam negeri, sehingga tidak akan mengakibatkan defisit migas yang menekan BOP. Konversi dari BBM ke BBG untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik serta konversi dari BBM ke Batubara untuk pembangkit dan industri tak bisa ditawar lagi. Pemerintah mestinya punya kemampuan untuk itu.Pasar energi merupakan pasar yang dikuasai penjual dan pemerintah punya akses sepenuhnya untuk mengatur pasokan. Konsumen hanya bisa menerima jenis energi yang sudah diatur pemerintah. Keberhasilan konversi minyak tanah ke LPG bersubsidi yang digarap pemerintahan SBY-JK beberapa tahun lalu membuktikan sinyalemen itu. Sudah saatnya pemerintah menggulirkan program konversi energi dalam skala lebih luas.Sejak dicanangkan nyaris sepuluh tahun silam, upaya konversi BBM ke BBG transportasi tidak pernah berjalan optimal. SPBG yang terbangun tak sampai 20 unit–sementara jumlah SPBU sudah hampir 6.000 unit. Padahal, program konversi BBM kendaraan bermotor mendapat sambutan baik–terbukti dari banyaknya kendaraan yang bersedia memakai converter untuk bisa menggunakan BBG. Regulasi, infrastruktur, dan penyusunan skala bisnis atas program ini memang tak pernah serius digarap.Akan jadi bermakna jika konversi energi BBM ke BBG dan batubara masuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi IV yang akan digulirkan pekan ini. Keren jika di sana ada aturan yang bisa mendorong iklim investasi yang oke, aturan tentang harga gas asal, harga gas end user, dan standardisasi harga jual untuk SPBG.Apalagi jika pemerintah menetapkan kebijakan terhadap produksi kendaraan yang menggunakan BBG. Pun, pastikan pembangunan pembangkit listrik menggunakan BBG, setidaknya batu bara. Dengan begitu, kita bisa berharap rupiah menguat secara fundamental.Hardy R HermawanAlumni Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB, Wartawan MNC Media
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6522 seconds (0.1#10.140)