Solusi Pangan Perikanan

Rabu, 30 September 2015 - 16:06 WIB
Solusi Pangan Perikanan
Solusi Pangan Perikanan
A A A
Sebagai negara kepulauan terbesar dan terjangkar di garis khatulistiwa, bangsa Indonesia tidak semestinya (terus-menerus) mengalami kekurangan pasokan pangan.Selain mendapati protein hewani dan pertanian di darat, Ibu Pertiwi juga menyediakan pangan perikanan dari laut. Laporan Organisasi Pangan danPertanian(FAO) termutakhir mengungkap lebih dari 250 juta anak di dunia memiliki risiko kekurangan vitamin A, sebanyak 200 juta orang menderita penyakit gondok karena kekurangan yodium, lebih dari 30 persen penduduk dunia kekurangan zat besi, dan 800.000 anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan zat seng.Di Indonesia sebanyak 54% konsumsi protein hewani bersumber dari ikan. Meski angka ini relatif lebih rendah dibanding Bangladesh (56), Sri Lanka (57), Kamboja (65), dan Maladewa (71), perkembangan konsumsi ikan per kapita rakyat Indonesia menunjukkan pertumbuhan rata-rata 4% setiap tahunnya.Program kampanye Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) yang diluncurkan pertama kali pada 2004 oleh Presiden RI Ke-5 Megawati Soekarnoputri; dan dilanjutkan pada dua periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhonono telah berhasil mendongkrak konsumsi ikan per kapita rakyat Indonesia: dari kurang 23 kg per tahun menjadi lebih dari 35 kg pada 2013. Celakanya, prestasi pemerintah mengajak masyarakat meningkatkan konsumsi ikan, belum diimbangi kesungguhan membenahi sistem logistik pangan perikanan di Tanah Air.Tantangan IklimPerbaikan sistem logistik ikan nasional harus dilihat secara lebih komprehensif dari sekadar pembangunan fisik gudang penyimpan ikan (cold storage). Terlebih lagi, sebanyak 60% lebih dari infrastruktur pelabuhan perikanan dan Unit Pengolahan Ikan (UPI) terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera saja.Pertama, menjaga kontinuitas produksi di tengah tren konsumsi ikan yang masih akan terus tumbuh. Buku Statistik Kelautan dan Perikanan 2014 (kembali) menjabarkan estimasi potensi perikanan tangkap di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan RI mencapai 6,5 juta ton.Selain jumlahnya sudah sangat terbatas, produksi perikanan tangkap juga sedang mengalami perlambatan akibat ”strategi-buntu” pemerintah memberantas aktivitas perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF).Proses penegakan hukum mengambang dan nyaris setahun tanpa solusi seperti ketiadaan skema peralihan penggunaan alat tangkap ikan ke ramah lingkungan, ketiadaan solusi penyediaan benih untuk pembesaran lobster, ketiadaan alternatif kapal angkut untuk membawa dan membeli ikan di pulau-pulau kecil dan perbatasan, dan seterusnya telah menyebabkan ribuan armada perikanan tidak melaut, pendapatan negara bukan pajak tahun ini gagal bertambah, produksi-konsumsi terhambat, hingga banyaknya nelayan dan pembudi daya terpaksa menganggur.Keterpurukan ekonomi semacam ini di antaranya dapat dijumpai di sepanjang Pantai Utara Jawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau. Alternatif lain adalah mendorong peningkatan produktivitas perikanan budi daya.Celakanya, dari lebih 17 juta hektare lahan yang berpotensi untuk pengembangan perikanan budi daya, baik berupa tambak, kolam, perairan umum, maupun mina padi baru 8% atau kurang dari 1,3 juta hektare saja termanfaatkan. Itu pun produktivitasnya terbilang rendah yakni hanya sekitar 1 ton per petambak per tahunnya.Tantangan lainnya datang dari perubahan iklim yang di antaranya ditandai fenomena El Nino atau musim kering yang semakin panjang. Jika di darat El Nino berdampak pada mundurnya musim hujan dan terganggunya produksi pangan, justru sebaliknya di laut. Perairan Indonesia yang setiap musim timur dilalui udara kering dari Australia akan mengalami up-welling atau naiknya massa air dari lapisan bawah ke permukaan.Dampak positifnya, kesuburan perairan di sekitar Selatan Jawa, Selat Makassar, Barat Sumatera, dan Laut Banda berpeluang meningkat sejalan dengan terangkatnya nutrien ke kolom dan permukaan air. Di Kabupaten Cilacap dan Kebumen Jawa Tengah misalnya setelah dilanda paceklik hampir setahun terakhir, kini nelayan mulai memasuki musim panen ikan (Kompas, 3/9).Meski dampak El Nino tidak selalu negatif bagi negara kepulauan seperti Indonesia, pemerintah belum juga mensinergi efek positif El Nino ke dalam strategi pengembangan ekonomi dan pangan nasional.Keluar dari PerangkapOrganisasi Pangan dan Pertanian (2014) menjelaskan bahwa mengonsumsi ikan dapat menyediakan kebutuhan energi, protein, dan nutrisi penting bagi tubuh manusia. Memakan ikan dapat memberi kesehatan optimal bagi ibu hamil, meningkatkan kecerdasan otak bagi anak-anak, bahkan menghindari penyakit jantung koroner bagi usia lanjut.Untuk kepentingan itulah, pemerintah tidak boleh cepat puas dan terperangkap dalam aksi penenggelaman kapal pencuri ikan. Partisipasi nelayan untuk beroperasi di seluruh perairan Indonesia adalah kunci keberlanjutan pemberantasan pencurian ikan. Rencana KKP membangun lebih dari 3.000 kapal ikan baru melalui APBN 2016 perlu didukung sekaligus dikawal dengan 2 kondisi.Pertama, memperbaharui (bukan menambah) armada-armada perikanan berbobot kecil dengan kapal yang lebih aman, efektif, dan efisien. Rencana pemerintah melakukan konversi penggunaan BBM kapal ikan ke gas, seperti telah tertuang di dalam RPJMN 2015-2019 maupun Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I ala Presiden Jokowi, dapat disinergikan ke dalam program pengadaan 3.000 kapal tersebut.Kedua, menambah armadaarmada ikan di atas 50GT untuk beroperasi secara berkelanjutan di perairan ZEEI. Produktivitas perikanan budi daya juga harus ditingkatkan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Mulailah dengan memperkuat sinergi antarlembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat.Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu kolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan organisasi-organisasi nelayan guna memperluas jangkauan pemulihan ekosistem pesisir. Hanya dengan lingkungan bersih dan sehatlah, kegiatan budi daya perikanan dapat berkembang ke arah optimal.Lalu, bekerja sama dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan lembaga-lembaga riset relevan untuk mendukung lahirnya tenaga kerja terampil serta teknologi penghasil benur maupun pakan yang sehat dan murah di desa-desa pesisir. Ke depan desadesa pesisir tidak boleh (lagi) sekadar tempat mengambil dan menyimpan bahan baku perikanan.Sebaliknya, haruslah menjadi sentra inovasi, pusat peningkatan nilai tambah, dan tenaga kerja terampil. Pada konteks itulah negara berkewajiban membatasi keterlibatan asing dalam usaha hilir perikanan. Sinergi dengan pemerintah daerah juga diperlukan, khususnya dalam proses penyusunan tata ruang laut guna memastikan kawasan perikanan budi daya darat dan laut terhindar dari bahaya pencemaran dan gangguan pembangunan lainnya.Terakhir, ikhtiar menyelamatkan pangan perikanan hanya akan menjadi solusi bagi Indonesia bila (sedari awal) pemerintah percaya dengan kekuatan rakyatnya sendiri.M RIZA DAMANIKKetua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3403 seconds (0.1#10.140)