Logika Hukum Peristiwa Mina

Selasa, 29 September 2015 - 13:26 WIB
Logika Hukum Peristiwa...
Logika Hukum Peristiwa Mina
A A A
Kamis, 24 September 2015, tercatat dalam sejarah haji sebagai peristiwa Mina. Korban jiwa tak kurang dari 1.200 orang, di antaranya 45 jamaah haji Indonesia.Keluarga di Tanah Air banyak didatangi pelayat untuk takziah memberikan ucapan belasungkawa. Lazim dan manusiawi ketika ada saudaranya wafat suasana sedih menyelimuti rumah duka. Saya melihat ada suasana berbeda dan unik untuk syuhada peristiwa Mina. Diterimanya sebagai takdir Ilahi, diiringi sabar dan tabah.Duka sejenak segera diikuti syukur atas kemudahan kepulangan saudaranya menghadap Ilahi Robbi. Surga diyakininya menjadi tempat kembali. Itulah keyakinan dan idaman setiap manusia. Wafatnya seorang haji adalah pengakhiran kehidupan di dunia dengan kebaikan (husnul khatimah ) untuk melanjutkan perjalanan menghadap Sang Pencipta. Keunikan bernuansa religius itu mengusik hati-nurani saya untuk tidak gegabah menyebut peristiwa Mina sebagai tragedi atau musibah.Pada dimensi transendental, banyak berkah dan hikmah amat bermakna, baik bagi syuhada atau siapa pun (termasuk penyelenggara haji, jamaah haji, dan calon haji). Sangat disayangkan bila peristiwa Mina memunculkan friksi, saling menyalahkan, mengambinghitamkan pihak lain. Saran konstruktif tentu amat berharga agar manajemen penyelenggaraan haji dari sejak di Tanah Air, ketika berada di Tanah Suci, sampai kembali ke Tanah Air semakin baik. ***Terlepas dari aneka respons spontan, dipandang perlu mengajak semua pihak untuk memandang peristiwa Mina dengan optik logika hukum. Hemat saya, dikenal tiga logika hukum. Apabila ketiga-tiganya digunakan untuk berpikir secara jernih dan utuh, insya Allah dapat diperoleh pemahaman utuh dan mendalam atas peristiwa Mina sehingga keutuhan kehidupan antara makhluk dan Khlaik terjaga.Pertama, logika hukum linier, dispassionate . Dengan perangkat akal, manusia mampu berpikir tentang kehidupan. Cara berpikirnya, dianalogikan dengan komputer. Akal yang terletak di otak dianalogikan rangkaian kabel yang berfungsi sebagai neural tracts. Setiap neurone dalam rangkaian seri bisa dinyalakan atau dimatikan. Ketika dinyalakan, semua komponen tersambung dan berfungsi sehingga komputer bekerja.Sebaliknya, ketika dimatikan, semua komponen berhenti bekerja. Apabila ada satu bagian kecil saja komponen rusak, seluruh rangkaian kabel bisa menjadi disfungsi. Begitulah serial berpikir linier berlangsung. Mampu menghasilkan kesimpulan accurate, precise, dan reliable. Dapat diduga, penyelenggara maupun jamaah haji telah mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh.Interaksi antara penyelenggara dan jamaah haji akan berlangsung dengan lancar, tertib, dan teratur bilamana masing-masing disiplin, taat pada aturan, sebagaimana posisi dan fungsi komponen komputer. Melihat kenyataan ada peristiwa Mina dan itu di luar perkiraan atau program logika hukum linier menyatakan, ada orang-orang ataupun bagian dari sistem penyelenggaraan haji yang disfungsi.Siapa mereka dan karena sebab apa? Itulah yang dicari untuk ditemukan, sekaligus nanti diperbaiki. Kedua, logika hukum asosiatif. Berpikir asosiatif adalah berpikir tentang berasosiasinya dua hal sebagai kepastian. Misal: haus-minuman, cepat-dapat, kuat-menang, lemah-korban, haji-surga. Ketika berpikir asosiatif, otak tidak bekerja sendiri, melainkan didukung hatinurani (heart) sebagai inisiator, dan raga (body) sebagai penguat.Berpikir asosiatif tentang peristiwa Mina diawali dari hatinurani yang terusik untuk berkontribusi agar siapa haus segera mendapatkan minuman, siapa cepat selesai berhaji segera beralih ke acara be-rikutnya, siapa berhaji mabrur segera mendapatkan surga. Hati-nurani pun terusik untuk mengingatkan, jangan terjadi adu kekuatan untuk kemenangan, apalagi menimbulkan korban.Berpikir asosiatif, oleh karena itu, membuka cakrawala lebih luas, memperhatikan kemajemukan jamaah haji, dinamika situasi- kondisi yang berlangsung cepat. Boleh jadi, jadwal lempar Jamarat dilanggar, jalan lain diserobot, terpaksa berhenti berjalan karena kecapaian. Itulah dinamika kondisi-situasi. Janganlah berburuk sangka, menuduh jamaah haji tidak disiplin, atau petugas lalai.Berpikir asosiatif akan berbuah keluwesan, toleransi, mampu memahami keberagaman budaya bangsa-bangsa lain, tidak terjebak antara benar atau salah. Ketiga, logika hukum spiritual. Ibadah haji bukan sekadar ritual fisik-duniawi, melainkan mencakup juga hubungan vertikal dengan Allah SWT.Manasik haji diajarkan agar prosesi haji berjalan lancar, tertib, dan benar. Tetapi, otorita manusia sebatas usaha, sementara kepastian, hasil, dan takdir otorita AllahSWT. Berpikirspiritualmerupakan aktivitas memahami secara utuh-menyeluruh rangkaian ibadah haji, dari tuntunannya, ritualnya, prosesinya, sampai muaranya. Muara terbaik adalah haji mabrur. Bagi yang pernah berhaji, tentu banyak pengalaman spiritual.Keseluruhannya merupakan bukti-bukti kebenaran ajaran Islam. Katakanlah, ada orang jujur pasti mujur, dan orang kufur pasti mendapatkan siksa berat. Kejadian-kejadian tersebut bernilai tinggi dalam rangka memperteguh keimanan masing-masing. Di sinilah berpikir spiritual menjadi penting agar kewajiban berhaji satu kali seumur hidup dapat berhasil (mabrur), jangan sampai tertolak.Bagaimana berpikir spiritual tentang syuhada peristiwa Mina? Kematian adalah prerogatif Allah SWT. Datangnya tak dapat dimajukan ataupun diundurkan. Mereka mati syahid. Peristiwa Mina adalah ayatayat Allah SWT yang insightful dan intuitif, sarat makna. Dapat dimaklumi, sesaat kedukaan keluarga korban, segera diikuti sikap sabar, tabah, dan syukur.Akhirnya, logika hukum perlu digunakan secara terpadu, holistik, janganlah parsialistik, sepotong-sepotong. Kita yakin peristiwa Mina sarat hikmah dan manfaat untuk peningkatan keimanan dan penyelenggaraan haji tahuntahun yang akan datang. Wallahualam.PROF DR SUDJITO SH MSIGuru Besar Ilmu Hukum UGM Utang
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0727 seconds (0.1#10.140)