Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer

Jum'at, 18 September 2015 - 19:07 WIB
Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer
Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer
A A A
Di usianya yang ke-65 tahun, organisasi Fatayat NU dituntut untuk terus berbenah. Kiprahnya dibutuhkan bukan sebatas menyangkut isu-isu kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, namun lebih dari itu, Fatayat NU juga harus tampil lebih menarik dan hadir dalam isu-isu kontemporer yang lebih luas.

Dengan jumlah anggota mencapai enam juta orang yang mengakar di tingkat grassroot, Fatayat NU adalah garda depan pergerakan perempuan yang sangat potensial. Komitmen dan kerja nyatanya terkait upaya membangun kesadaran kritis kaum perempuan, mewujudkan kesetaraan, mengadvokasi korban perdagangan anak hingga buruh migran sudah cukup dibuktikan.

Berbagai masalah dan ketertinggalan perempuan NU terutama di desa-desa jelas masih banyak dan menjadi pekerjaan rumah bersama. Namun, kerja keras Fatayat NU terutama dalam dua dekade terakhir setidaknya telah berhasil meng-upgrade banyak hal. Contoh sederhana, kalau dulu sebatas konco wingking (teman di belakang), kini perempuan NU bahkan sudah tak asing dengan, taruhlah, pilihan politik berbeda dalam keluarga.

Kesadaran politik ini, di level berikutnya seiring demokratisasi, berlanjut pada perebutan ruang-ruang publik. Melalui kader- kadernya yang terdistribusi di pemerintahan, di lembaga legislatif, dan lembaga tinggi negara lainnya, keterlibatan Fatayat NU dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di pentas politik, juga sudah bisa dirasakan.

Saat ini lebih dari seratus kader Fatayat NU duduk sebagai anggota legislatif baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia. Namun, ini belum apa-apa. Tantangan kontemporer sesungguhnya jauh lebih kompleks dari semua itu. Saat ini tantangan besar Fatayat NU dalam menyelesaikan masalahmasalah kemasyarakatan berhadapan langsung dengan liberalisasi atau bahkan imperialisasi jenis baru di berbagai bidang.

Periode globalisasi ekonomi yang ditandai era perdagangan bebas ASEAN (MEA), mau tidak mau menciptakan tantangan baru yang simultan. Mulai dari tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik, tantangan ilmu pengetahuan, bahkan tantangan agama. Mengutip Fatima Mernissi (2008), memperjuangkan kemakmuran bukan hanya urusan kaum laki-laki, melainkan pada saat yang sama juga menjadi tugas kaum perempuan.

NU tentu tidak bisa sendirian menghadapi derasnya paham fundamentalisme dan radikalisme agama, yang infiltrasinya melalui dunia maya kian masif memengaruhi anak-anak muda kita. Demikian juga dengan liberalisasi agama di sisi lainnya, yang kalau mau jujur, pahamnya justru banyak digandrungi oleh kalangan muda.

Kalau dibiarkan, dua hal ini bukan saja bisa mengancam eksistensi NU secara organisasi dan jamaah, tetapi juga bagi keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa. Bersyukur Muktamar Ke-33 NU di Jombang telah meneguhkan Islam Nusantara sebagai instrumen besar untuk membangun peradaban Indonesia dan dunia.

Secara paradigmatik, tema ini mampu mengenalkan ciri Islam yang damai dan toleran, dengan lebih mudah ke khalayak luas. Bagaimana tema besar ini makin membumi, Fatayat NU perlu ambil bagian langsung di ruang ini. Tugas Fatayat NU sebagai neven terdepan NU ke depan adalah bagaimana berpikir dan bertindak lebih progresif.

Bagaimana kader aktif Fatayat NU yang tersebar di 34 pengurus wilayah (PW), di 423 pengurus cabang (PC/PCI), di 2.013 pengurus anak cabang (PAC), di 21.225 pengurus ranting (PR), dan di lebih 90 ribuan pengurus anak ranting (PAR) menjadi kekuatan ideologis yang dapat memainkan peran menghadapi arus kuat globalisasi.

Harus diakui, globalisasi adalah sebuah kecenderungan yang sulit dihindari. Perkembangan teknologi membuat arus informasi dengan derasnya memasuki semua sektor publik dan domestik. Ini, percaya atau tidak, telah mengubah sebagian besar kebiasaan hidup kita, dari mekanik ke digital. ”Dunia maya” yang beberapa waktu lalu sebatas anganangan, kini seolah menjadi ”realitas sebenarnya”.

Di sinilah, Fatayat NU perlu menata, merancang, dan mengagregasi sebuah gerakan, yang bisa menjadi acuan bagi setiap perempuan, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Fatayat NU harus mampu menunjukkan pada dunia sebagai entitas perempuan yang memiliki bekal kepemimpinan kuat, berkeadaban tinggi, dan yang mengerti Islam secara luas.

Untuk mengarah pada output tersebut, beberapa hal sudah dilakukan Fatayat NU. Sebagai fondasi misalnya Fatayat NU terus meningkatkan pelatihan- pelatihan kepemimpinan dasar di tingkat PC.

Jika dulu target pelatihan lebih banyak menyiapkan kader Fatayat untuk menata organisasi secara internal, sekarang dalam panduan yang baru, pelatihan Fatayat NU juga serius menyiapkan calon-calon pemimpin perempuan yang selain mampu memimpin di internal, juga siap memimpin organisasi publik di level yang lebih luas dan plural.

Demikian juga dengan great pelatihan kepemimpinan di tingkat nasional (lapimnas). Di luar peningkatan kaderisasi formal, Fatayat NU juga penting mengoptimalkan SDM kader yang ada. Kalau diidentifikasi, resources kader Fatayat NU sebenarnya luar biasa.

Saat ini ada puluhan kader Fatayat NU yang bergelar doktor dan ratusan lainnya lulusan Strata 2. Mereka tentu mempunyai keahlian dan bidang profesi beragam. Manajemen pengelolaan SDM ini juga penting untuk lebih memanggungkan lagi Fatayat NU di pentas global.

Betapa cantiknya tatkala dari rahim Fatayat NU lahir perempuan- perempuan pemimpin, intelektual, dan kalangan profesional, yang sanggup memberikan pengaruh positif bagi pembangunan karakter bangsa, bagi teguhnya Islam Nusantara, dan tentu saja bagi peradaban dunia.

Anggia Ermarini
Sekretaris Umum PP Fatayat NU
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6629 seconds (0.1#10.140)