Dibekap Asap
A
A
A
” Akar rotan bersesap-sesap Anak merpati dalam perahu Terbakar hutan menjadi asap Terbakar hati orang tak tahu”
Kemarau kali ini memang berat. Tapi, alhamdulillah, biarpun kering dan panas, aku masih bisa menyiram beberapa pokok pohon di pekarangan kecil depan rumah anak-anakku. Beda suasana dengan orangorang di Riau. Tidak sedikit dari mereka yang kini abai terhadap pantun tadi. Pantun klasik itu sesungguhnya mengajarkan manusia untuk baik-baik menata hati agar jangan mudah naik pitam.
Kalau pun darah naik ke kepala, jangan mudah lepas kendali. Jadi, bagi siapa pun yang menderita, simpanlah kesedihan di dalam hati. Pun bagi yang mendatangkan kepahitan, pandai-pandailah berempati dengan masuk ke dada orang yang terzalimi. Asap akibat pembalakan hutan seolah membuat pantun petuah tercampak ke tempat sampah.
Polusi dahsyat telah membuat agresivitas orang-orang Riau menyembul dalam ruparupa bentuk. Ada yang datang lewat kelakar. Foto sejumlah orang anak-beranak berjejer demonstratif mengenakan masker salah satunya. Betapa pun itu lenggak-lenggok belaka, foto itu malah menyebar pengap ke sekelilingku. Ajakan hoax untuk menjemur air di baskom juga sudah sejak awal tak kuanggap sebagai kejenakaan.
Semua tidak lucu. Semua menyebalkan! Ada pula yang menyemburkan kemuakannya dengan telanjang. ”Tolong kami, Bang. Sampaikan ke orang-orang Jakarta. Menunggu mati, kami ini.” Kusambut seketika, ”Mengamuk, mempermalukan, menantang.... itu cara komunikasi yang dipahami pejabat.” Dia membalas, ”Siapa lagi yang hendak diamuk? Sudah punah ranah.” Kujawab, ”Legislatif, eksekutif.
Tak dapatkah anggota Dewan asal Riau demonstrasi bersama-sama?” Kubayangkan si pemberang itu membelakangiku, nungging, lalu memelorotkan celananya, saat dia menutup obrolan via BlackBerry Messenger dengan umpatan, ”Tak ada gunanya mereka-mereka itu.” Tempo-tempo, di perumahan anak-anakku yang asri, asap pembakaran sampah dari kompleks tentara di seberang tembok menyelinap masuk ke rumahku.
Dulu, perumahan anak-anakku ini juga ”mengolah” sampah dengan cara kuno seperti itu. Kini sampah dimanfaatkan sedemikian rupa menjadi pupuk. Tapi, impor asap pada pagi hari dari kampung sebelah masih sesekali mengganggu. Sungguh sulit dinalar bahwa ketika matahari naik sembari menyebar udara segar, dan tatkala burung-burung pamer suara di ranting pohon, masih ada pihak yang dengan egoisnya merusak itu semua.
Empat buah hatiku pun terbatuk-batuk karenanya. Belajar dari pengalaman insidental menghisap asap pembakaran sampah, aku jadi paham kekesalan yang disemprot dari masyarakat di Riau sana. Mereka mengadu kepadaku adalah bukti bahwa suara mereka tak dianggap oleh pemerintah daerah. Pun setelah kusarankan untuk protes ke pemerintah pusat, justru itu dianggap percuma saja.
Aku mau bilang apa kecuali bahwa memanfaatkan napas yang tinggal satu-satu, orang-orang di Riau sana menyalak putus asa. Belum lama kubaca tulisan tentang bagaimana polusi bisa menurunkan tingkat kecerdasan. Nah, apa jadinya dengan orang-orang Riau yang setiap tahun–ya, setiap tahun–dipaksa selama berpekan-pekan mengisi paru-paru mereka dengan udara kotor?
Entah jangka pendek, entah jangka panjang, niscaya bakal terpengaruh juga otak orang-orang itu. Apabila itu yang terjadi, sungguh malang nasib Riau. Disebut-sebut sebagai provinsi dengan kekayaan sumber daya alam tertinggi setelah Papua, namun dihuni oleh masyarakat dengan kapasitas inteligensi yang meleleh teracuni asap pembalakan hutan.
Apa lagi sebutan yang tepat untuk menunjuk para pelaku dan otak pembalakan hutan itu kalau bukan penjahat lingkungan sekaligus penjahat kemanusiaan. Dan, dengan kejahatan berganda seperti itu, tidak ada sanksi yang lebih pas dari pada hukuman seberat-beratnya bagi para manusianya serta pembangkrutan paksa bagi perusahaannya.
Kerusakan alam di Riau ”diperburuk” oleh hujan yang tak kunjung datang. Seperti tulisku di awal tadi, kemarau tahun ini sangat panjang dan parah. Sungguh baik bahwa kemudian orang di Riau, sebagaimana di banyak tempat lainnya, tergerak untuk menegakkan salat istisqa.
Di bawah terik memanggang, bersaf- saf orang merintihrintih kepada Allah agar selekasnya menurunkan hujan. Itu pertanda hati yang tertunduk pada Zat Yang Maha Menguasai Semesta Alam. Itulah pelaksanaanperintahAllah agar manusia menjadikan sabar dan salat sebagai penolong mereka.
Sahlah sudah; bagi orang yang beragama, keadaan seburuk itu diyakini pasti mengandung pesan Illahi. Tak ubahnya kata khatib salat Jumat di lantai 19 Gedung Nusantara DPR RI beberapa pekan lalu. Dari atas mimbar, ia katakan, manakala umat manusia berpalis muka dari agama dan khianat terhadap kebaikan, Allah akan embuskan kuat-kuat jerebu kemarau yang mendatangkan penderitaan sulur-bulur.
Sejenak kuanggukkan kepalaku menyimak si khatib. Namun, tak lama. Sekian jenak berlalu, tak sampai hati aku membenarkan mentah-mentah isi khutbah itu. Pasti bertambah sedih hati orang Riau kalau dikatakan bahwa Allah tengah mengazab mereka, terlepas apa pun yang sudah mereka lakukan ke bumi yang mereka pijak.
Lebih baik kaum alim-ulama Melayu sendiri yang mengajak jamaah mereka untuk tepekur, bersunyi diri, mencari jawaban mengapa Allah mendatangkan kepada mereka masa sesulit ini. Tak pula hanya sekali dua kali, tapi bahkan jatuh bertubi- tubi. Itu berarti, tidak hanya iman di hati, manusia pun dilengkapi dengan isi kepala agar bisa mereka pakai sehingga tertangkal menjadi keledai yang terperosok dua-tiga kali ke lubang yang sama.
Sampai di sini, terkenang olehku nasihat Datuk Ma’az sekian puluh tahun silam. Setiap kali masuk ke kawasan bersemak, ia ingatkan anak-cucu agar hati-hati kepada orang bunian. Itulah makhluk yang, dalam cerita rakyat Melayu, hidup di hutan- hutan. Kalaulah si orang bunian itu benar-benar sakti, mengapa mereka tak unjuk gigi ketika rumah tinggal mereka dilalap api. Apakah mereka lari karena pekak mendengar ribut bunyi gergaji? Atau, mereka diam, terbeli oleh uang berpeti-peti? Aku tak tahu pasti karena tak paham mitologi.
Tapi, masuk akal pula untuk bersyakwasangka bahwa kini manusia keturunan Adam telah mengganti posisi orang bunian sebagai penguasa hutan. ”Makhlukmakhluk bunian” berseragam itu memilin-milin ujung misai mereka sembari menggadaikan negeri Melayu. Allahu a’lam .
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik, Pernah Sekolah di Riau
Kemarau kali ini memang berat. Tapi, alhamdulillah, biarpun kering dan panas, aku masih bisa menyiram beberapa pokok pohon di pekarangan kecil depan rumah anak-anakku. Beda suasana dengan orangorang di Riau. Tidak sedikit dari mereka yang kini abai terhadap pantun tadi. Pantun klasik itu sesungguhnya mengajarkan manusia untuk baik-baik menata hati agar jangan mudah naik pitam.
Kalau pun darah naik ke kepala, jangan mudah lepas kendali. Jadi, bagi siapa pun yang menderita, simpanlah kesedihan di dalam hati. Pun bagi yang mendatangkan kepahitan, pandai-pandailah berempati dengan masuk ke dada orang yang terzalimi. Asap akibat pembalakan hutan seolah membuat pantun petuah tercampak ke tempat sampah.
Polusi dahsyat telah membuat agresivitas orang-orang Riau menyembul dalam ruparupa bentuk. Ada yang datang lewat kelakar. Foto sejumlah orang anak-beranak berjejer demonstratif mengenakan masker salah satunya. Betapa pun itu lenggak-lenggok belaka, foto itu malah menyebar pengap ke sekelilingku. Ajakan hoax untuk menjemur air di baskom juga sudah sejak awal tak kuanggap sebagai kejenakaan.
Semua tidak lucu. Semua menyebalkan! Ada pula yang menyemburkan kemuakannya dengan telanjang. ”Tolong kami, Bang. Sampaikan ke orang-orang Jakarta. Menunggu mati, kami ini.” Kusambut seketika, ”Mengamuk, mempermalukan, menantang.... itu cara komunikasi yang dipahami pejabat.” Dia membalas, ”Siapa lagi yang hendak diamuk? Sudah punah ranah.” Kujawab, ”Legislatif, eksekutif.
Tak dapatkah anggota Dewan asal Riau demonstrasi bersama-sama?” Kubayangkan si pemberang itu membelakangiku, nungging, lalu memelorotkan celananya, saat dia menutup obrolan via BlackBerry Messenger dengan umpatan, ”Tak ada gunanya mereka-mereka itu.” Tempo-tempo, di perumahan anak-anakku yang asri, asap pembakaran sampah dari kompleks tentara di seberang tembok menyelinap masuk ke rumahku.
Dulu, perumahan anak-anakku ini juga ”mengolah” sampah dengan cara kuno seperti itu. Kini sampah dimanfaatkan sedemikian rupa menjadi pupuk. Tapi, impor asap pada pagi hari dari kampung sebelah masih sesekali mengganggu. Sungguh sulit dinalar bahwa ketika matahari naik sembari menyebar udara segar, dan tatkala burung-burung pamer suara di ranting pohon, masih ada pihak yang dengan egoisnya merusak itu semua.
Empat buah hatiku pun terbatuk-batuk karenanya. Belajar dari pengalaman insidental menghisap asap pembakaran sampah, aku jadi paham kekesalan yang disemprot dari masyarakat di Riau sana. Mereka mengadu kepadaku adalah bukti bahwa suara mereka tak dianggap oleh pemerintah daerah. Pun setelah kusarankan untuk protes ke pemerintah pusat, justru itu dianggap percuma saja.
Aku mau bilang apa kecuali bahwa memanfaatkan napas yang tinggal satu-satu, orang-orang di Riau sana menyalak putus asa. Belum lama kubaca tulisan tentang bagaimana polusi bisa menurunkan tingkat kecerdasan. Nah, apa jadinya dengan orang-orang Riau yang setiap tahun–ya, setiap tahun–dipaksa selama berpekan-pekan mengisi paru-paru mereka dengan udara kotor?
Entah jangka pendek, entah jangka panjang, niscaya bakal terpengaruh juga otak orang-orang itu. Apabila itu yang terjadi, sungguh malang nasib Riau. Disebut-sebut sebagai provinsi dengan kekayaan sumber daya alam tertinggi setelah Papua, namun dihuni oleh masyarakat dengan kapasitas inteligensi yang meleleh teracuni asap pembalakan hutan.
Apa lagi sebutan yang tepat untuk menunjuk para pelaku dan otak pembalakan hutan itu kalau bukan penjahat lingkungan sekaligus penjahat kemanusiaan. Dan, dengan kejahatan berganda seperti itu, tidak ada sanksi yang lebih pas dari pada hukuman seberat-beratnya bagi para manusianya serta pembangkrutan paksa bagi perusahaannya.
Kerusakan alam di Riau ”diperburuk” oleh hujan yang tak kunjung datang. Seperti tulisku di awal tadi, kemarau tahun ini sangat panjang dan parah. Sungguh baik bahwa kemudian orang di Riau, sebagaimana di banyak tempat lainnya, tergerak untuk menegakkan salat istisqa.
Di bawah terik memanggang, bersaf- saf orang merintihrintih kepada Allah agar selekasnya menurunkan hujan. Itu pertanda hati yang tertunduk pada Zat Yang Maha Menguasai Semesta Alam. Itulah pelaksanaanperintahAllah agar manusia menjadikan sabar dan salat sebagai penolong mereka.
Sahlah sudah; bagi orang yang beragama, keadaan seburuk itu diyakini pasti mengandung pesan Illahi. Tak ubahnya kata khatib salat Jumat di lantai 19 Gedung Nusantara DPR RI beberapa pekan lalu. Dari atas mimbar, ia katakan, manakala umat manusia berpalis muka dari agama dan khianat terhadap kebaikan, Allah akan embuskan kuat-kuat jerebu kemarau yang mendatangkan penderitaan sulur-bulur.
Sejenak kuanggukkan kepalaku menyimak si khatib. Namun, tak lama. Sekian jenak berlalu, tak sampai hati aku membenarkan mentah-mentah isi khutbah itu. Pasti bertambah sedih hati orang Riau kalau dikatakan bahwa Allah tengah mengazab mereka, terlepas apa pun yang sudah mereka lakukan ke bumi yang mereka pijak.
Lebih baik kaum alim-ulama Melayu sendiri yang mengajak jamaah mereka untuk tepekur, bersunyi diri, mencari jawaban mengapa Allah mendatangkan kepada mereka masa sesulit ini. Tak pula hanya sekali dua kali, tapi bahkan jatuh bertubi- tubi. Itu berarti, tidak hanya iman di hati, manusia pun dilengkapi dengan isi kepala agar bisa mereka pakai sehingga tertangkal menjadi keledai yang terperosok dua-tiga kali ke lubang yang sama.
Sampai di sini, terkenang olehku nasihat Datuk Ma’az sekian puluh tahun silam. Setiap kali masuk ke kawasan bersemak, ia ingatkan anak-cucu agar hati-hati kepada orang bunian. Itulah makhluk yang, dalam cerita rakyat Melayu, hidup di hutan- hutan. Kalaulah si orang bunian itu benar-benar sakti, mengapa mereka tak unjuk gigi ketika rumah tinggal mereka dilalap api. Apakah mereka lari karena pekak mendengar ribut bunyi gergaji? Atau, mereka diam, terbeli oleh uang berpeti-peti? Aku tak tahu pasti karena tak paham mitologi.
Tapi, masuk akal pula untuk bersyakwasangka bahwa kini manusia keturunan Adam telah mengganti posisi orang bunian sebagai penguasa hutan. ”Makhlukmakhluk bunian” berseragam itu memilin-milin ujung misai mereka sembari menggadaikan negeri Melayu. Allahu a’lam .
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik, Pernah Sekolah di Riau
(ftr)