Mengakhiri Drama Pilkada Surabaya
A
A
A
Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Setelah mengalami dua kali perpanjangan pendaftaran calon, 30 Agustus 2015 KPU Kota Surabaya mengumumkan hanya ada satu calon yang memenuhi syarat sebagai peserta Pilkada Surabaya yang sedianya digelar 9 Desember 2015.
Pasangan Rasiyo-Dhimam Abror yang mendaftar sebagai penantang pasangan petahana Tri Risma Harini-Wisnu Sakti Buana dinyatakan tidak memenuhi syarat. Artinya, berdasarkan verifikasi, Pilkada Surabaya hanya memiliki calon tunggal. Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, KPU Kota Surabaya akan menunda tahapan pilkada paling lama sepuluh hari dan membuka kembali tahapan pendaftaran calon selama tiga hari.
Sungguh ironis dan penuh drama. Kota Surabaya, dengan populasi tiga juta jiwa lebih dan pemilih tidak kurang dari dua juta, partai-partai politik di sana kesulitan mengusung calon yang memenuhi syarat administrasi untuk ikut pilkada. Persyaratan yang notabene juga diberlakukan di semua daerah yang menyelenggarakan pilkada di Indonesia.
Administrasi vs Subtansi?
Beberapa pihak berpendapat KPU Surabaya berlebihan dalam menerapkan aturan. Terlalu prosedural, administratif, dan mengesampingkan substansi. Faktualnya, DPP PAN mengakui bahwa mereka memang mengusung Rasiyo-Dhimam sehingga tidak ada alasan KPU Surabaya menolak mereka, meski surat dukungan DPP PAN tidak identik dengan hasil scan yang diserahkan pada saat pasangan calon itu mendaftar.
KPU Surabaya bergeming. Mereka mengatakan prosedur yang diterapkan adalah aturan main standar yang juga diberlakukan oleh penyelenggara pilkada lain. Jika daerah lain bisa melengkapi, maka tak ada alasan pasangan Rasiyo-Dhiman tidak mampu memenuhi persyaratan kelengkapan berkas pencalonan. Apalagi mereka sudah mengomunikasikannya kepada paslon.
Dengan demikian, kalau keterangan KPU Surabaya benar adanya, ini bukan lagi soal terlalu administratif prosedural, tapi juga menyangkut kesungguhan parpol pengusung dalam mendukung dan menyukseskan calonnya. Mengusung calon sebagai bagian dari fungsi rekrutmen politik parpol mestinya diperlakukan sebagai sebuah prosesyangmatang, profesional, dan akuntabel, dengan tentu saja menerapkan ketaatan pada aturan perundangundangan yang ada.
KPU Surabaya memberlakukan ketentuan administratif yang juga diterapkan di daerah-daerah lain. Jika Rasiyo-Dhimam ingin diberikan keistimewaan maka akan diskriminatif bagi daerah dan pasangan calon lain yang sudah memenuhi segala ketentuan dan prosedur yang ada tanpa kecuali. Namun, wajar kalau pasangan Rasiyo-Dhimam keberatan atas putusan KPU Surabaya.
Bukankah selalu ada dua sisi mata uang dalam sebuah peristiwa hukum. Untuk menguji apakah putusan KPU Surabaya dibuat sesuai ketentuan yang ada atau tidak, Rasiyo-Dhimam bisa menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan sengketa pemilihan melalui Panwas Kota Surabaya.
Melalui proses penyelesaian sengketa di Panwas akan diuji apakah keputusan KPU Surabaya dibuat berlandaskan asas legalitas dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) ataukah tidak. Dalam proses penyelesaian sengketa, Panwas Surabayaharusmampumenggali fakta-fakta secara maksimal soal aturan hukum yang dirujuk maupun profesionalisme pengambilan keputusannya.
Penting bagi Panwas untuk tidak terjebak pada opini publik maupun desakan-desakan agar membuat keputusan yang semata populer dan menyenangkan para pihak, namun tidak dilandasi argumen hukum maupun rasionalisasi yang memadai mengapa keputusan tersebut harus dibuat. Panwas harus berpegangan pada asas dan prinsip sebagai penyelenggara pemilu yang adil, mandiri, dan bertindak berdasarkan hukum.
Praktek Internasional
Dalam praktek internasional, calon tunggal umumnya terjadi ketika seorang petahana mencalonkan diri dalam pemilihan. Sering kali petahana memiliki keunggulan dari segi popularitas, dana, dan angka survei sehingga mengurungkan niat partai lain untuk merekrut calon (L. Sabato, 2007).
Terdapat pula situasi di mana calon tunggal terjadi karena lingkungan dan negara yang tidak demokratis berupa intimidasi terhadap lawan, keberpihakan anggota yudisial yang menggagalkan nominasi calon, penyogokan, dan lainlain. Dalam kasus negara yang opresif terhadap calon oposisi, penundaan pemilihan untuk menunggu nominasi dibutuhkan. Solusi yang tepat dalam menangani calon tunggal bergantung pada alasan mengapa situasi terjadi.
Jika proses nominasi calon tidak terhalangi, dan tidak terdapat aksi boikot dari masyarakat terhadap proses pemilihan, maka tidak ada alasan untuk menunda pemilu. Jika tidak terdapat masalah sosial politik yang sedang dialami negara atau suatu daerah, penundaan pemilihan hanya akan menimbulkan ketidakjelasan bagi masyarakat dan tidak akan memberikan solusi terhadap calon tunggal.
Di Amerika Serikat, jika terdapat calon yang mencalonkan diri tanpa adanya pesaing, pemilihan secara langsung tidak akan dilakukan. Kandidat yang mencalonkan diri akan menang secara aklamasi, kecuali jika terdapat peraturan dalam undang-undang yang secara eksplisit mengatakan pemilihan harus dilaksanakan melalui pemungutan suara (Robert Rules, 2014).
Terjadi di banyak negara, jika terdapat calon tunggal maka calon akan diangkat untuk menjabat dengan proses aklamasi atau tanpa pemilihan. Namun, pada akhirnya proses sistem pemilihan umum akan bergantung pada kenyamanan masyarakat dan kondisi sosial politik.
Saat ini calon tunggal di Indonesia terjadi bukan karena adanya situasi di mana oposisi dihalang-halangi untuk mencalonkan kandidatnya dalam pilkada, sehingga perlu dilakukan penundaan pilkada. Yang terjadi adalah partai politik tidak mengambil ruang untuk mengusung calonnya secara sungguh-sungguh sesuai prosedur yang ada.
Akhiri Drama
Meski saat ini sengketa pasangan calon Rasiyo-Dhimam tengah bergulir dalam penyelesaian Panwas, namun drama serupa ala Surabaya harus segera diakhiri dan tidak boleh terjadi lagi. Drama yang tercipta karena undang-undang yang mengatur pemilihan tidak mampu menyediakan mekanisme untuk merespons terjadinya calon tunggal dalam pilkada.
Peraturan KPU yang mengatur penundaan pilkada bagi daerah dengan calon tunggal membuka ruang bagi parpol untuk bermain tarik-ulur dalam pencalonan. Ketika berhadapan dengan calon yang kuat dengan elektabilitas tinggi, maka ada upaya untuk menjegal pencalonannya dengan harapan terjadi defisit elektabilitas si calon tunggal saat pilkada ditunda.
Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) sedang disidangkan permohonan pengujian UU Pilkada berkaitan dengan konstitusionalitas calon tunggal yang diajukan oleh calon wakil wali kota Surabaya Wisnu Sakti Buana dan ahli komunikasi politik Effendi Ghazali. Maka, untuk mengakhiri segala drama calon tunggal ini, menjadi sangat strategis bagi MK untuk mempercepat dan segera mengeluarkan putusan.
Ini demi kepastian hukum bagi pemilih maupun calon tunggal agar tidak lebih lama tersandera dengan situasi politik yang penuh kisruh dan kesimpangsiuran. Semoga.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Setelah mengalami dua kali perpanjangan pendaftaran calon, 30 Agustus 2015 KPU Kota Surabaya mengumumkan hanya ada satu calon yang memenuhi syarat sebagai peserta Pilkada Surabaya yang sedianya digelar 9 Desember 2015.
Pasangan Rasiyo-Dhimam Abror yang mendaftar sebagai penantang pasangan petahana Tri Risma Harini-Wisnu Sakti Buana dinyatakan tidak memenuhi syarat. Artinya, berdasarkan verifikasi, Pilkada Surabaya hanya memiliki calon tunggal. Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, KPU Kota Surabaya akan menunda tahapan pilkada paling lama sepuluh hari dan membuka kembali tahapan pendaftaran calon selama tiga hari.
Sungguh ironis dan penuh drama. Kota Surabaya, dengan populasi tiga juta jiwa lebih dan pemilih tidak kurang dari dua juta, partai-partai politik di sana kesulitan mengusung calon yang memenuhi syarat administrasi untuk ikut pilkada. Persyaratan yang notabene juga diberlakukan di semua daerah yang menyelenggarakan pilkada di Indonesia.
Administrasi vs Subtansi?
Beberapa pihak berpendapat KPU Surabaya berlebihan dalam menerapkan aturan. Terlalu prosedural, administratif, dan mengesampingkan substansi. Faktualnya, DPP PAN mengakui bahwa mereka memang mengusung Rasiyo-Dhimam sehingga tidak ada alasan KPU Surabaya menolak mereka, meski surat dukungan DPP PAN tidak identik dengan hasil scan yang diserahkan pada saat pasangan calon itu mendaftar.
KPU Surabaya bergeming. Mereka mengatakan prosedur yang diterapkan adalah aturan main standar yang juga diberlakukan oleh penyelenggara pilkada lain. Jika daerah lain bisa melengkapi, maka tak ada alasan pasangan Rasiyo-Dhiman tidak mampu memenuhi persyaratan kelengkapan berkas pencalonan. Apalagi mereka sudah mengomunikasikannya kepada paslon.
Dengan demikian, kalau keterangan KPU Surabaya benar adanya, ini bukan lagi soal terlalu administratif prosedural, tapi juga menyangkut kesungguhan parpol pengusung dalam mendukung dan menyukseskan calonnya. Mengusung calon sebagai bagian dari fungsi rekrutmen politik parpol mestinya diperlakukan sebagai sebuah prosesyangmatang, profesional, dan akuntabel, dengan tentu saja menerapkan ketaatan pada aturan perundangundangan yang ada.
KPU Surabaya memberlakukan ketentuan administratif yang juga diterapkan di daerah-daerah lain. Jika Rasiyo-Dhimam ingin diberikan keistimewaan maka akan diskriminatif bagi daerah dan pasangan calon lain yang sudah memenuhi segala ketentuan dan prosedur yang ada tanpa kecuali. Namun, wajar kalau pasangan Rasiyo-Dhimam keberatan atas putusan KPU Surabaya.
Bukankah selalu ada dua sisi mata uang dalam sebuah peristiwa hukum. Untuk menguji apakah putusan KPU Surabaya dibuat sesuai ketentuan yang ada atau tidak, Rasiyo-Dhimam bisa menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan sengketa pemilihan melalui Panwas Kota Surabaya.
Melalui proses penyelesaian sengketa di Panwas akan diuji apakah keputusan KPU Surabaya dibuat berlandaskan asas legalitas dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) ataukah tidak. Dalam proses penyelesaian sengketa, Panwas Surabayaharusmampumenggali fakta-fakta secara maksimal soal aturan hukum yang dirujuk maupun profesionalisme pengambilan keputusannya.
Penting bagi Panwas untuk tidak terjebak pada opini publik maupun desakan-desakan agar membuat keputusan yang semata populer dan menyenangkan para pihak, namun tidak dilandasi argumen hukum maupun rasionalisasi yang memadai mengapa keputusan tersebut harus dibuat. Panwas harus berpegangan pada asas dan prinsip sebagai penyelenggara pemilu yang adil, mandiri, dan bertindak berdasarkan hukum.
Praktek Internasional
Dalam praktek internasional, calon tunggal umumnya terjadi ketika seorang petahana mencalonkan diri dalam pemilihan. Sering kali petahana memiliki keunggulan dari segi popularitas, dana, dan angka survei sehingga mengurungkan niat partai lain untuk merekrut calon (L. Sabato, 2007).
Terdapat pula situasi di mana calon tunggal terjadi karena lingkungan dan negara yang tidak demokratis berupa intimidasi terhadap lawan, keberpihakan anggota yudisial yang menggagalkan nominasi calon, penyogokan, dan lainlain. Dalam kasus negara yang opresif terhadap calon oposisi, penundaan pemilihan untuk menunggu nominasi dibutuhkan. Solusi yang tepat dalam menangani calon tunggal bergantung pada alasan mengapa situasi terjadi.
Jika proses nominasi calon tidak terhalangi, dan tidak terdapat aksi boikot dari masyarakat terhadap proses pemilihan, maka tidak ada alasan untuk menunda pemilu. Jika tidak terdapat masalah sosial politik yang sedang dialami negara atau suatu daerah, penundaan pemilihan hanya akan menimbulkan ketidakjelasan bagi masyarakat dan tidak akan memberikan solusi terhadap calon tunggal.
Di Amerika Serikat, jika terdapat calon yang mencalonkan diri tanpa adanya pesaing, pemilihan secara langsung tidak akan dilakukan. Kandidat yang mencalonkan diri akan menang secara aklamasi, kecuali jika terdapat peraturan dalam undang-undang yang secara eksplisit mengatakan pemilihan harus dilaksanakan melalui pemungutan suara (Robert Rules, 2014).
Terjadi di banyak negara, jika terdapat calon tunggal maka calon akan diangkat untuk menjabat dengan proses aklamasi atau tanpa pemilihan. Namun, pada akhirnya proses sistem pemilihan umum akan bergantung pada kenyamanan masyarakat dan kondisi sosial politik.
Saat ini calon tunggal di Indonesia terjadi bukan karena adanya situasi di mana oposisi dihalang-halangi untuk mencalonkan kandidatnya dalam pilkada, sehingga perlu dilakukan penundaan pilkada. Yang terjadi adalah partai politik tidak mengambil ruang untuk mengusung calonnya secara sungguh-sungguh sesuai prosedur yang ada.
Akhiri Drama
Meski saat ini sengketa pasangan calon Rasiyo-Dhimam tengah bergulir dalam penyelesaian Panwas, namun drama serupa ala Surabaya harus segera diakhiri dan tidak boleh terjadi lagi. Drama yang tercipta karena undang-undang yang mengatur pemilihan tidak mampu menyediakan mekanisme untuk merespons terjadinya calon tunggal dalam pilkada.
Peraturan KPU yang mengatur penundaan pilkada bagi daerah dengan calon tunggal membuka ruang bagi parpol untuk bermain tarik-ulur dalam pencalonan. Ketika berhadapan dengan calon yang kuat dengan elektabilitas tinggi, maka ada upaya untuk menjegal pencalonannya dengan harapan terjadi defisit elektabilitas si calon tunggal saat pilkada ditunda.
Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) sedang disidangkan permohonan pengujian UU Pilkada berkaitan dengan konstitusionalitas calon tunggal yang diajukan oleh calon wakil wali kota Surabaya Wisnu Sakti Buana dan ahli komunikasi politik Effendi Ghazali. Maka, untuk mengakhiri segala drama calon tunggal ini, menjadi sangat strategis bagi MK untuk mempercepat dan segera mengeluarkan putusan.
Ini demi kepastian hukum bagi pemilih maupun calon tunggal agar tidak lebih lama tersandera dengan situasi politik yang penuh kisruh dan kesimpangsiuran. Semoga.
(ars)