Panggung Keindonesiaan
A
A
A
Wacana tentang strategi kebudayaan sebagai visi memetakan, mengolah, dan membuat langkahlangkah programatik termasuk sisi pokok-pokok pikiran demi sejahtera dan bermartabatnya Indonesia yang bineka identitas suku dan religi secara kultural lalu diformat menjadi Indonesia ika bernegara demokratis dan konstitusional, setiap kali dihadapkan pada dikotomi antara cita-cita dan realita; antara dimimpi - bayangkan sebagai imagined society dan praxis nyata saling menghormati perbedaan untuk keadaban dan pencapaian keadilan serta kesejahteraan bersama.
Dikotomi atau posisi dua kutub yang dihadap-hadapkan ini sebenarnya lantaran salah baca tafsir apa itu proses kebudayaan, dalam hal ini menjadi Indonesia dan apa itu proses menegara Republik Indonesia yang secara ”slogan” menjadi reduksi kebudayaan hanya ditafsir sebagai politik kebudayaan yang melupakan makna kebudayaan sejati itu apa! Pikiran dikotomik akan membelah teori kebudayaan versus praxis atau laku kebudayaan.
Sebagai teori (baca: sebagai rumusan logis sistematis kebudayaan sebagai sistem nilai yang baik, yang suci yang benar dan indah) yang dijadikan acuan individu atau komunitas untuk memberi arti pada hidupnya. Namun, sebagai ”laku kebudayaan”, setiap dari kita mulai dari tukang sapu, tukang becak, guru, politikus, sampai mereka yang merasa pemimpin atau elite penguasa, kebudayaan adalah tindakan sehari-hari yang diberi makna oleh pelakupelakunya.
Makna (atau arti) bisa ia sumberkan dari ajaran kebijaksanaan hidup komunitasnya dengan identitas suku; atau dari religi, baik religi langit (agama-agama monoteis dengan keimanan wahyu) maupun religi bumi yang menghayati bumi semesta sebagai yang suci, yang dirawat dan diolah secara ekologis karena mau memuliakannya.
*** Menyadari proses menjadi Indonesia secara kebudayaan berarti menanyai diri pribadi maupun sebagai komunitas identitas suku ataupun komunitas religius (atau wujud sosialnya tampil sebagai religi) yang secara faktual majemuk, beragam sebagai perajut, penenun (dari kata: menenun) keindonesiaan: apa kontribusi atau sumbangan nilai terbaiknya untuk Indonesia.
Jabarannya: bila esensi Nusantara yang majemuk kultural menjadi Indonesia yang republik, maka ”nilai” (baca: yang paling berharga yang menjadi acuan hidup) dari kejawaan manakah yang disumbangkan untuk Indonesia.
Konstruksi nilai Jawa yang sudah menjadi laku budaya seperti ramah, refleksif sabar berhening ”begitu ya begitu, namun jangan asal begitu”, tanpa pamrih rela menolong, ini semua setelah didekonstruksi negatifnya sebagai ”santun di depan, namun membawa keris di punggung belakang”; halus tidak terus terang demi kesantunan kultural, namun mendendam di kemudian hari, contoh- contoh ini sebagai sebutan beberapa saja mesti diolah dan diberikan untuk keindonesiaan yang format hukumnya konstitusional berdasar UUD 1945 dan format politik untuk menampung beda pendapat dan kebinekaan berbentuk tatanan negara demokratis.
Di sini sudah langsung jelas nilai bersama untuk mencari solusi beda kepentingan dan pendapat secara kultural adalah mufakat lewat bermusyawarah dan bukan main menang-menangan politik kuasa yaitu voting atau pemungutan suara. Hatta, Tan Malaka, Syahrir sebagai representasi nilai keminangan yang setara, demokratis mulai musyawarah rumah gadang, telah memberikan dalam sejarah mengindonesia kita kontribusinya yang terungkap dalam pasal-pasal UUD 1945 kesetaraan kemartabatan harkat manusia Indonesia dalam pasal-pasal HAM dan hak-hak berpendapat, berserikat, dan seterusnya.
Membandingkan secara terbatas bagaimana bahasa konstitusi jejak kontribusi nilai kekeluargaan dan kebersamaan dr Soepomo dan Bung Karno, lalu mewajahkan rumusan negara ”kekeluargaan”. Pertanyaan-pertanyaan menggugat yang analogi berikutnya adalah: nilai-nilai kebatakan, terbaik, kefloresan, kebugisan, kebetawian, kedayakan, kepapuaan terbaik manakah yang disumbangkan untuk Indonesia.
*** Demikian pula, keragaman religi perajut Indonesia, kita sudah merasakan wajah-wajah hidup sumbangan itu setelah 70 tahun merdeka secara politik sejak 17-8-1945 dalam kesamaan di hadapan Allah sebagai khalifatullah dari keislaman di Indonesia. Kita juga merasakan wajah menolong dengan cinta kasih dari kekristianian di Indonesia; salam damai semua makhluk dan semesta semoga semua bahagia dari puji Hindu dan Buddhis. Serta, hormati tata ekologis alam semesta dari ajakan life wisdom religi-religi bumi.
Belum lagi praxis ajakan untuk bijaksana diskresi dan merawat daya energi semesta dan ruh semesta yang dirangkumkan oleh kepercayaan-kepercayaan Nusantara ini. Dalam pigura perjuangan lebih untuk memberi yang terbaik itulahsebenarnya ajarankebijaksanaan hidup di Nusantara yang esensinya bertanah berpulaupulaudanberairdengansamudera maritimnya sudah diajarkan dalambahasa localwisdom dan life local wisdom di peribahasa-peribahasa, pepatah, gurindam dan pantun-pantun, serta nyanyiannyanyian kidung tari serta ritual berteater maupun berpanggung alam semesta.
Ada masa waktu yang keliru membaca ajaran kebijaksanaan hidup dan terlalu menaruh laut (baca: maritim atau air) di belakang daratan. Padahal, lautlah yang menyatukan menjadi penghubung daratan atau pulau- pulau. Akibatnya, laku budaya maritim atau air dilupakan cukup lama sehingga budaya daratanlah yang dijadikan acuan.
Lihatlah betapa sulit untuk mengubah orientasi berpikir dan berperilaku periode ini saat visi jalan tol laut misalnya ditafsirkan dan dibaca sebagai jalan tol penghubung daratan pulau dengan pulau, padahal yang ingin dibongkar secara dekonstruksi adalah mengembalikan budaya bahari, budaya air yang menjadi life wisdom di laut kita jaya atau jalesveva jayamahe!
Test case atau batu uji yang sering daya pakai saat mengajar di Universitas Indonesia atau mahasiswa-mahasiswa adalah dengan bertanya: siapakah di antara Anda yang tidak bisa berenang? Konsekuensi logis lupa budaya air ini adalah masih banyaknya korban kapal yang tenggelam.
Padahal, pepatah dan peribahasa bila dibatinkan sebagai nilai atau laku budaya dalam edukasi kultural yang benar (bukan dihafalkan) selalu tertulis: a) berakitrakit kita ke hulu, berenang-renang ke hilir kemudian; b) sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui; c) kitayangbertanahbergunung- gunung dan berlaut serta air terungkap utuh dalam pepatah: air beriak pertanda tidak dalam! Airyangtenangitumenghanyutkan.
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. *** Belajar dari para seniman ketika diplomasi kebudayaan untuk panggung keindonesiaan dilaksanakan di luar negara RI, pengalaman menimba dan belajar dari mereka-mereka yang biasa melakoni seni merawat dan merayakan hidup, yaitu para seniman menarik untuk dirumus sebagai miniatur jalan seni atau laku budaya mengindonesia.
Mengapa? Mereka ini awalnya seperti kebanyakan kita, berebut panggung untuk pentaspentas ego tampilan masingmasing. Namun, karena keterbukaan musyawarah dan mencari yang terbaik dengan prinsipprinsip seperti ditulis di depan yaitu give the best untuk panggung bersama, akhir mereka berbagi panggung.
Tatkala kesadaran bersama ini menyentuh masing- masing budi dan nurani para seniman yang berwarnawarni ragam majemuk kesenirupaannya, kita menjadi tertawa dan langsung berani menegaskan bahwa berbagi panggung untuk Indonesia inilah masalah pokok bangsa ini. Sebabnya, di panggung politik dan di panggung adu kalah-menang politik mengindonesia yang dilakukan adalah berebut panggung dengan menghalalkan segala cara.
Pertanyaan mendasar agar kita belajar berbagi panggung adalah syarat pokoknya untuk laku budayanya apakah? Muchtar Lubis, dalam novel Harimau- Harimau, sebagai penulisan sastra terbaik Yayasan Buku Utama 1975, menegaskan, syarat pokok itu adalah kita manusia Indonesia harus membunuh lebih dahulu ”harimau” dalam diri masing-masing kita.
Harimau yang harus kita bunuh dalam diri kita ialah sifat watak tega memakan mangsa karena merasa paling berkuasa si raja hutan. Syarat pokok senada menurut novel YB Mangunwijaya yaitu Durga dan Umayi (1973) serta Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1980) adalah menghapus keserakahan dan simbol ”durga” yang jahat dalam diri manusia.
Dalam saling berebut untuk hidup melawan ikan-ikan ganas hiu, dan predator-predator laut lain, Mangun menunjukkan budi cerdas dan nurani yang hening menimbang untuk berperilaku etis. Ini berarti, sikap kenegarawanan yang cerdas budi dan beretika dalam membangsa dan menegara Indonesia dibutuhkan sesuai perjalanan tokoh- tokoh novelnya pula dalam Burung-Burung Manyar (1984).
Membunuh harimau atau hasrat menguasai dan memangsa serakah tanah dan air dalam diri kitasertalakukenegarawanansatu- satunya proses yang harus dilakoni, ditapaki adalah melalui pendidikan pencerahan dan pencerdasan budi serta pendidikan watak jujur untuk memberi yang terbaik bagi Indonesia dan bukannya menghisap habis tanah dan tambang di bawah tanah sertamerampokhabiskekayaanlaut yang di air kita.
Mudji Sutrisno Sj
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
Dikotomi atau posisi dua kutub yang dihadap-hadapkan ini sebenarnya lantaran salah baca tafsir apa itu proses kebudayaan, dalam hal ini menjadi Indonesia dan apa itu proses menegara Republik Indonesia yang secara ”slogan” menjadi reduksi kebudayaan hanya ditafsir sebagai politik kebudayaan yang melupakan makna kebudayaan sejati itu apa! Pikiran dikotomik akan membelah teori kebudayaan versus praxis atau laku kebudayaan.
Sebagai teori (baca: sebagai rumusan logis sistematis kebudayaan sebagai sistem nilai yang baik, yang suci yang benar dan indah) yang dijadikan acuan individu atau komunitas untuk memberi arti pada hidupnya. Namun, sebagai ”laku kebudayaan”, setiap dari kita mulai dari tukang sapu, tukang becak, guru, politikus, sampai mereka yang merasa pemimpin atau elite penguasa, kebudayaan adalah tindakan sehari-hari yang diberi makna oleh pelakupelakunya.
Makna (atau arti) bisa ia sumberkan dari ajaran kebijaksanaan hidup komunitasnya dengan identitas suku; atau dari religi, baik religi langit (agama-agama monoteis dengan keimanan wahyu) maupun religi bumi yang menghayati bumi semesta sebagai yang suci, yang dirawat dan diolah secara ekologis karena mau memuliakannya.
*** Menyadari proses menjadi Indonesia secara kebudayaan berarti menanyai diri pribadi maupun sebagai komunitas identitas suku ataupun komunitas religius (atau wujud sosialnya tampil sebagai religi) yang secara faktual majemuk, beragam sebagai perajut, penenun (dari kata: menenun) keindonesiaan: apa kontribusi atau sumbangan nilai terbaiknya untuk Indonesia.
Jabarannya: bila esensi Nusantara yang majemuk kultural menjadi Indonesia yang republik, maka ”nilai” (baca: yang paling berharga yang menjadi acuan hidup) dari kejawaan manakah yang disumbangkan untuk Indonesia.
Konstruksi nilai Jawa yang sudah menjadi laku budaya seperti ramah, refleksif sabar berhening ”begitu ya begitu, namun jangan asal begitu”, tanpa pamrih rela menolong, ini semua setelah didekonstruksi negatifnya sebagai ”santun di depan, namun membawa keris di punggung belakang”; halus tidak terus terang demi kesantunan kultural, namun mendendam di kemudian hari, contoh- contoh ini sebagai sebutan beberapa saja mesti diolah dan diberikan untuk keindonesiaan yang format hukumnya konstitusional berdasar UUD 1945 dan format politik untuk menampung beda pendapat dan kebinekaan berbentuk tatanan negara demokratis.
Di sini sudah langsung jelas nilai bersama untuk mencari solusi beda kepentingan dan pendapat secara kultural adalah mufakat lewat bermusyawarah dan bukan main menang-menangan politik kuasa yaitu voting atau pemungutan suara. Hatta, Tan Malaka, Syahrir sebagai representasi nilai keminangan yang setara, demokratis mulai musyawarah rumah gadang, telah memberikan dalam sejarah mengindonesia kita kontribusinya yang terungkap dalam pasal-pasal UUD 1945 kesetaraan kemartabatan harkat manusia Indonesia dalam pasal-pasal HAM dan hak-hak berpendapat, berserikat, dan seterusnya.
Membandingkan secara terbatas bagaimana bahasa konstitusi jejak kontribusi nilai kekeluargaan dan kebersamaan dr Soepomo dan Bung Karno, lalu mewajahkan rumusan negara ”kekeluargaan”. Pertanyaan-pertanyaan menggugat yang analogi berikutnya adalah: nilai-nilai kebatakan, terbaik, kefloresan, kebugisan, kebetawian, kedayakan, kepapuaan terbaik manakah yang disumbangkan untuk Indonesia.
*** Demikian pula, keragaman religi perajut Indonesia, kita sudah merasakan wajah-wajah hidup sumbangan itu setelah 70 tahun merdeka secara politik sejak 17-8-1945 dalam kesamaan di hadapan Allah sebagai khalifatullah dari keislaman di Indonesia. Kita juga merasakan wajah menolong dengan cinta kasih dari kekristianian di Indonesia; salam damai semua makhluk dan semesta semoga semua bahagia dari puji Hindu dan Buddhis. Serta, hormati tata ekologis alam semesta dari ajakan life wisdom religi-religi bumi.
Belum lagi praxis ajakan untuk bijaksana diskresi dan merawat daya energi semesta dan ruh semesta yang dirangkumkan oleh kepercayaan-kepercayaan Nusantara ini. Dalam pigura perjuangan lebih untuk memberi yang terbaik itulahsebenarnya ajarankebijaksanaan hidup di Nusantara yang esensinya bertanah berpulaupulaudanberairdengansamudera maritimnya sudah diajarkan dalambahasa localwisdom dan life local wisdom di peribahasa-peribahasa, pepatah, gurindam dan pantun-pantun, serta nyanyiannyanyian kidung tari serta ritual berteater maupun berpanggung alam semesta.
Ada masa waktu yang keliru membaca ajaran kebijaksanaan hidup dan terlalu menaruh laut (baca: maritim atau air) di belakang daratan. Padahal, lautlah yang menyatukan menjadi penghubung daratan atau pulau- pulau. Akibatnya, laku budaya maritim atau air dilupakan cukup lama sehingga budaya daratanlah yang dijadikan acuan.
Lihatlah betapa sulit untuk mengubah orientasi berpikir dan berperilaku periode ini saat visi jalan tol laut misalnya ditafsirkan dan dibaca sebagai jalan tol penghubung daratan pulau dengan pulau, padahal yang ingin dibongkar secara dekonstruksi adalah mengembalikan budaya bahari, budaya air yang menjadi life wisdom di laut kita jaya atau jalesveva jayamahe!
Test case atau batu uji yang sering daya pakai saat mengajar di Universitas Indonesia atau mahasiswa-mahasiswa adalah dengan bertanya: siapakah di antara Anda yang tidak bisa berenang? Konsekuensi logis lupa budaya air ini adalah masih banyaknya korban kapal yang tenggelam.
Padahal, pepatah dan peribahasa bila dibatinkan sebagai nilai atau laku budaya dalam edukasi kultural yang benar (bukan dihafalkan) selalu tertulis: a) berakitrakit kita ke hulu, berenang-renang ke hilir kemudian; b) sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui; c) kitayangbertanahbergunung- gunung dan berlaut serta air terungkap utuh dalam pepatah: air beriak pertanda tidak dalam! Airyangtenangitumenghanyutkan.
Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. *** Belajar dari para seniman ketika diplomasi kebudayaan untuk panggung keindonesiaan dilaksanakan di luar negara RI, pengalaman menimba dan belajar dari mereka-mereka yang biasa melakoni seni merawat dan merayakan hidup, yaitu para seniman menarik untuk dirumus sebagai miniatur jalan seni atau laku budaya mengindonesia.
Mengapa? Mereka ini awalnya seperti kebanyakan kita, berebut panggung untuk pentaspentas ego tampilan masingmasing. Namun, karena keterbukaan musyawarah dan mencari yang terbaik dengan prinsipprinsip seperti ditulis di depan yaitu give the best untuk panggung bersama, akhir mereka berbagi panggung.
Tatkala kesadaran bersama ini menyentuh masing- masing budi dan nurani para seniman yang berwarnawarni ragam majemuk kesenirupaannya, kita menjadi tertawa dan langsung berani menegaskan bahwa berbagi panggung untuk Indonesia inilah masalah pokok bangsa ini. Sebabnya, di panggung politik dan di panggung adu kalah-menang politik mengindonesia yang dilakukan adalah berebut panggung dengan menghalalkan segala cara.
Pertanyaan mendasar agar kita belajar berbagi panggung adalah syarat pokoknya untuk laku budayanya apakah? Muchtar Lubis, dalam novel Harimau- Harimau, sebagai penulisan sastra terbaik Yayasan Buku Utama 1975, menegaskan, syarat pokok itu adalah kita manusia Indonesia harus membunuh lebih dahulu ”harimau” dalam diri masing-masing kita.
Harimau yang harus kita bunuh dalam diri kita ialah sifat watak tega memakan mangsa karena merasa paling berkuasa si raja hutan. Syarat pokok senada menurut novel YB Mangunwijaya yaitu Durga dan Umayi (1973) serta Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1980) adalah menghapus keserakahan dan simbol ”durga” yang jahat dalam diri manusia.
Dalam saling berebut untuk hidup melawan ikan-ikan ganas hiu, dan predator-predator laut lain, Mangun menunjukkan budi cerdas dan nurani yang hening menimbang untuk berperilaku etis. Ini berarti, sikap kenegarawanan yang cerdas budi dan beretika dalam membangsa dan menegara Indonesia dibutuhkan sesuai perjalanan tokoh- tokoh novelnya pula dalam Burung-Burung Manyar (1984).
Membunuh harimau atau hasrat menguasai dan memangsa serakah tanah dan air dalam diri kitasertalakukenegarawanansatu- satunya proses yang harus dilakoni, ditapaki adalah melalui pendidikan pencerahan dan pencerdasan budi serta pendidikan watak jujur untuk memberi yang terbaik bagi Indonesia dan bukannya menghisap habis tanah dan tambang di bawah tanah sertamerampokhabiskekayaanlaut yang di air kita.
Mudji Sutrisno Sj
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
(ftr)