Bersembunyi di Balik Jasa Besarnya

Senin, 31 Agustus 2015 - 10:39 WIB
Bersembunyi di Balik...
Bersembunyi di Balik Jasa Besarnya
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]


Dalam sejarah para penemu, dan kisah orangorang kreatif yang dikenal secara luas, ada nama yang tak mungkin diabaikan begitu saja. Nama itu Djamhari. Kemudian, sesudah kembali dari tanah suci orang memanggilnya H Djamhari.

Tapi tokoh ini berbeda dari para penemu lain. Niti Semito, misalnya, dikenal luas. Jejak perjalanan hidupnya mudah ditelusuri. Sebagai seorang penemu yang meninggalkan jasa besar bagi masyarakat dan dunia bisnis di bidang kretek, namanya terdengar begitu megah. Banyak sumber-sumber tertulis yang meriahkan nama dan jasanya. H Djamhari lain.

Orang tahu nama itu. Orang pun tahu jasanya. Pendeknya, secara lisan namanya dikenang dengan rasa hormat. Mungkin dengan kekaguman. Tapi generasi sekarang, yang ingin mengetahui secara utuh sosok pribadi ini, agak sulit. Sumber tertulis yang bisa mengisahkan kembali bagaimana sejarah tokoh begitu terbatas.

H Djamhari tak ingin dikenang? Dia sengaja bersembunyi di balik jasa besarnya bagi kehidupan dunia bisnis di bidang kretek? Apakah tokoh ini memang tak mau namanya dikenang di dalam sejarah penemuan di negeri kita? Apakah dia lebih suka bersembunyi dalam kegelapan sejarah hidupnya, seperti para tokoh cerita silat yang seumur-umur tak diketahui secara pasti kecuali gelar kependekaran atau sekedar nama samarannya? H Djamhari bukan pendekar seperti itu. Sekali lagi, dia seorang penemu yang penting.

Jadi jelas, dia bukan tokoh imajiner seperti Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Ki Ageng Pandan Alas, atau Rara Wilis. Juga bukan tokoh sejenis Kiai Grinsing yang sengaja bersembunyi di balik sejarah hidupnya sendiri. Kalau orang sekadar ingin tahu desa kelahirannya, sangat jelas tercatat dia orang Kudus. Kita juga tahu tradisi yang berkembang di desa kelahirannya.

Potret desanya terang benderang. Kita memiliki penggalanpenggalan memikat tentang kehidupan desa tersebut. Peneliti yang secara khusus menginginkan kelengkapan hidupnya sebagai seorang penemu mengeluh tentang terbatasnya sumber tertulis tadi. Malah, ada sumber yang agak keterlaluan karena menyatakan bahwa orang Kudus ini menemukan kretek secara tidak sengaja ketika dengan minyak cengkih dia menggosok - gosok dadanya yang sakit, dan kemudian merasa bahwa minyak cengkih itu menolongnya.

Mungkin sang penulis tak bermaksud buruk dengan pernyataan itu. Tapi tidak adanya penjelasan lain yang memadai, penemuannya yang disebut tidak sengaja itu merugikan H Djamhari sendiri. Tapi siapa yang bilang bahwa dia dirugikan oleh pernyataan itu? Boleh jadi H Djamhari tak tertarik dan tak punya niat untuk membuat dirinya dikenal luas, secara detail.

Di zaman itu memang ditemukan nama Djamain, ada pula nama Djamarie. Bahkan ada lagi Hadji Mohamad Djoharie, yang mungkin maksudnya memang H. Djamhari? *** Kurang data itu soal biasa. Kita tak perlu berkeluh kesah. Kurang data tak berarti celaka. Seperti para tokoh penemu yang lain, H Djamhari pun punya peninggalan yang bisa dihubungkan dengan apa yang terjadi sekarang.

Kita tahu pasar zaman itu. Pada abad ke- 19, globalisasi sudah terjadi. Bahkan jauh sebelum itu. Mungkin abad ke-16, abad yang di dunia Barat ditandai sebagai permulaan zaman modern, globalisasi sudah terjadi. Tapi di zaman itu globalisasi belum terlalu ganas, seperti apa yang terjadi dalam globalisasi sekarang.

Pada mulanya, globalisasi yang terjadi pada abad ke-16 didorong oleh kebutuhan akan bahan-bahan perdagangan yang di negeri-negeri Eropa tidak ada. Bangsa-bangsa itu datang dengan perahu layar ke negeri ini untuk memenuhi kebutuhan. Mungkin agak baik dicatat kata kebutuhan ini. Kita membedakan antara kata kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan relatif lebih terbatas hanya pada apa yang dibutuhkan.

Sesudah terpenuhi, kebutuhan itu bukan merupakan masalah lagi. Orang berhenti ketika kebutuhan terpenuhi. Di sana ada kata puas. Watak globalisasi sekarang lain. Unsur-unsur globalisasi pada abad ke-16, yaitu kenginan yang tak terbatas itu menjadi bentuk keserakahan. Saat ini pasar global jelas merupakan pasar keserakahan itu.

Dan kita tahu keserakahan tak pernah terbatas. Berkat keserakahan relasi-relasi kekuasaan antar bangsa, dalam bentuk bilateral maupun multilateral, menjadi relasi saling menekan, saling mengancam, saling meneror. Kata saling di sini hanya berlaku dalam corak relasi yang seimbang. Bila relasi tak seimbang, yaitu satu pihak berkuasa, sangat besar dan pengaruhnya menakutkan sedang pihak lain kecil, serbaterbatas dan lemah, maka yang besar itulah yang rajin mengancam, menekan dan meneror yang kecil.

Bila yang kecil takut dan menyerah, dia diganyang mentahmentah. Bila yang kecil mencoba melawan, dia akan diserbu dengan kekuatan militer yang ganas. Alhasil, yang kecil hancur luluh dan menjadi sekadar puing. Adapun si peneror, yang ganas dan kejam, jaya sentosa. Doa menjadi tak terlawan. *** Dalam perdagangan kretek, yang dulu dirintis H. Djamhari, kurang lebih sama belaka keadaannya.

Makin maju, makin modern kehidupan manusia atau kehidupan bangsa-bangsa, tak membuat manusia atau bangsa-bangsa menjadi lebih manusiawi. Hukum rimba, yaitu hukum yang berlaku di kalangan binatang buas, berlaku dalam kehidupan manusia. Jangan bertanya apa bedanya manusia dan binatang.

Jangan bertanya bagaimana kasih sayang dan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab diwujudkan. Biarpun bangsa-bangsa besar berkhotbah tentang hakhak asazi manusia, mereka lupa akan khotbah mereka sendiri. Mereka bicara tentang apa yang tak mereka amalkan. Mereka mengajar kita tentang apa yang mereka sendiri tak perlu pelajari.

“Zaman modern bukan zaman pencerahan?” “Kita tak bisa bicara begitu.” “Tapi bukankah begitu faktanya?” “Fakta yang mana?” “Yang mana saja. Bukankah semua sama?” “Setiap zaman tidak menawarkan hanya satu warna. Suatu bangsa besar yang gemar meneror tak selamanya ganas. Kadang bangsa kecil yang tak punya arti penting, bisa berlagak hebat dan kita muak melihatnya.” “Tapi teror-meneror tak bisa dibiarkan.

Selemah apa pun, kita wajib bersuara. Mungkin untuk mengingatkan. Mungkin untuk memberi cara pandang lain agar hidup agak lebih baik. Mungkin kita terus terang melawan, dan melawan.” H Djamhari tak bicara seperti itu. Kita tak pernah tahu apa yang dibicarakannya. Dia hanya seorang penemu yang kreatif, dan kemudian menghilang, seolah sengaja bersembunyi di balik jasa besarnya. Di zaman itu, zaman ketika H Djamhari hidup, dunia tak sama dengan dunia sekarang. Tatanan dunia berbeda. Cara hidup berbeda. Dan keserakahan pun tak seperti sekarang.

Dia tidak salah hanya karena dia diam. Tapi kita, di zaman ini, akan disebut salah fatal, jika kita tetap tinggal diam menyaksikan keadilan dan kemanusiaan terancam. H Djamhari boleh diam. Tapi mungkin kita tidak. Kita harus melawan biarpun hanya dengan kata-kata.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0548 seconds (0.1#10.140)