Murka Hakim kala Dihakimi
A
A
A
Hakim Sarpin Rizaldi mirip Lord John Anthony Dyson. Menahan kesabaran sekian lama, akhirnya masing- masing bereaksi dengan manuver di luar kelaziman terhadap ”lawan-lawan” mereka.
Hakim Sarpin melaporkan Ketua dan Komisioner Komisi Yudisial (KY) ke Bareskrim Polri karena tidak terima terhadap pernyataan-pernyataan KY terkait putusan praperadilan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa hari lalu ia kembali mendatangi Bareskrim Mabes Polri.
Hakim Sarpin juga muncul di media guna membantah pernyataan-pernyataan para petinggi KY. Sedangkan Lord Dyson, Master of the Rolls sekaligus Head of Civil Justice, tampil di media memberikan argumentasi balik kepada pihak yang telah mengkritik tajam putusannya mengenai pemberian izin bagi tahanan Irish Republican Army untuk mengajukan pembebasan bersyarat.
Hakim Sarpin, Lord Dyson, dan semua hakim laksana berada di langit dan di dasar bumi pada saat yang bersamaan. Pada satu sisi, hakim berada di langit karena mereka mempunyai kekuasaan yang amat tinggi bahkan tak tertandingi dalam penciptaan keadilan. Ketika hakim ”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” telah menjatuhkan putusan, pihakpihak terkait harus mematuhi putusan itu.
Begitu digdayanya hakim sehingga mereka diberi sapaan ”Yang Mulia” selaku kedudukannya sebagai wakil Tuhan dalam menciptakan keadilan di muka bumi. Pada sisi lain, hakim juga laksana terantai di dasar bumi karena profesi hakim dikenal sebagai korps diam.
Itu karena sesama hakim tidak boleh saling mengomentari putusan mereka serta tidak boleh menanggapi komentar-komentar yang berseliweran di luar ruang persidangan. Larangan sebagaimana isi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH) itu, tak pelak, membuat hakim tidak kuasa menangkis maupun melakukan pembelaan atas berbagai kritik bahkan hinaan terhadap diri dan putusan mereka. Hakim harus tidak menggubris itu semua dengan berlagak tebal telinga dan mati hati. ***
Nah, ketika Hakim Sarpin memenuhi permintaan media untuk menangkis penilaian KY, lalu melaporkan para petinggi KY ke Polri, perilaku tersebut bisa ditinjau dengan beberapa sorotan. Pertama, apakah tampilnya Hakim Sarpin di media (antara lain berupa wawancara langsung di televisi) justru dapat dipersoalkan sebagai bentuk pelanggaran KE-PPH?
Sejumlah aspek perlu diperhatikan yakni apa isi kritik KY yang kemudian ditanggapi oleh Hakim Sarpin? Apabila kritik tersebut berfokus pada sisi kepribadian dan perilaku Hakim Sarpin, muatan kritik tersebut adalah relevan karena berada dalam ranah kerja KY.
Namun, jika kritik tertuju pada isi putusan Hakim Sarpin, ini bisa mengundang perdebatan panas karena sebagian kalangan memandang KY mutlak tidak memiliki kewenangan untuk mempersoalkan isi putusan yudisial. Lalu, di mana kritik terhadap Hakim Sarpin dilakukan? Faktanya, KY mengarahkan kritik mereka di luar persidangan serta dilakukan secara terbuka di hadapan publik dan media.
Ini rawan memancing gesekan tajam. Pasalnya, KY memiliki kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Bagaimana lantas KY dapat menjustifikasi bahwa pernyataannya di publik mengenai Hakim Sarpin juga merupakan pelaksanaan kewenangannya itu?
Anggaplah bahwa langkah KY ditujukan untuk memelihara marwah korps hakim secara keselur uhan. Tet api , manakala ada individu hakim yang merasa reputasinya justru binasa akibat langkah KY, maka hak individu hakim tersebut untuk mempertahankan dirinya dengan menempuh jalur hukum tentu tak tanggal.
Berhadapan dengan reaksi seperti itulah, KY secara arif patut mengevaluasi pendekatan komunikasinya. Tujuannya adalah agar tercipta keseimbangan antara pembelajaran bagi publik, penjagaan martabat korps hakim, serta pemelihara nama baik individu hakim yang belum tentu terbukti melakukan pelanggaran KE-PPH.
Kedua, bagaimana efek pengaduan Hakim Sarpin ke Polri terhadap para hakim se-Indonesia? Isi putusan praperadilan Hakim Sarpin yang tidak populer menyiratkan pengabaiannya terhadap apa kata dunia dan ia memutus semata-mata dengan apa yang ia yakini sebagai kaidah legal semata.
Masalahnya, pada saat yang sama, dikhawatirkan bahwa pelaporan Hakim Sarpin ke Polri akan berisiko buruk terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Apalagi kalau dikaitkan dengan citra yang masyarakat sematkan kepada para hakim, sebagaimana direpresentasikan oleh Thomas Hobbes dalam ”Leviathan”.
Hobbes menulis bahwa hakim yang ideal adalah hakim yang merdeka dari perasaan takut, marah, benci, cinta, dan kelekatan-kelekatan batiniah lainnya. Memang, pandangan yang dianut selama berabad-abad itu kini telah terkoreksi. Hakim dilihat secara lebih realistis sebagai manusia yang tidak mungkin steril dari emosi. Pada kenyataannya, emosi-emosi hakim bahkan bisa mendukungnya menghasilkan putusan yang baik.
Meski begitu, budaya hukum tetap berbasis pada keyakinan bahwa emosi yudisial harus dikendalikan secara ketat. Atas dasar itu, beralasan untuk waswas bahwa langkah Hakim Sarpin tersebut justru kontraproduktif terhadap penguatan kehormatan dan keluhuran martabat korps hakim di mata publik. ***
Selanjutnya, menarik untuk dinantikan tanggapan Mahkamah Agung (MA) selaku institusi yang menaungi para hakim, termasuk Hakim Sarpin. Pada satu sisi, sulit untuk dibayangkan bahwa MA tidak merestui langkah yang diambil profesional binaannya sendiri karena langkah yang Hakim Sarpin ambil dengan melapor ke kepolisian tetap berada dalam koridor hukum.
Namun, pada sisi lain, juga tidak mudah untuk dimaklumi bahwa MA akan berhadap- hadapan secara tidak langsung dengan KY sebagai konsekuensi dari dukungannya terhadap langkah hukum Hakim Sarpin tersebut. Pada akhirnya, preseden Lord Dyson menyajikan cermin bagus untuk berkaca.
Kala itu terjadi penurunan kritik publik setelah Lord Dyson mengomentari balik para pengomentarnya secara blak-blakan di publik. Kontra-argumen Lord Dyson memantik kesadaran bahwa penilaian terhadap hakim yang dilakukan secara terbuka hanya berakibat kontraproduktif bagi upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan ”sang pengadil” yang bekerja di dalamnya.
”Penghakiman” terbuka terhadap hakim juga menerabas nilai-nilai kepatutan (etik) yang sudah semestinya ditegakkan bagi insan yang mengemban amanat sebagai penerus titah Allah SWT dan Rasul-Nya di hamparan bumi. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
Hakim Sarpin melaporkan Ketua dan Komisioner Komisi Yudisial (KY) ke Bareskrim Polri karena tidak terima terhadap pernyataan-pernyataan KY terkait putusan praperadilan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa hari lalu ia kembali mendatangi Bareskrim Mabes Polri.
Hakim Sarpin juga muncul di media guna membantah pernyataan-pernyataan para petinggi KY. Sedangkan Lord Dyson, Master of the Rolls sekaligus Head of Civil Justice, tampil di media memberikan argumentasi balik kepada pihak yang telah mengkritik tajam putusannya mengenai pemberian izin bagi tahanan Irish Republican Army untuk mengajukan pembebasan bersyarat.
Hakim Sarpin, Lord Dyson, dan semua hakim laksana berada di langit dan di dasar bumi pada saat yang bersamaan. Pada satu sisi, hakim berada di langit karena mereka mempunyai kekuasaan yang amat tinggi bahkan tak tertandingi dalam penciptaan keadilan. Ketika hakim ”demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” telah menjatuhkan putusan, pihakpihak terkait harus mematuhi putusan itu.
Begitu digdayanya hakim sehingga mereka diberi sapaan ”Yang Mulia” selaku kedudukannya sebagai wakil Tuhan dalam menciptakan keadilan di muka bumi. Pada sisi lain, hakim juga laksana terantai di dasar bumi karena profesi hakim dikenal sebagai korps diam.
Itu karena sesama hakim tidak boleh saling mengomentari putusan mereka serta tidak boleh menanggapi komentar-komentar yang berseliweran di luar ruang persidangan. Larangan sebagaimana isi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH) itu, tak pelak, membuat hakim tidak kuasa menangkis maupun melakukan pembelaan atas berbagai kritik bahkan hinaan terhadap diri dan putusan mereka. Hakim harus tidak menggubris itu semua dengan berlagak tebal telinga dan mati hati. ***
Nah, ketika Hakim Sarpin memenuhi permintaan media untuk menangkis penilaian KY, lalu melaporkan para petinggi KY ke Polri, perilaku tersebut bisa ditinjau dengan beberapa sorotan. Pertama, apakah tampilnya Hakim Sarpin di media (antara lain berupa wawancara langsung di televisi) justru dapat dipersoalkan sebagai bentuk pelanggaran KE-PPH?
Sejumlah aspek perlu diperhatikan yakni apa isi kritik KY yang kemudian ditanggapi oleh Hakim Sarpin? Apabila kritik tersebut berfokus pada sisi kepribadian dan perilaku Hakim Sarpin, muatan kritik tersebut adalah relevan karena berada dalam ranah kerja KY.
Namun, jika kritik tertuju pada isi putusan Hakim Sarpin, ini bisa mengundang perdebatan panas karena sebagian kalangan memandang KY mutlak tidak memiliki kewenangan untuk mempersoalkan isi putusan yudisial. Lalu, di mana kritik terhadap Hakim Sarpin dilakukan? Faktanya, KY mengarahkan kritik mereka di luar persidangan serta dilakukan secara terbuka di hadapan publik dan media.
Ini rawan memancing gesekan tajam. Pasalnya, KY memiliki kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Bagaimana lantas KY dapat menjustifikasi bahwa pernyataannya di publik mengenai Hakim Sarpin juga merupakan pelaksanaan kewenangannya itu?
Anggaplah bahwa langkah KY ditujukan untuk memelihara marwah korps hakim secara keselur uhan. Tet api , manakala ada individu hakim yang merasa reputasinya justru binasa akibat langkah KY, maka hak individu hakim tersebut untuk mempertahankan dirinya dengan menempuh jalur hukum tentu tak tanggal.
Berhadapan dengan reaksi seperti itulah, KY secara arif patut mengevaluasi pendekatan komunikasinya. Tujuannya adalah agar tercipta keseimbangan antara pembelajaran bagi publik, penjagaan martabat korps hakim, serta pemelihara nama baik individu hakim yang belum tentu terbukti melakukan pelanggaran KE-PPH.
Kedua, bagaimana efek pengaduan Hakim Sarpin ke Polri terhadap para hakim se-Indonesia? Isi putusan praperadilan Hakim Sarpin yang tidak populer menyiratkan pengabaiannya terhadap apa kata dunia dan ia memutus semata-mata dengan apa yang ia yakini sebagai kaidah legal semata.
Masalahnya, pada saat yang sama, dikhawatirkan bahwa pelaporan Hakim Sarpin ke Polri akan berisiko buruk terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Apalagi kalau dikaitkan dengan citra yang masyarakat sematkan kepada para hakim, sebagaimana direpresentasikan oleh Thomas Hobbes dalam ”Leviathan”.
Hobbes menulis bahwa hakim yang ideal adalah hakim yang merdeka dari perasaan takut, marah, benci, cinta, dan kelekatan-kelekatan batiniah lainnya. Memang, pandangan yang dianut selama berabad-abad itu kini telah terkoreksi. Hakim dilihat secara lebih realistis sebagai manusia yang tidak mungkin steril dari emosi. Pada kenyataannya, emosi-emosi hakim bahkan bisa mendukungnya menghasilkan putusan yang baik.
Meski begitu, budaya hukum tetap berbasis pada keyakinan bahwa emosi yudisial harus dikendalikan secara ketat. Atas dasar itu, beralasan untuk waswas bahwa langkah Hakim Sarpin tersebut justru kontraproduktif terhadap penguatan kehormatan dan keluhuran martabat korps hakim di mata publik. ***
Selanjutnya, menarik untuk dinantikan tanggapan Mahkamah Agung (MA) selaku institusi yang menaungi para hakim, termasuk Hakim Sarpin. Pada satu sisi, sulit untuk dibayangkan bahwa MA tidak merestui langkah yang diambil profesional binaannya sendiri karena langkah yang Hakim Sarpin ambil dengan melapor ke kepolisian tetap berada dalam koridor hukum.
Namun, pada sisi lain, juga tidak mudah untuk dimaklumi bahwa MA akan berhadap- hadapan secara tidak langsung dengan KY sebagai konsekuensi dari dukungannya terhadap langkah hukum Hakim Sarpin tersebut. Pada akhirnya, preseden Lord Dyson menyajikan cermin bagus untuk berkaca.
Kala itu terjadi penurunan kritik publik setelah Lord Dyson mengomentari balik para pengomentarnya secara blak-blakan di publik. Kontra-argumen Lord Dyson memantik kesadaran bahwa penilaian terhadap hakim yang dilakukan secara terbuka hanya berakibat kontraproduktif bagi upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan ”sang pengadil” yang bekerja di dalamnya.
”Penghakiman” terbuka terhadap hakim juga menerabas nilai-nilai kepatutan (etik) yang sudah semestinya ditegakkan bagi insan yang mengemban amanat sebagai penerus titah Allah SWT dan Rasul-Nya di hamparan bumi. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
(ftr)