Tantangan Menangani Pembajakan Film Digital

Jum'at, 28 Agustus 2015 - 08:48 WIB
Tantangan Menangani Pembajakan Film Digital
Tantangan Menangani Pembajakan Film Digital
A A A
Kita perlu mengapresiasi langkah Kemenkominfo yang memblokir akses ke 22 situs web yang menayangkan dan memberi akses unduh film lokal tanpa izin pada 18 Agustus 2015.

Penutupan ini tanggapan dari laporan Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) tiga hari sebelumnya. Langkah ini usaha pertama pemberlakuan Peraturan Bersama Menkumham Nomor 14 Tahun 2015 dan Menkominfo Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan atau Hak Terkait Dalam Sistem Elektronik yang merupakan turunan dari UU Nomor 28 tentang Hak Cipta.

Selain itu, pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) juga telah membentuk Satuan Tugas Penanganan Pengaduan Pembajakan Karya Musik dan Film yang beranggotakan para pelaku industri. Industri musik mengalami badai pembajakan terlebih dahulu karena ukuran file-nya lebih kecil dan relatif lebih mudah untuk dibajak.

Pembajakan pada industri film menunggu kapasitas internet yang lebih cepat untuk marak terjadi di masyarakat. Dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, perlu disiapkan perubahan fokus kerja dari pemberantasan pembajakan fisik seperti DVD dan CD ilegal menuju pencegahan pembajakan online.

Koordinasi antara pelaku dua industri dan pemerintah melalui Bekraf diharapkan meningkatkan efektivitas dan mencapai target-target yang sudah disiapkan. Sayangnya, banyak pihak yang meragukan efektivitas dari penerapan aturan ini. Argumen utamanya adalah hampir mustahil memberantas pembajakan online. Situs yang ditutup akan segera mengganti domain dan melanjutkan aktivitasnya.

Untuk situs yang menyediakan jasa streaming, selama alamatnya masih bisa di-track dan ditutup aksesnya masih efektif untuk dilakukan. Meski aktivitas penutupan dipastikan seperti menutup lubang ular, ditutup satu akan muncul yang lain. Sebagai perbandingan Kemenkominfo telah memblokir sebanyak 813.000 situs pornografi sejak tahun 2009.

Tantangan terbesar adalah penutupan akses ke pengguna website peer-to-peer yang sebagian besar dilakukan untuk aktivitas ilegal. Menurut data Visual Networking Index dari Cisco Systems, kegiatan unduh dari peer to peer seperti Torrent dan Pirate Bay menggunakan 25% lalu lintas internet secara global dan tumbuh 23% setiap tahun.

Neil Gane dari MPAA pada seminar kekayaan intelektual yang dilakukan oleh Aprofi dan Bekraf beberapa bulan lalu menekankan bahwa situs-situs ilegal meraup keuntungan besar lewat pemasangan iklan yang umumnya berbau pornografi dan perjudian ilegal, yang umumnya memiliki demografi penonton berusia 12 tahun.

Ia menambahkan, hasil studi di Inggris, pemblokiran terhadap situs ilegal efektif menurunkan traffic ke situs tersebut dan mengubah mindset pengguna asal dilakukan secara berkala dan konsisten.

Pentingnya Edukasi Publik

Pekerjaan rumah paling besar adalah melakukan edukasi kepada publik, terutama generasi muda untuk menghargai kekayaan intelektual. Setiap kegiatan unduh secara ilegal, ada hak ekonomi pekerja ekonomi kreatif yang hilang. Menghitung kerugian sebagai efek pembajakan sangat sulit untuk diukur karena minimnya data.

Hasil penelitian Oxford Economics, sektor film dan TV pada 2010 memiliki dampak secara langsung sebesar Rp7,675 triliun atau 0,12% dari pendapatan nasional, dalam prosesnya berdampak terhadap 191.000 lapangan pekerjaan dan menghasilkan Rp785 miliar penerimaan pajak.

Memberikan kesadaran bahwa kekayaan intelektual adalah fondasi dari industri kreatif. Jika kepastian hukum dan perlindungan atas kekayaan intelektual lemah, industrinya pun akan lemah. Sebesar apa pun potensi sumber daya manusia pembuatnya jika hal mendasar ini tidak diperkuat, tidak akan terbangun industri yang mapan.

Perlindungan kekayaan intelektual adalah dasar terjaminnya inovasi dan kebebasan berkreasi yang merupakan harta kekayaan tidak ternilai bangsa ini. Apabila diamati dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat perubahan besar pada tema kampanye publik yang dilakukan di bioskop.

Sebelumnya iklan antipembajakan seperti menggurui masyarakat bahwa melakukan pembajakan sama dengan mencuri dan menyerukan agar tidak dilakukan, padahal penonton bioskop merupakan konsumen utama yang mengakses secara legal.

Sekarang tema kampanye publik di bioskop lebih memberikan apresiasi dan terima kasih karena telah datang dan menikmati karya film sehingga produser dan filmmaker bisa kembali berkarya dari uang yang dibayarkan penonton. Ke depan edukasi publik dilakukan bukan hanya melalui sosialisasi, tetapi juga mengadopsi pendekatan alert system seperti yang diberlakukan di Korea Selatan dan Prancis.

Dengan mekanisme ini, para penyedia jaringan bisa mendeteksi apabila terdapat aktivitas pengunduhan karya ilegal untuk diberikan peringatan kepada pelaku. Jika peringatan tersebut diabaikan, penyedia jaringan bisa menekan kecepatan download.

Memperluas Kembali Akses

Minimnya akses terhadap film Indonesia secara sah merupakan salah satu alasan terjadi pembajakan. Terbatasnya waktu tayang di bioskop membuat penonton yang tidak sempat menonton mencari akses paling mudah, mengunduh secara ilegal.

Ketidakpastian perlindungan hukum atas hak cipta memiliki konsekuensi tidak ada pengusaha lokal yang berani berinvestasi di sektor pasar berbasis teknologi seperti Netflix atau Itunes. Kita semua berharap secondary market bisa berkembang dan menyediakan platform legal dan menjadi sumber pendapatan bagi produser.

Kemauan politik dari pemerintah sudah berulang disampaikan oleh Presiden Jokowi maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memberikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual anak bangsa untuk mencapai tujuan menciptakan industri film nasional yang tangguh, menghasilkan filmfilm yang memiliki kualitas yang baik, dan memiliki konten yang memberikan tuntunan dan tontonan.

FAUZAN ZIDNI
Sekjen Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi)
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3932 seconds (0.1#10.140)