Model Reshuffle Jokowi
A
A
A
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Akhirnya isu reshuffle yang beberapa bulan belakangan menjadi buah bibir polemik nasional benarbenar menjadi kenyataan. Perombakan Kabinet Kerja, diumumkan Presiden Jokowi, Rabu (12/8).
Inilah kali pertama Kabinet Kerja dirombak seiring performa kerja dan performa komunikatif yang kurang impresif. Langkah hatihati Jokowi dalam menggulirkan kebijakan reshuffle bisa dimaklumi dalam konteks pemilihan waktu dan pembacaan peta politik yang bergulir seiring memanasnya tensi politik di antara partaipartai yang berkepentingan dengan kekuasaan.
Pola Perombakan
Fase tinggal landas Kabinet Kerja mengalami turbulensi dini dan belum mampu menghadirkan jawaban meyakinkan atas kepercayaan publik yang disematkan pada Jokowi-JK setelah terpilih menjadi pemimpin nasional di Pemilu Presiden 2014. Terjadi diskrepansi politik atau keberbedaan antara apa yang publik bayangkan dengan realitas keseharian yang alami, sehingga muncul ketidakpuasan dalam banyak hal terutama di bidang ekonomi dan politik.
Di bidang ekonomi, nyata ada pelambatan pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak seluruhnya faktor penyebabnya dari internal kinerja pemerintah. Tapi, realitas yang terbaca publik, pemerintah tergopohgopoh dalam mengoordinasikan diri dalam menghadapi tantangan ekonomi dari dalam maupun luar negeri. Ada kesenjangan antara idealitas kerja cepat yang diharapkan oleh Jokowi dengan beragam desain implementasi program para menteri di bawah koordinasi menko perekonomian.
Demikian pula dalam bidang politik, banyak pernyataan dan arah kebijakan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam) yang bermasalah dan melahirkan banyak polemik, sehingga sedari awal muncul banyak desakan agar Jokowi mengganti menko polhukam. Jika kita analisis ada tiga model dalam perombakan Kabinet Kerja kali ini.
Pertama, Jokowi memastikan langkah kompromistis dengan kekuatan nyata yang menjadi penyokong kekuasaannya. Jokowi memberi kursi kepada PDIP lewat representasi Pramono Anung, dan menggantikan Andi Wijayanto yang kecenderungannya tak memiliki lapis dukungan di partai politik.
Pun demikian, saat Sofyan Djalil yang digeser dari menko bidang ekonomi ke menteri PPN/ Bappenas, menggantikan Andrinof Chaniago, menunjukkan cara aman yang dipilih Jokowi, karena Andrinof yang berasal dari kampus tidak memiliki basis dukungan kekuatan politik sehingga dianggap tak berisiko jika diganti. Sofyan Djalil merupakan representasi kekuatan Jusuf Kalla dalam pemerintahan, sehingga posisinya hanya bergeser.
Kedua, model keseimbangan baru dalam sirkulasi elite yang dibuatnya. Ibarat sebuah skema permainan bola, dia mereposisi beberapa pemain ke posisi yang dianggap lebih menguntungkan pola bermain Jokowi. Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini menjadi pemain bertahan dalam kapasitas sebagai kepala kantor kepresidenan, diubah menjadi striker saat diposisikan sebagai menko polhukam.
Sebagai orang yang sangat dekat dengan Jokowi dan kepiawaiannya bermanuver, ditunjang pengalaman jejaring politik yang dimilikinya, Luhut tentu akan menjadi salah satu frontliner penting dalam pemerintahan Jokowi ke depan. Sementara untuk menjaga gawang istana, ada sosok Pramono Anung, tokoh senior politisi yang menjadi bagian utuh tangan politik PDIP di istana.
Dengan model keseimbangan ini, Jokowi sedang memastikan peran PDIP lebih dekat dengan Istana dan sekaligus punya orang kuat yang dipersepsikan disegani dalam jaringan politik, hukum dan keamanan. Ketiga, model stimulan dalam konteks ini, Jokowi menyadari benar titik lemah pemerintahannya adalah menterimenteri bidang ekonomi.
Jokowi menggeser posisi Sofyan Djalil sebagai menko perekonomian dan menggantikannya dengan Darmin Nasution. Menteri perdagangan yang semula dijabat Rachmat Gobel diganti oleh Thomas Lembong. Namun, ada beberapa pos yang sesungguhnya mengundang tanya.
Seperti posisi Sofyan Djalil yang digeser ke menteri PPN/Bappenas. Hingga kini, banyak kritik muncul, terkait kapasitas Sofyan dalam menangani PPN/Bappenas. Pun demikian pos yang ditempati Rizal Ramli sebagai menko maritim yang dianggap kurang tepat, sehingga bisa dimaknai dalam beberapa hal Jokowi juga melakukan langkah kompromi.
Kerja Nyata
Siapa pun yang ditunjuk oleh Jokowi sebagai menteri tentu pada akhirnya menjadi hak prerogatif presiden. Namun pertanyaan mendasarnya adalah, reshuffle itu untuk siapa? Langkah Jokowi masih panjang dan reshuffle akan menentukan sukses tidaknya pemerintahan dia di masa mendatang. Jangan sampai reshuffle menjadi sekedar menggeser beberapa orang nonpartai atau mencari zona nyaman kekuasaan elite dan abai dengan substansi perbaikan kinerja Kabinet Kerja.
Saatnya Jokowi merespons harapan publik yang tinggi dengan kerja nyata bukan basabasi. Kerja nyata yang dirasakan rakyatlah yang akan menyelamatkan Jokowi, bukan utakatik reshuffle kabinet.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Akhirnya isu reshuffle yang beberapa bulan belakangan menjadi buah bibir polemik nasional benarbenar menjadi kenyataan. Perombakan Kabinet Kerja, diumumkan Presiden Jokowi, Rabu (12/8).
Inilah kali pertama Kabinet Kerja dirombak seiring performa kerja dan performa komunikatif yang kurang impresif. Langkah hatihati Jokowi dalam menggulirkan kebijakan reshuffle bisa dimaklumi dalam konteks pemilihan waktu dan pembacaan peta politik yang bergulir seiring memanasnya tensi politik di antara partaipartai yang berkepentingan dengan kekuasaan.
Pola Perombakan
Fase tinggal landas Kabinet Kerja mengalami turbulensi dini dan belum mampu menghadirkan jawaban meyakinkan atas kepercayaan publik yang disematkan pada Jokowi-JK setelah terpilih menjadi pemimpin nasional di Pemilu Presiden 2014. Terjadi diskrepansi politik atau keberbedaan antara apa yang publik bayangkan dengan realitas keseharian yang alami, sehingga muncul ketidakpuasan dalam banyak hal terutama di bidang ekonomi dan politik.
Di bidang ekonomi, nyata ada pelambatan pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak seluruhnya faktor penyebabnya dari internal kinerja pemerintah. Tapi, realitas yang terbaca publik, pemerintah tergopohgopoh dalam mengoordinasikan diri dalam menghadapi tantangan ekonomi dari dalam maupun luar negeri. Ada kesenjangan antara idealitas kerja cepat yang diharapkan oleh Jokowi dengan beragam desain implementasi program para menteri di bawah koordinasi menko perekonomian.
Demikian pula dalam bidang politik, banyak pernyataan dan arah kebijakan menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam) yang bermasalah dan melahirkan banyak polemik, sehingga sedari awal muncul banyak desakan agar Jokowi mengganti menko polhukam. Jika kita analisis ada tiga model dalam perombakan Kabinet Kerja kali ini.
Pertama, Jokowi memastikan langkah kompromistis dengan kekuatan nyata yang menjadi penyokong kekuasaannya. Jokowi memberi kursi kepada PDIP lewat representasi Pramono Anung, dan menggantikan Andi Wijayanto yang kecenderungannya tak memiliki lapis dukungan di partai politik.
Pun demikian, saat Sofyan Djalil yang digeser dari menko bidang ekonomi ke menteri PPN/ Bappenas, menggantikan Andrinof Chaniago, menunjukkan cara aman yang dipilih Jokowi, karena Andrinof yang berasal dari kampus tidak memiliki basis dukungan kekuatan politik sehingga dianggap tak berisiko jika diganti. Sofyan Djalil merupakan representasi kekuatan Jusuf Kalla dalam pemerintahan, sehingga posisinya hanya bergeser.
Kedua, model keseimbangan baru dalam sirkulasi elite yang dibuatnya. Ibarat sebuah skema permainan bola, dia mereposisi beberapa pemain ke posisi yang dianggap lebih menguntungkan pola bermain Jokowi. Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini menjadi pemain bertahan dalam kapasitas sebagai kepala kantor kepresidenan, diubah menjadi striker saat diposisikan sebagai menko polhukam.
Sebagai orang yang sangat dekat dengan Jokowi dan kepiawaiannya bermanuver, ditunjang pengalaman jejaring politik yang dimilikinya, Luhut tentu akan menjadi salah satu frontliner penting dalam pemerintahan Jokowi ke depan. Sementara untuk menjaga gawang istana, ada sosok Pramono Anung, tokoh senior politisi yang menjadi bagian utuh tangan politik PDIP di istana.
Dengan model keseimbangan ini, Jokowi sedang memastikan peran PDIP lebih dekat dengan Istana dan sekaligus punya orang kuat yang dipersepsikan disegani dalam jaringan politik, hukum dan keamanan. Ketiga, model stimulan dalam konteks ini, Jokowi menyadari benar titik lemah pemerintahannya adalah menterimenteri bidang ekonomi.
Jokowi menggeser posisi Sofyan Djalil sebagai menko perekonomian dan menggantikannya dengan Darmin Nasution. Menteri perdagangan yang semula dijabat Rachmat Gobel diganti oleh Thomas Lembong. Namun, ada beberapa pos yang sesungguhnya mengundang tanya.
Seperti posisi Sofyan Djalil yang digeser ke menteri PPN/Bappenas. Hingga kini, banyak kritik muncul, terkait kapasitas Sofyan dalam menangani PPN/Bappenas. Pun demikian pos yang ditempati Rizal Ramli sebagai menko maritim yang dianggap kurang tepat, sehingga bisa dimaknai dalam beberapa hal Jokowi juga melakukan langkah kompromi.
Kerja Nyata
Siapa pun yang ditunjuk oleh Jokowi sebagai menteri tentu pada akhirnya menjadi hak prerogatif presiden. Namun pertanyaan mendasarnya adalah, reshuffle itu untuk siapa? Langkah Jokowi masih panjang dan reshuffle akan menentukan sukses tidaknya pemerintahan dia di masa mendatang. Jangan sampai reshuffle menjadi sekedar menggeser beberapa orang nonpartai atau mencari zona nyaman kekuasaan elite dan abai dengan substansi perbaikan kinerja Kabinet Kerja.
Saatnya Jokowi merespons harapan publik yang tinggi dengan kerja nyata bukan basabasi. Kerja nyata yang dirasakan rakyatlah yang akan menyelamatkan Jokowi, bukan utakatik reshuffle kabinet.
(bbg)